LOGINSaat aku kembali ke rumah malam itu, Lucian sudah ada di ruang kerjanya. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, membuatnya menoleh.
"Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanyanya. Aku menutup pintu di belakangku dan melangkah mendekat. "Katakan padaku yang sebenarnya, Lucian. Apa yang terjadi antara kau dan Veronica?" Dia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. "Itu bukan sesuatu yang mudah dijelaskan." "Aku tidak meminta penjelasan yang mudah. Aku meminta kejujuran." Dia diam sejenak sebelum akhirnya berbalik menatapku. "Kami memiliki masa lalu yang sulit. Ayah kami selalu menekan kami dengan ekspektasi tinggi. Aku mengambil alih perusahaan lebih cepat dari yang seharusnya, dan Veronica merasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya dia bagi denganku."Tubuhku terasa sedikit berat saat bangun pagi itu. Kepala pening, tenggorokan kering, dan ada hawa panas yang menempel di kulitku. Tapi karena Lucian sedang bersiap pergi ke kantor, aku menahan semuanya dengan senyum tipis. “Aku buatkan kopi, ya?” tawarku sambil menggeliat pelan. Lucian yang sedang mengenakan dasi langsung membalikkan badan. “Kau terlihat pucat. Kau demam?” Aku tertawa ringan, “Hanya sedikit pusing. Tidak usah lebay.” Namun tatapannya langsung menyipit curiga. Dalam dua langkah dia sudah sampai di hadapanku, meletakkan punggung tangannya di dahiku. “Kau terbakar, Seraphina.” “Berlebihan.” Aku menghindar sedikit dan menuju dapur, pura-pura lincah padahal lututku bergetar. “Sudah biasa. Istirahat sebentar pasti baikan.” Lucian memelototiku dari jauh seperti sedang menilai apakah aku akan pingsan atau pura-pura kuat. “Aku akan telepon Felix. Aku tidak pergi ke kantor hari ini.” Aku langsung menoleh dengan cepat, terlalu cepat hingga pusingku makin menjadi. “Janga
Deru mesin bor terdengar lirih dari kejauhan saat aku melangkah masuk ke gedung yang sebentar lagi akan menjadi cabang kedua dari toko bunga kami. Tanganku menyapu debu halus dari meja kasir yang masih dibungkus plastik, dan mataku menyapu seluruh ruangan yang luas dan masih polos. Belum ada kelopak bunga di sudut mana pun, belum ada harum sedap malam atau anyelir yang menggoda dari pintu masuk. Tapi aku bisa membayangkannya. Di sinilah, tempat baru itu akan tumbuh—bukan hanya bisnis, tapi bagian dari impianku yang sempat terkubur. “Aku baru tahu tempat kosong ini bisa disulap seindah ini nanti,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri. “Aku juga baru tahu istriku punya mata tajam seperti arsitek.” Suara Lucian terdengar dari belakang, membuatku menoleh. Ia menyender di ambang pintu, menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku, dan senyum kecilnya menyelip di sela-sela kalimatnya. Aku tersenyum geli. “Mata ini memang tidak bisa diam kalau soal menata ruangan.” Ia mendekat, menata
Tepukan tangan serempak menggema begitu aku membuka pintu ruanganku sendiri di kantor pagi ini. Sontak aku terhenti di ambang pintu, menatap hiasan pita emas yang membentang lebar, bertuliskan: Happy Birthday, Seraphina! "Selamat ulang tahun, Bos!" teriak Scarlett dari tengah kerumunan staf, mengenakan topi ulang tahun mungil dan meniup peluit warna-warni. Aku tertawa kecil, sedikit bingung sekaligus terharu, "Kalian semua… ini kerjaan siapa?" "Siapa lagi kalau bukan aku," jawab Scarlett bangga, menghampiriku sambil menyerahkan buket bunga mawar putih yang harum semerbak. "Tapi tentu saja seluruh tim bagian pemasaran juga terlibat." "Aku bahkan menyelinap ke ruangan ini semalam untuk memastikan semua balon terisi," celetuk Theo dari tim desain, membuat yang lain tertawa. Ruanganku, yang biasanya rapi dan tenang, kini berubah penuh warna. Balon pastel melayang di setiap sudut, meja dihias dengan serpihan glitter, dan di pojok, terlihat kue ulang tahun bertingkat dua dengan tulisan
Lucian baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya basah dan kemeja santainya agak terbuka di bagian atas. Dia menatapku dengan senyum malas, seolah baru saja menemukan definisi baru dari kebahagiaan hanya dengan melihatku menata bunga di meja makan. Angin sore menyelinap masuk lewat jendela besar yang masih terbuka. Rumah itu—rumah baru kami—terlihat seperti potongan mimpi yang dilipat rapi dan disisipkan ke dalam kenyataan. Dinding-dindingnya putih bersih, dihiasi karya seni pilihan kami berdua. Kesan hangat dan intim terasa sejak pertama kali aku menjejakkan kaki di ruang tengahnya. “Aku tidak tahu rumah bisa terasa seperti ini,” gumamnya, melangkah mendekat. “Seperti apa?” tanyaku sambil menyusun vas terakhir, lalu menatapnya. “Seperti tempat kembali… bukan cuma bangunan.” Ia menyentuh jemariku, lembut, lalu menggenggamnya. Aku tertawa kecil. “Mungkin karena ini rumah yang kita pilih bersama.” Lucian menarikku ke dalam pelukannya. “Atau karena kamu ada di dalamnya.” “Hei,
Mobil hitam yang kami tumpangi terus melaju di jalanan aspal yang terasa asing di mataku. Aku mengenal hampir setiap sudut kota ini, namun area ini tampak berbeda. Pepohonan tumbuh rapi di sisi kanan-kiri, dedaunannya bergerak ringan ditiup angin musim semi. Aroma tanah basah masih tersisa dari gerimis semalam, memberi kesan segar dan tenang. Lucian duduk di sampingku, menyetir tanpa suara. Pandangannya lurus ke depan, tapi dari cara jemarinya mengetuk setir dan sesekali melirikku dengan senyum setengah jadi, aku tahu ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. “Jadi… kita mau ke mana sebenarnya?” tanyaku, menoleh ke arahnya dengan alis terangkat. “Sabarlah. Tidak semua hal bisa dijelaskan sebelum waktunya,” balasnya, kali ini dengan senyum penuh makna. Aku menyipit. “Kau tahu aku tidak suka kejutan.” “Dan kau juga tahu aku senang membuatmu berubah pikiran.” Ia menjawab cepat, membuatku tak bisa tidak tersenyum meskipun kesal. Kukalungkan lenganku di dada, berpura-pura jengkel, pada
Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U







