Share

Dia Membuat Gila

Author: Purplexyiii
last update Last Updated: 2025-03-09 17:05:09

Mataku terbuka dalam keheningan. Apartemen ini selalu sunyi saat malam, seakan tak ada kehidupan di dalamnya. Aku melirik jam di nakas. 2:17 pagi.

Tenggorokanku terasa kering, dan tanpa banyak berpikir, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur.

Aku masih setengah sadar ketika melangkah keluar kamar, hanya menyadari dinginnya lantai marmer yang menyentuh telapak kakiku. Aku tidak menyalakan lampu, membiarkan cahaya remang dari jendela besar menjadi satu-satunya penerangan di ruangan ini.

Begitu aku tiba di dapur, tanganku meraih pegangan lemari kaca, mencari gelas. Tapi sebelum aku bisa menemukannya, aku merasakan sesuatu.

Sebuah tatapan.

Aku membeku seketika.

Jantungku berdetak lebih cepat saat aku berbal
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Tidak Bisa Tidur

    Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berbaring di sana, berguling ke sana kemari, mencoba melawan pikiranku sendiri. Aku baru hampir tertidur ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarku. Jantungku langsung melompat ke tenggorokan. Aku menegakkan tubuh, jari-jariku mencengkeram selimut. Aku menunggu, berharap mungkin aku hanya berhalusinasi karena kelelahan. Tapi ketukan itu datang lagi. Pelan. Terukur. Aku menghela napas, lalu turun dari tempat tidur. Aku menarik napas sebelum membuka pintu sedikit, hanya cukup untuk melihat siapa yang ada di luar. Lucian berdiri di sana. Masih tanpa kemeja. Masih terlihat sama berbahayanya seperti saat di dapur. Matanya turun sejenak ke tubuhku—ke gaun tidur tipis yang masih melekat di kulitku—sebelum dia kembali menatap wajahku.

    Last Updated : 2025-03-09
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Bukan Karena Takut

    "Aku akan pergi ke kantor lebih awal hari ini," katanya akhirnya, suaranya kembali datar. Aku mengangguk, mencoba mengalihkan perhatian dari debaran dadaku yang masih belum normal. "Baiklah." Dia berdiri, mengambil jasnya yang tersampir di kursi, lalu berjalan ke pintu. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia berhenti sejenak. "Seraphina," panggilnya tanpa menoleh. Aku mengangkat kepala. "Ya?" Lucian terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Lain kali, kalau kau sulit tidur, jangan hanya berdiam diri di kamar. Kau bisa memanggilku." Dan dengan itu, dia pergi, meninggalkanku dengan ribuan pertanyaan yang belum terjawab. Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk berbicara, tetapi sebelum aku bisa

    Last Updated : 2025-03-10
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Bertemu di Toko Bunga

    Aku berdiri di depan toko bunga ibuku, menarik napas dalam sebelum mendorong pintu kaca yang terasa lebih berat dari biasanya. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi lembut, menandakan kedatanganku. Aroma bunga segar segera menyambutku, membawa kenangan yang sudah lama kusimpan dalam hati. Tempat ini masih sama—rapi, hangat, dan penuh warna. Buket mawar, lili, dan anggrek tertata di rak kayu dengan vas-vas kaca bening yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Aku merindukan tempat ini lebih dari yang kusadari. “Seraphina?” Suara lembut itu membuatku menoleh. Seorang wanita paruh baya dengan celemek bermotif bunga berdiri di belakang meja kasir. Matanya melebar, kemudian senyum hangat terukir di wajahnya. “Hai, Margaret,” sapaku dengan suara yang sedikit bergetar.

