Pukul delapan pagi dan suasana di Adelaide International Airport sudah sedemikian ramainya.
Aila berdiri di depan gate keberangkatan dengan membawa satu koper kecil, tidak berdaya dalam pelukan Lusi yang masih berat mengizinkannya pulang.
"Segera telepon Mama setelah mendarat," ujar Lusi dengan suara sengau karena menahan tangis. "Risa dan Heri, mereka akan menjemputmu 'kan?"
Aila tersenyum, jawabannya adalah tidak. Tanpa perlu bertanya pun, dia sudah tahu kalau kedua orang tuanya itu tidak akan mau repot untuk menjemput di bandara.
"Keterlaluan sekali mereka itu," berang Lusi sambil membersit hidung. "Dari dulu Mama heran dengan perlakuan pilih kasih mereka terhadapmu."
"Nggak apa-apa kok, Ma." Aila mengusap kedua pipi wanita yang sudah mengasuhnya selama 14 tahun itu. "Toh, nanti Aila bisa pesan taksi. Iya 'kan?"
Kedua mata Lusi sudah kembali berair, tapi dia berusaha agar tidak menangis lagi.
"Hati-hati, Sayang. Jangan mampir-mampir, langsung pulang dan istirahat dulu saja, baru menjenguk Ansia. Toh, keadaannya juga nggak terlalu parah. Paling-paling dia sedang mabuk, lalu menyetir. Risa sendiri yang cerita soal itu."
Aila mengangguk. Kondisi Ansia memang sudah dia ketahui dari Lusi, yang sudah terlebih dulu mendapat kabar dari ibunya lewat panggilan telepon kemarin.
Ansia mengalami kecelakaan tunggal pada dini hari. Dia ditemukan tidak jauh dari daerah pinggiran kota dengan hanya mengenakan kimono tidur di dalam mobil yang dia kendarai sendiri.
Menghela napas berat, Aila tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Ansia sehari-hari. Sudah terlalu panjang waktu yang terlewat tanpa mereka saling bertukar kabar.
"Sudah, sudah. Jangan membuat Aila semakin berat untuk pulang," bujuk Arthur, meremas kedua pundak istrinya. "Aila, uang sakunya tidak kurang 'kan?"
Aila tersenyum dan menggeleng. Selama ini Arthur memang jarang menghabiskan waktu bersama keluarga, tapi bagi Aila dia sosok seorang suami yang penyayang.
"Aila 'kan hanya seminggu di sana, Om," ujarnya. "Tapi Om malah mentransfer begitu banyak."
Tidak hanya membelikan tiket pesawat, yang jelas dengan harga jauh lebih mahal karena dibeli secara mendadak, tapi Arthur juga memberinya banyak uang saku.
"Biar kamu bisa sekalian jalan-jalan di sana," jawab Arthur, mengusap kepala keponakan istrinya itu. Selama 15 tahun pernikahannya dengan Lusi, mereka memang masih belum dikaruniai anak lagi setelah keguguran yang dialami Lusi dulu. "Ah, itu Noah datang. Akhirnya."
Menoleh, Aila bisa melihat Noah yang tengah berlari mendekat. Dahinya sedikit berkerut karena kekasihnya itu tidak datang sendiri.
"Sarah?" seru Aila bahagia. Sarah adalah sahabatnya yang dulu mengenalkan Noah. Bisa dikata, dia akhirnya berpacaran dengan Noah adalah berkat Sarah. "Kenapa kamu ikut ke sini?"
"Kejutan," sahut gadis bersurai pirang dan bermata biru itu, tersenyum lebar. "Noah semalam memberitahuku, dan aku memaksa ikut."
"Maaf terlambat, Princess." Noah memeluk dan mencium dahi Aila. "Salahkan Sarah yang sangat lama waktu kujemput tadi," sambungnya, dibalas senyuman Sarah.
"Hati-hati," ujarnya lagi, membelai sebelah pipi Aila yang bersemu merah. "Jangan selingkuh, lho."
"Noah!" seru Aila cemberut, ditingkahi tawa renyah kekasihnya.
"Ini." Noah memberikan sebuah kantong kertas berisi permen. "Buat camilan."
Aila mendengus, merasa kesal karena dia diperlakukan seperti anak kecil.
"Sudah waktunya, Sayang," sela Lusi, kembali menarik Aila ke pelukannya. "Hati-hati, ya. Ingat, langsung telepon Mama."
"Iya, Ma," angguk Aila.
"Langsung telepon kalau kamu mengalami kesulitan." Kali ini Arthur yang menariknya dan Aila sama sekali tidak menyangka kalau dia akan dipeluk. Selama ini hubungan mereka memang baik, tapi tidak terlalu dekat karena itulah Aila memanggil Arthur sebagai Om, bukan Papa.
"Ehm, iya, Om," sahut Aila, merasa canggung dalam pelukan Arthur. Dia nyaris memekik saat tangan Arthur yang semula mengelus punggung, malah turun lalu meremas pantatnya.
Tidak hanya itu, Aila juga merasa kalau tubuhnya sengaja ditekan sehingga menempel dengan tubuh Arthur, membuat gadis itu menyadari gundukan keras yang menekan perutnya. Terakhir, pria baya berusia 50 tahun lebih itu malah mencium leher Aila meski sekilas, membuat Aila langsung meremang.
"Hati-hati," ujar Arthur lagi, segera melepas pelukan, memasang wajah dan sikap biasa, membuat Aila kebingungan.
Sekilas Aila lihat, Lusi sedang membalikkan tubuh untuk membersit hidung, dan Noah juga asyik mengobrol dengan Sarah, sehingga mungkin mereka tidak melihat apa yang baru saja terjadi.
Dengan kaku Aila tersenyum, melambaikan tangan berpamitan dan segera berbalik menuju boarding pass. Ada perasaan sangat mengganjal yang dialaminya saat ini.
Kenapa tadi Arthur meremas pantatnya?
Lalu, ciuman di leher tadi, maksudnya apa? Dan lagi, gundukan mengeras yang menekan perut Aila tadi itu, apa?
Selama ini Arthur tidak pernah bersikap tidak senonoh atau yang semacamnya. Memang, mereka jarang bertemu karena kesibukan Arthur sebagai pebisnis sehingga membuat pria setengah baya itu lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah.
"A—aku pasti hanya salah mengira," ujarnya, berusaha menyingkirkan pikiran buruk yang tidak beralasan. "Om Arthur 'kan, suaminya Mama. Jadi, mana mungkin beliau bermaksud buruk. Pasti itu tadi hanya perasaanku saja."
•••
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram