Happy Reading
***** Sepeninggal Zayn, Refara terduduk lemas di kursi teras. Pikirannya melanglang buana mencari cara untuk melakukan tugas yang diberikan lelaki kejam tadi. Jika dia melenyapkan janin yang ada di perut Irene, maka dia sudah menjadi pembunuh. Namun, jika tugas itu tidak segera diselesaikan, nyawa saudaranya dipertaruhkan. Gadis itu memejamkan mata, sejenak membayangkan kejadian sebulan lalu yang mengakibatkan dunianya berbalik 180 derajat. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua, serta adiknya dan menyebabkan saudara tertuanya sekarang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan itu teramat menyakitkan ketika dia harus menguburkan satu per satu anggota keluarganya padahal dirinya sendiri tengah menghadapi masalah pelik. "Tidak, aku harus melaksanakan tugas dari Zayn. Mas Harri adalah kunci utama kecelakaan itu. Aku yakin, jika dia sadar nanti pasti akan menceritakan kejadian yang sebenarnya." Mata Refara terbuka sempurna setelah menggumamkan kalimat tadi. Sebuah ide terlintas, dia pasti bisa menyingkirkan janin di perut Irene tanpa mengotori tangannya sendiri. Melirik jam di pergelangannya, Refara bergegas ke kamar mandi. Namun, tangannya masih sibuk mencari kontak seseorang di ponselnya. "Selamat sore, Mas," sapa Refara pada seseorang di seberang sana setelah beberapa menit menunggu panggilannya diangkat. "Sore. Gimana, Re? Apa ada perkembangan dengan kesehatan Harri?" "Belum. Mas Harri masih tertidur. Aku tidak tahu sampai kapan dia akan membuka mata. Mas, aku mau minta tolong lagi." "Sabar, Re. Katakan, apa yang bisa Mas bantu." Refara pun mengatakan keinnginannya. Tak lupa, dia juga menanyakan tentang perkembangan kasus kecelakaan keluarganya. "Sebaiknya, besok kita bertemu. Banyak hal yang perlu kamu ketahui tentang kecelakaan dan semua itu tidak sesederhana perkiraan kita." "Besok, kemungkinan aku tidak bisa, Mas. Kita ketemu beberapa hari lagi. Ada pekerjaan penting yang harus dilakukan. Salah satunya yang aku sebutkan tadi." Refara mengembuskan napas. Meminta bantuan lelaki itu pasti tidak akan mengecewakan. "Apa perempuan ini ada kaitannya dengan kecelakaan orang keluargamu?" "Tidak ada, Mas. Tapi, karierku yang sekarang, tergantung dari keberhasilan mencari informasi tentang perempuan ini." "Baiklah. Paling lambat nanti malam, kamu akan mendapatkan semua informasi tentang perempuan itu." "Terima kasih, Mas." Refara segera menutup sambungannya, mulai bersiap untuk menghadiri pesta yang tidak diketahuinya. Sebelum jam enam sore, Refara sudah siap dengan gaun yang dibelikan Ilham. Rambut di sanggul modern sedikit naik dengan mahkota kecil yang menempel di atas kepala semakin menambah aura elegan gadis itu. Siapa sangka jika sudah berdandan seperti itu Refara bagaikan putri keluarga kaya. Tak lama berselang, suara klakson terdengar di luar. Refara berdiri dan segera membuka pintu karena yakin jika klakson tersebut dibunyikan oleh Ilham. Sang asisten turun, menunggu Refara dengan bersandar pada mobil. Kini, pandangan Ilham sepenuhnya tertuju pada gadis yang berjalan ke arahnya. Pakaian yang mereka kenakan benar-benar serasi seperti pasangan kekasih yang sedang jatuh cinta. Semakin Refara mendekat, jantung Ilham makin berdetak kencang. Masih dengan rasa gugup yang melanda, lelaki itu membuka pintu samping untuk sang gadis. "Cantik, sempurna," puji Ilham tanpa disadarinya. Tatapannya masih terfokus pada Refara, lelaki itu bahkan tidak segera menutup pintu. "Pak, jika tidak berangkat