    Last Updated : 2025-03-10
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Bagian Dari Jiwa

    Aku balas tersenyum. “Kalau begitu, nikmati penilaianmu.” Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti kami. Lalu, Veronica melirik sekeliling toko ini dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Sayang sekali tempat ini tidak terlalu ramai.” Aku tahu dia hanya berusaha mengalihkan pembicaraan dan menekanku dengan cara lain. Tapi aku tidak akan goyah. “Bisnis tidak selalu tentang jumlah pelanggan dalam satu hari,” kataku tenang. “Tapi tentang bagaimana sesuatu bertahan dalam jangka panjang.” Veronica menatapku beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kita lihat saja seberapa lama bisa bertahan.” Lalu dia berbalik dan berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Pintu tertutup, meninggalkan udara yang tiba-tiba ter

    Last Updated : 2025-03-10
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Pria Masa Lalu

    Dia menyandarkan lengannya ke atap mobilku, mencondongkan tubuh agar lebih dekat. “Aku hanya ingin mengobrol sebentar. Itu tidak masalah, kan?” Aku tertawa pendek, tanpa humor. “Di tengah jalan raya? Kau kehilangan akal sehatmu?” Dia menyeringai. “Oh, ayolah. Aku tahu kau merindukanku.” Aku hampir ingin tertawa lebih keras. Pria ini benar-benar tidak tahu malu. “Kau sudah menikah, Damien. Aku tidak punya urusan denganmu lagi.” Matanya menyipit sedikit, lalu dia melirik ke dalam mobil, ke arah interior mewah yang jelas bukan milikku sebelum aku menikah dengan Lucian. “Lucian Devereaux benar-benar tahu cara memperlakukan istrinya dengan baik, ya?” gumamnya dengan nada sinis.

    Last Updated : 2025-03-11
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Di Bawah Kendali

    “Aku baru saja bertemu Damien,” ucapku dengan nada tegas, berusaha memecahkan keheningan di ruang kerja Lucian. Dia tidak mengangkat pandangannya dari layar laptopnya. Jemarinya yang panjang tetap mengetik cepat, seolah kata-kataku tidak cukup penting untuk menghentikan pekerjaannya. “Lucian, aku sedang bicara,” ulangku, kali ini lebih keras. Akhirnya, dia menghentikan apa pun yang sedang dilakukannya. Tubuhnya bersandar ke kursi kulit mahal yang mencerminkan kemewahan hidupnya. Mata abu-abu dinginnya menatapku dengan intens, tetapi tidak ada emosi di sana, hanya kekosongan yang membuatku semakin gelisah. “Aku sudah bilang, jangan dekat-dekat dengan pria itu,” katanya pelan, tapi nadanya tegas. Aku mengerutkan kening, tidak puas dengan jawabannya. “Kau tidak mengerti. Damien tidak hanya mencoba menghubungiku lagi, dia juga mengatakan hal-hal yang .…” Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diriku sendir

    Last Updated : 2025-03-11
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Undangan Makan Malam

    “Berusaha menjagaku, tapi di saat yang sama, kau terus mendorongku pergi.” Dia tidak menjawab. Aku menoleh, berharap menemukan sesuatu di wajahnya, tetapi dia hanya menatapku dengan ekspresi datar yang biasa. “Aku hanya ingin kau aman, Seraphina.” “Kenapa?” tanyaku lagi, mataku menatapnya tajam. Dia menghela napas, tetapi tidak menjawab. Aku yakin dia tidak akan pernah mau menjawab. “Lucian,” panggilku, mencoba mendapatkan perhatian penuh darinya. “Apa yang kau sembunyikan dariku?” Untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di matanya—keraguan, mungkin bahkan ketakutan. Namun, seperti biasa, dia menguburnya dalam-dalam sebelum aku bisa memahami apa artinya. “Seraphina, ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan,” katanya akhirnya. Aku menggeleng, merasa frustrasi denga

    Last Updated : 2025-03-11
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Permintaan Maaf Lucian

    Aku tidak menjawab. Sebagai gantinya, aku hanya menatapnya, membiarkan ketegangan di antara kami menggantung di udara. Tamu-tamu lain di restoran ini berpura-pura sibuk dengan makanan mereka, tetapi aku tahu mereka mencuri dengar percakapan kami. Bagaimana tidak? Sejak aku tiba, Veronica tidak berhenti melempar sindiran pedas. Akhirnya, dia menyeringai kecil. “Yah, aku harap kau menikmati makan malammu.” Aku meletakkan serbet di atas meja dengan gerakan pelan dan terkendali, lalu berdiri. “Tidak. Aku sudah selesai di tempat ini.” Aku meraih tas tanganku dan berjalan keluar tanpa melihat ke belakang. Namun, sebelum aku mencapai pintu restoran, suara Veronica terdengar lagi—cukup pelan untuk hanya kudengar, tetapi cukup tajam untuk menusuk pikiranku. “Aku penasaran, Seraphina. Seberapa lama kau bisa bertahan dalam kebohongan ini sebelum sem

