"Sayang, kita sudah sampai di rumah Papa," ucap Abie menepuk pipi istrinya lembut. Semalaman Abie membuat Winda kerja lembur di ranjang. Sepanjang perjalanan Winda mengantuk. Mata Winda di manjakan dengan bangunan klasik bergaya Eropa. Pintu gerbang otomatis itu pun terbuka. Anehnya, Winda pikir akan ramai acara aqiqahnya. Kok tidak ada tanda-tanda tamu yang datang. Apa dia salah hari? "Mas, bener acara aqiqahnya hari ini?" tanya Winda memastikan."Iya Sayang, Papa bilang hari ini acaranya," jawab Abie sembari menyetir. Mobilnya memasuki halaman yang sangat luas. Aneka tanaman hias tertata apik seperti di taman kota. "Tapi kok tidak ada pesta? Atau orang yang datang? Aku jadi ragu apa benar di gelar acaranya hari ini?" Winda masih bertanya lagi.Abie tersenyum dia bisa merasakan kegelisahan hati istrinya. "Papa memang tidak mengundang tamu. Hanya kita dan orang tua dari Mama Zahra. Lainnya ustadz dan santrinya yang menggelar pengajian kecil. Karena Papa ingin suasana lebih khidmat,
Citra merasakan ada sentuhan di pipinya. Ia mengerjapkan matanya tidak tahu sekarang jam berapa. Matanya masih mengantuk namun samar-samar dia melihat gulingnya berubah jadi besar. Dan ... ia pun terperanjat saat menyadari dia sudah memeluk Dimas. Dan lelaki itu juga tengah memeluknya erat."Tu ... Tuan Dimas," Citra menepuk perlahan pipi Dimas. Sembari melepaskan lengan Dimas yang melingkar di pinggangnya. Dimas pura-pura tidur. Senyum kemenangan terbit di bibirnya. Ia semakin mengeratkan pelukannya. Seharian mungkin dia betah seperti ini saja. Tidak usah makan malam."Citra menghela napas berat, rasa frustasi terpatri di wajahnya. "Bukannya tadi udah pamitan, kok bisa balik lagi sih," gumamnya dalam hati. Citra merasa terkurung, dadanya sesak seakan-akan dipeluk erat oleh Dimas yang masih berdiri terlalu dekat dengannya. Saat Citra mencoba menggeser posisinya, dia bisa merasakan ketegangan yang tidak nyaman dari Dimas yang memeluknya terlalu dekat.Dimas memang sengaja tidak mau ban
"Terkurung, atau ini hanya alasanmu saja agar jauh dariku?" desak Dimas."Tuan ... tolong mengertilah. Aku yang menginginkan jauh dari Tuan. Kita tidak selevel. Aku memiliki masa lalu yang buruk. Aku tidak ingin mencintai siapapun lagi," terang Citra. Seolah Dimas tidak bisa menerima alasan Citra. Ia merasa tidak yakin Citra sama sekali tidak tertarik padanya. Buktinya Citra begitu manis kala mereka berciuman. Dan mereka saling membutuhkan. "Aku tidak ada hubungannya dengan masa lalu mu. Jangan kau anggap aku pria yang sama akan menyakitimu," kata Dimas menatap intens pada Citra."Tuan masih tidak mengerti. Aku ini wanita rusak, cukup diriku saja yang menyayangiku. Aku tidak ingin terlibat perasaan rumit. Mengenai hubungan tanpa status, aku sudah mengalami yang lebih rumit dari ini. Jadi tolong berhentilah untuk menyuruhku selalu dekat denganmu. Aku bisa kena masalah. Mamamu tidak ingin putra satu-satunya ada hubungan sama pembangunan," jelas Citra.Dimas mengusap wajahnya kasar. Ia
Citra tidak berani membangunkan Dimas. Ia memilih menata baju-bajunya di lemari. Di sofa Dimas melirik sekeliling. Sial triknya tidak berhasil padahal dia pura-pura tertidur agar Citra mendekat padanya. Malahan perempuan itu meninggalkannya. Apakah dirinya tidak begitu menariknya?Terpaksa Dimas bangun dan mencari keberadaan Citra. Ketika dia berjalan menuju dapur. Pintu kamar sedikit terbuka. Ia mendapati Citra tengah menaruh baju-bajunya ke dalam lemari. Entah mengapa Dimas senang memperhatikan setiap pergerakan Citra meski hanya melakukan aktivitas sederhana."Mana kopiku?" tanya Dimas mengagetkan Citra yang sedari tadi serius menata baju."Sudah aku taruh di meja," jawab Citra."Sudah dingin. Aku ingin kopi yang baru," ucapnya. Citra langsung mrndengus kesal. Entah apa maunya Dimas ini mengapa selalu membuatnya repot. Ia baru asyik-asyik menata pakaian sudah di suruh ini itu. Siapa suruh tadi dia tidur? Citra terus saja menggerutu sembari bangkit dari lantai.Ia pun keluar menuju
"Sampai kapan kamu akan berputar-putar terus. Jalanan ini sudah kita lewati tadi. Tapi kamu tidak cocok terus kontrakannya," omel Dimas mendengus kesal. "Tuan, kalau tidak ikhlas mengantar saya. Lebih baik pulang saja. Aku juga bingung kalau dari tadi Tuan marah-marah terus seperti wanita PMS," balas Citra. "Apa kamu katanya aku lagi PMS? Berani sekali kamu ya!" Ciiiit! Seketika itu juga Dimas langsung mengerem mendadak mobilnya. Kayaknya sekarang sudah tidak ada ampun lagi. "Turun sekarang!" Perintahnya. "Iya ... iya, siapa juga yang mau di anter cowok tantruman!" Gerutu Citra. "Apa kamu bilang!" "Enggak ... ini juga mau turun." Langsung saja Citra memilih membuka pintu mobil dan terakhir sedikit membantingnya keras. Braaak! "Hei, kamu sudah gila!" seru Alex. Citra terus saja melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dimas kesal merasa di abaikan. Citra sama sekali tidak peduli padanya. Padahal niatnya tadi mengantar Citra untuk terakhir kali. Setidaknya beramah tamah