sekarang. Takutnya kita akan terlambat. Jam tujuh kurang beberapa menit lagi," ucap Refara menyadarkan Ilham dengan segala lamunannya. Ilham gelagapan setelahnya dia memutar tubuhnya ke arah kursi pengemudi. Mulai menjalankan kendaraan membelah jalanan. Sepanjang perjalanan menuju tempat pesta, lelaki di sebelah Refara tersebut selalu mencuri-curi pandang. Asyik berbalas pesan dengan sahabat Harri yang sempat dia hubungi tadi, Refara tak sadar jika Ilham sudah menghentikan alaju kendaraannya dan memintanya turun. "Kamu turun di sini saja, Re. aku parkir di bawah dulu. Tunggu aku di lobi, kita masuk bareng nantinya," kata Ilham menghentikan kegiatan Refara sebelumnya. "Ah, iya." Refara membuka pintu, bersiap turun. Namun, terhenti karena pergelangannya di pegang Ilham. "Kenapa, Pak?" "Jangan kemana-mana. Aku tidak mau kehilanganmu," kata Ilham. "Apa, sih, Pak." Refara menepis tangan Ilham dan segera turun. Dia sudah tak sabar untuk menghubungi seseorang. Ilham menggelengkan kepala menyadari dirinya lepas kontrol seperti tadi. "Kenapa aku bisa terpesona seperti ini padamu, Re? Padahal aku baru mengenalmu." Ketika Ilham datang menyapa dan mengajak Refara menuju tempat pesta, sebuah suara menyapa keduanya. "Baru datang, Ham?" sapa Gandy. Lelaki itu tampak sendirian tanpa pasangan. "Kok sendirian, Mas? Bukannya harus bawa pasangan ke pesta ini, ya?" tanya Ilham. Gandy tersenyum. "Pasanganku sudah masuk duluan. Kamu kan tahu bagaimana sifatnya." "Oh, begitu." Refara memilih diam ketika kedua lelaki itu berbincang. Walau begitu, dia sempat melihat tatapan tajam padanya dari Gandy. "Ayo, Re." Ilham menjulurkan tangannya, meminta Refara untuk menggandeng. Tanpa ragu, Refara segera mengambil uluran tangan sang asisten. Di depan mereka, Gandy sibuk menelepon. Memasuki aula pesta, semua mata tertuju pada seorang perempuan yang baru saja masuk. Refara sendiri dibuat kagum dengan kecantikan serta tubuh seksi sang perempuan dan yang paling membuatnya tidak bisa memalingkan pandangan adalah gaun yang dikenakan si wanita. Tak jauh dari tempat Refara berdiri ada Firhan dan Irene. Mereka berdua terlihat begitu mesra saat ini. "Bukankah itu gaun yang sempat kamu pilih pas di outlet tadi, Re?" bisik Firhan, tetapi mampu didengar oleh Ilham dan Irene. "Bukan, Pak." Refara berusaha menghindari pertanyaan selanjutnya dengan meninggalkan sang atasan dan Ilham. Dia menuju meja minuman. "Aku yakin baju yang digunakan Elvira adalah baju sama yang dipilih Refara kemarin," ungkap Firhan. "Kamu kenapa, sih, Sayang?" tanya Irene. "Jika memang benar gaunnya Elvira adalah gaun sama yang dipilih Refara, memangnya kenapa?" "Tidak perlu cemburu, Sayang. Aku cuma memastikan saja. Mas Gandy itu sangat jarang memberi hadiah dan perhatian pada perempuan. Aneh saja jika sampai dia memberikan hadiah gaun pada Elvira apalagi sampai meminta bantuan Refara." "Apa kamu lupa perkataan Kakek?" sahut Ilham. Firhan manggut-manggut, seolah dia tersadar dengan segala pemikirannya tadi. Beberapa menit kemudian, suara seseorang yang sangat dikenal Firhan terdengar. "Kenapa masih berkumpul di sini? Harusnya, kamu menyapa sang pemilik acara," tanya Sailendra yang datang bersama Zayn. "Sengaja menunggu Kakek," sahut Firhan. Tatapan lelaki sepuh itu berpindah pada perempuan di sebelah Firhan. "Mengapa ada dia? Bukankah Kakek menyuruh kalian bertiga datang sendiri tanpa pasangan." Gandy sudah berdiri di dekat Firhan saat ini. "Bukankah aku pernah berkata tidak ikut kompetisi ini. Aku sudah punya