    Last Updated : 2025-03-11

Latest chapter

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Rayuan di Toko Bunga

    “Saya turun di sini saja,” ucapku pada sopir taksi ketika mobil melewati sudut jalan tempat toko bungaku berdiri. Hujan masih belum turun, meski langit sudah menggelap sejak pagi. Di luar, angin bertiup pelan, menyapu dedaunan yang mulai menguning. Hari libur ini tidak berjalan seperti yang kubayangkan—tidak ada olahraga pagi bersama Lucian, dan tentu saja, tidak ada ketenangan.Aku melangkah masuk ke toko. Aroma bunga mawar putih menyambutku, dan suara lonceng kecil di pintu membuat Margaret yang sedang merangkai bunga menoleh cepat.“Seraphina?”“Margaret,” jawabku sambil tersenyum. “Kukira aku mampir sebentar. Sudah lama juga aku tidak ke sini.”Margaret langsung meletakkan gunting bunganya dan menepuk-nepuk kedua tangannya. “Wah, lihat siapa yang datang. Madam Fleur DeVere sendiri. Masih ingat tempat ini, rupanya.”Aku terkekeh pelan dan menyender ke meja kasir. “Tentu saja. Ini rumahku sebelum semua menjadi rumit.”

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Les Memasak Dadakan

    Hari libur seharusnya menjadi momen paling kutunggu—terutama jika bisa dimulai dengan wajah Lucian yang masih mengantuk dan rambutnya yang berantakan di atas bantal. Tapi pagi ini, tempat tidur terasa terlalu besar. Terlalu sunyi.Lucian berangkat kerja lebih awal. Dia bahkan tidak sempat sarapan."Hanya ada satu rapat penting," katanya saat mencium dahiku di ambang pintu. "Aku akan pulang cepat."Ya, tentu saja. Satu rapat penting, seperti kemarin. Dan hari sebelumnya.Kupaksakan tersenyum sambil menyeruput kopi. Biasanya kami akan ke gym bersama, lalu sarapan sambil berdebat kecil soal playlist lagu siapa yang lebih menyebalkan. Tapi pagi ini hanya ada suara jam dinding dan desahan angin dari jendela.Kupikir aku akan menghabiskan hari ini menonton drama Korea sambil mengenakan kaos bekas Lucian.Sampai ponselku berdering."Haelyn Devereaux".Nama yang muncul di layar membuat tenggorokanku tercekat. Kutatap la

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Pria Pembawa Kebenaran

    Cahaya sore mengalir pelan melalui jendela kaca kafe kecil di sudut kota, membentuk siluet tenang di atas meja kayu bundar tempat aku duduk. Jemariku melingkar di cangkir teh yang mulai kehilangan panasnya, tapi aku nyaris tak menyadari itu. Pikiranku terlalu sibuk menimbang. Bertanya. Menebak-nebak.Dia sudah lima belas menit terlambat.Dan aku masih di sini.Bukan karena aku tak punya pilihan. Tapi karena rasa ingin tahu adalah jebakan yang manis sekaligus berbahaya.“Maaf, aku terlambat.”Suara itu membuatku menoleh. Pria itu berdiri di dekat meja dengan jaket hitam dan wajah yang lebih tirus dari yang kuingat dari foto-foto skandal yang dulu sempat beredar. Tak ada aura menggoda, tak ada karisma gelap seperti yang pernah digembar-gemborkan media. Yang kulihat hanya lelah.“Xander?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk, lalu duduk dengan kikuk. Matanya bergerak cepat, menghindari tatapanku.