Winda di perlakukan seperti putri, semua pelayan berjalan ke arahnya. Membungkuk dan memberi hormat padanya. Ia memang terbiasa di perlakukan demikian di rumah Papanya. Tapi ini ... ini di lakukan di rumah Abie suaminya. Biasanya di kontrakan sederhana, sekarang dirinya di ajak pindah ke istana. Semua serasa mimpi. Para pelayan sibuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Sementara Abie mengajak istrinya berkeliling rumah. Abie menggenggam tangan istrinya erat menatapnya penuh senyuman hangat. Melangkahkan kakinya berjalan menuju ke satu ruangan ke ruangan lainnya. "Mas, ini terlalu besar... bahkan terlalu besar untukku." Winda terbiasa tinggal di rumah kontrakan Abie yang kecil. Biasanya beberapa langkah kaki saja sudah sampai ke dapur terus dua langkah sampai ke kamar mandi. Sekarang dia masuk ke rumah seperti di Mall saja. Semua fasilitas tersedia. "Kamu layak mendapatkan ini Sayang. Jujur ... aku juga tidak tahu Papa memberi rumah sebesar ini. Mungkin rumah ini nanti aka
"Mas, kenapa selama ini tidak pernah cerita kalau Mas ada hubungan dengan Pak Hisyam. Aku masih nggak nyangka aja. Semua serasa mimpi bagiku." Abie mengulas senyum saat mendengarkan curhatan Winda.. Dia menatap dalam ke mata istrinya, mencoba memberi rasa aman. “Aku takut kalau aku cerita, bukannya kamu bangga, kamu malah nggak percaya. Toh, pekerjaanku cuma cleaning service,” ucap Abie dengan suara bergetar mengingat posisinya waktu itu serba tidak jelas.. "Percaya, tapi iya juga sih. Kita menikah juga awalnya tidak begitu kenal," Winda menambahkan alasan sendiri. "Nah udah tahu begitu. Masih saja nanya ke Mas. Pokoknya hari ini sungguh luar biasa. Berkat kamu menolong mama tiri aku, Papaku jadi kerumah ini. Dan endingnya Papa memaafkan aku sepenuhnya." Abie memungut telapak tangan Winda kemudian mengecup punggung tangannya. "Makasih Sayang?" bisiknya. Rasanya semua kejadian hari ini seperti mimpi tak ada yang mengira pertemuan mengharukan ini membuat segala sesuatu yang duluny
Suasana mengharukan tengah di rasakan keluarga Hisyam. Winda semula yang tidak tahu apa-apa kini menjadi paham duduk perkaranya. Mengapa Abie sampai di usir Papanya dan ada hubungan apa dulu dengan mama tirinya. Ada sedikit rasa cemburu menghantui Winda. Apalagi Zahra masih sangat muda dan cantik. Pantas saja kalau Abie pernah tergila-gila padanya. "Pa, Papa mau kan maafin Abie? Aku tidak masalah hidup miskin asal aku tidak membuat kesalahan lagi. Asal hidupku tenang dan dapat maaf dari Papa," ucap Abie. Hisyam melepas pelukannya. Tangannya memegang kedua pundak Abie. Menatap putra tirinya dengan tatapan bangga. Ia seperti tidak mengenal Abie. Abie yang dulu bersikap seenaknya kini telah menghilang. Berganti sosok Abie yang nrimo dan tidak peduli soal harta. "Bukankah aku sudah memberimu hadiah rumah untuk pernikahanmu. Mengapa kamu tidak mau menempatinya? Apakah rumah itu kurang besar?" tanya Hisyam. Abie menggeleng. "Bukan begitu Pa, aku bingung menjelaskan pada istriku. Darima
"Mas, kita pulang yuk. Kasihan Abiyan terlalu lama menunggu," ajak Zahra."Tunggu sebentar lagi." Jawaban Hisyam membuat Zahra merasa curiga. Ada apa sebenarnya mengapa suaminya betah sekali tinggal di rumah orang yang baru saja di kenalnya. Zahra melirik ke arah Winda, kemudian beralih ke arah Hisyam. Tidak mungkin suaminya tertarik pada Winda. Selama ini dia tidak pernah mencium adanya bau perselingkuhan. Hisyam sangat mencintainya. Pikiran buruknya segera di tepis manakala ada pesan di ponselnya.Rupanya Hisyam tahu kalau dirinya tengah galau. "Sabar Sayang, tidak usah berpikiran macam-macam tentang aku. Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Tunggulah sejenak, nanti kamu akan tahu apa yang aku maksudkan."Zahra cukup lega membaca pesan dari Hisyam. Ia tidak curiga lagi. Pikirannya gantian tertuju pada Hisyam. Apa yang di tunggu suaminya? Mengapa ia tidak mau pulang dari rumah ini?"Kira-kira jam berapa suamimu akan pulang?" tanya Hisyam."Mungkin sebentar lagi. Karena ia tadi bicara