Irene, Kek. Jadi, ..." "Hentikan ucapanmu." Sailendra tak lagi bisa menyembunyikan kekesalannya. Refara menatap ketiga pewaris keluarga Rafiq bergantian. Banyak pertanyaan di kepala yang tak akan pernah dia dapatkan jawabannya. "Sudahlah, Kek. Sebaiknya, kita beri salam dulu pada Pak Aryawardana," usul Zayn. "Kamu benar." Setelahnya, Sailendra mengajak ketiga cucunya beserta Ilham dan Refara mendekati sang pemilik acara. Setelah perkenalan singkat tersebut, Refara pamit ke toilet. Namun, di ujung lorong tak jauh dari toilet, gadis itu mendengar percakapan aneh. "Aku harap kamu tidak bermain api. Jika sampai Firhan melihat kita, bagaimana?" "Kamu tahu apa tujuanku mendekatinya? Jangan menolakku lagi, aku tahu kamu masih sangat mencintaiku." "Cukup, kamu sudah memilihnya. Jadi, jangan harap rasa itu masih sama." Refara begitu penasaran dengan dua orang yang sedang berbincang tersebut. Jadi, dia mendekati mereka untuk memastikan dan betapa terkejutnya ketika dugaannya itu benar. "Ya Tuhan, kehidupan keluarga macam apa ini," ucap Refara.Happy Reading*****Pagi menyebalkan bagi Refara karena telepon dari Zayn yang membuatnya harus pergi ke vila sebelum bekerja. Entah apa yang membuat lelaki tersebut, tiba-tiba memintanya datang.Sepuluh menit perjalanan, Refara sudah sampai di vila yang ditinggali Zayn. Baru menekan bel di pintu gerbang, suara si lelaki sudah terdengar."Langsung masuk aja, Re," pinta Zayn. Suaranya terdengar lemah, tidak arogan seperti sebelum-sebelumnya.Refara melangkahkan kakinya masuk dan saat itulah sosok Zayn yang tengah tidur menelungkup terlihat. Punggung lelaki itu menggeluarkan banyak darah."Anda kenapa, Pak?" tanya Refara. Segera menghampiri Zayn di sofa panjang, tempat lelaki tersebut berbaring."Tidak usah banyak tanya. Ambil kotak obat. Mulailah obati luka-lukaku itu," perintah Zayn. Walau badannya tengah terluka seperti sekarang, tetapi sifat kejam dan suka memerintah masih sama seperti biasanya. Refara paling benci dengan sifat Zayn yang seperti ini. Marah, perempuan tersebut mengh
Happy Reading***** "Kamu?" tanya Harri. Keningnya berkerut dalam, tatapannya tajam menghunus jantun lelaki yang ada adi belakang Refara."Mas kenal sama Pak Ilham?" tanya Refara. Lalu, perempuan itu mengajak sang asisten duduk di sebelah ranjang saudaranya."Kenal dekat tidak, Re. Kami pernah bertemu ketika sistem keamanan komputer Warna Jaya diretas seseorang," jelas Ilham, "Apa kabar Pak Harri? Lama tidak bertemu sejak saat itu." Tangan lelaki berkemeja abu-abu itu terulur."Seperti yang Anda lihat, Pak." Harri memberikan senyuman. "Kok, kalian bisa kenal?""Kebetulan, Pak Ilham ini asisten atasanku, Mas. Jadi, kami dipertemukan oleh pekerjaan.""Oh," sahut Harri. Lalu, tatapan lelaki itu mengarah pada jam tangan yang dikenakan Ilham. Seperti mengingat sesuatu, tatapan Harri lurus ke depan. Sampai-sampai pertanyaan sang asisten tidak diindahkannya."Mas." Refara menyentuh lengan saudaranya, menyadarkan."Ada apa, Re?" Menatap ke arah saudaranya, Harri ingat kejadian kecelakaan itu
Happy Reading*****Refara jatuh terlentang di sofa. Dia semakin membenci lelaki di hadapannya kini. Apa yang dilakukan Zayn benar-benar kelewat batas. "Apa sebenarnya maumu, Pak?" tanya perempuan itu dengan tatapan penuh kebencian. Refara berusaha keras menghindari serangan lelaki mesum itu.Seakan tuli, Zayn memaksa mencium perempuan itu pada bibir. Kedua tangannya mencengkeram lengan Refara. "Mmm," gumam Refara tidak bisa menyuarakan kekesalannya. Zayn bahkan kini menyesap kuat bibir si perempuan karena tak kunjung diberi akses. "Mmm," ucap Refara sambil memukul-mukul dada lelaki di hadapannya itu. Tak sabar, Zayn menggigit bibir Refara. Perempuan itu mengaduh dan hal itu tak disia-siakan olehnya. Perang bibir pun terjadi tanpa keikhlasan hati sang sekretaris. Cukup lama mereka lelaki itu melakukannya hinga sebuah ketukan terdengar."Re, apa kamu di dalam? Ada berkas yang harus kamu kerjakan karena Firhan memintanya cepat," ucap seseorang yang tak lain adalah Ilham.Bukannya me
Happy Reading*****"Apa kamu lupa siapa aku?" Suara lelaki itu begitu dekat di telinga Refara. Embusan napasnya bahkan terasa hangat menyapa kulit wajah.Meremang, Refara tidak bisa memungkiri jika dia sangat mengenal suara lelaki tersebut. Siapa lagi yang berani menerobos batasan demi bisa melecehkannya. "Pak, jangan main-main. Kalau ada yang melihat dan melaporkannya pada Bu Elvira, Anda sendiri yang repot." Suara Refara bergetar hebat. Bukan karena takut, tetapi dia sedang berusaha menahan rangsangan yang diberikan Zayn pada bagian sensitif tubuhnya. Zayn mendengkus, tetapi tangannya masih bergerak aktif meremas gundukan Refara. Entahlah, mengapa lelaki itu selalu saja ingin melakukan hal-hal mesum pada perempuan yang dia tugaskan untuk menggoda saudaranya. Apalagi ketika Zayn melihat sendiri adegan romantis keduanya dengan mata kepala sendiri. "Kamu kira aku takut dengan ancamanmu? Sama seperti hubunganmu dengan Firhan, maka Elvira, hanyalah alat yang aku gunakan untuk mend
Happy Reading*****Ilham melebarkan kelopak matanya ketika melihat Firhan sudah berada di hadapannya. Cepat-cepat memutuskan sambungannya dengan seseorang yang ditelepon tadi. "Sejak kapan kamu masuk, Fir?" tanya Ilham gugup."Tidak penting sejak kapan aku masuk. Siapa lagi cewek yang mau kamu lenyapkan? Ingat, Ham. Kamu tidak bisa terus menerus memukul mundur semua perempuan yang mendekatimu. Refara sudah bersedia menerima cintaku, jadi mulailah membuka hati untuk perempuan-perempuan yang mendekatimu termasuk si dia."Tawa Ilham menguar, "Jadi, sekali lagi kamu menggunakan kekuasaanmu untuk menekan Refara supaya menerima perasaanmu? Jangan naif, Fir. Kita sudah sepakat bermain sehat untuk mendapatkan hatinya.""Ayolah, Ham. Cewek mana yang akan memilihmu jika posisimu seperti sekarang. Jelas Refara lebih memilihku karena jabatan dan harta yang aku miliki sekarang. Tanpa perlu aku menekannya seperti yang aku lakukan pada Irene." "Aku rasa Refara bukanlah cewek seperti itu," sanggah
Happy Reading*****Beberapa menit Firhan melumat dan menyesap bibir ranum Refara hingga perempuan itu memberi kode supaya segera menghentikan aksinya dengan memukul pelan dadanya. "Pak, apa yang Anda lakukan?" tanya Refara dengan napas memburu. Walau tidak membalas ciuman sang atasan, tetapi perempuan itu sedikit kesulitan bernapas akibat ulah Firhan."Re, aku beneran tertarik padamu. Aku tidak bisa melihatmu fokus pada Mas Gandy. Sejak meeting berlangsung tadi, tatapanmu selalu tertuju padanya. Apa kamu memiliki perasaan pada Mas Gandy?"Refara menggoyangkan tangannya dengan cepat, kepalanya juga menggeleng demi meyakinkan sang atasan. "Bapak, jangan asal mengambil kesimpulan sendiri. Saya sama sekali tidak tertarik dengan Pak Gandy. Jika selama meeting saya terus saja mengamati beliau. Semua itu karena saya penasaran dengan jepit dasi yang beliau kenakan.""Kenapa dengan jepit dasi milik Mas Gandy?" Firhan memegang pergelangan sang sekretaris dan mengajaknya duduk di sofa. Perem