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Ombak dan Ceritanya

    Langit siang itu sedikit mendung, tapi hangat. Angin dari laut membawa aroma asin yang terasa familiar. Aku memarkir mobilku di dekat dermaga kayu tua, tempat yang beberapa bulan lalu menjadi pelarianku. Saat dunia terasa seperti runtuh di bawah kakiku, aku pernah berdiri di sini, tak tahu harus ke mana. Tapi seseorang waktu itu menghentikanku. Seorang pria asing dengan mata penuh dunia. Hari ini aku kembali ke pantai itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk seseorang yang tidak kutahu namanya, tapi entah kenapa masih membekas dalam ingatanku seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya mengingatkan. Butuh waktu lima belas menit berjalan menyusuri pasir sebelum aku melihat sosoknya. Duduk di bangku kayu reyot, membelakangi laut, seperti sebelumnya. Diam, tenang, nyaris seperti batu karang itu sendiri. Aku ragu. Tapi akhirnya aku melangkah. Langkahku pelan agar tidak mengejutkannya, meski aku tahu—entah bagaimana—dia pasti

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Ciuman di Depan Publik

    Langkahku mantap, meski tangan yang menggenggam gunting berlapis emas ini sempat bergetar sesaat. Di hadapanku, pita satin berwarna biru tua melintang di depan pintu kaca besar bertuliskan Fleur DeVere dalam font elegan dan tegas.Di belakangku, para tamu berdiri. Pers, investor, teman-teman yang pernah melihatku menangis diam-diam di pojok toko bunga lama milik ibuku. Hari ini bukan hanya soal gedung megah atau bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut ruangan. Ini tentang bertahan. Tentang kelahiran kembali.Kutarik napas panjang, lalu mengayunkan gunting. Suara pita terpotong seperti gemuruh halus di dadaku. Gemuruh yang berkata: aku berhasil.Tepuk tangan menggema. Kamera menyala. Tapi dunia seolah mengabur saat aku melangkah ke podium. Mikrofon tingginya sejajar dadaku, tapi suaraku jauh lebih tinggi dari itu. Meskipun aku mengaku aku gugup, tapi beruntung aku bisa mengontrol diri."Saya dibesarkan di antara bunga." Aku memulai pembicaraan, dengan suaraku yang stabil dan rendah tan

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Kepulangan Si Drama

    Aku duduk di sofa sudut ruangan, mendengarkan nasihat dari Clara, salah satu konsultan bisnis yang Lucian panggil untukku. Clara orangnya tegas tapi ramah, tipe yang bisa membuat seseorang merasa bodoh dan termotivasi dalam satu kalimat. Sekarang dia sedang menjelaskan strategi untuk memperkuat posisi perusahaan baruku—yang Lucian serahkan padaku beberapa bulan lalu—di tengah persaingan yang semakin ketat. “Seraphina, kau harus lebih agresif dalam negosiasi,” kata Clara, menunjuk papan presentasi di depannya. “Jangan hanya mengandalkan nama besar Lucian atau koneksi Fedorov. Bangun reputasimu sendiri. Jika ada lawan yang bermain kotor, kau harus siap membalas dengan cerdas, bukan hanya emosi yang sia-sia." Aku mengangguk, mencatat poin-poin penting di buku catatanku. Sejak Lucian menyerahkan perusahaan baru ini padaku, aku belajar banyak—dari cara membaca laporan keuangan sampai menghadapi klien yang sok tahu. Namun, aku suka tantangannya. Rasanya seperti membuktikan bahwa aku

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Gelang Warna-Warni

    Apartemen terasa sepi tanpa Lucian malam ini. Dia berpesan ada urusan di kantor yang harus diselesaikan, karena itu aku pulang lebih dulu setelah kami meninggalkan mansion Fedorov pagi tadi. Cahaya lampu di ruang tamu menyala lembut, tapi aku merasa agak gelisah. Mungkin karena obrolan kemarin malam masih terngiang, atau mungkin karena aku masih mencerna semua yang terjadi di mansion. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif—merapikan lemari lama Lucian di kamar yang sekarang jarang dia pakai. Lemari itu penuh dengan barang-barang yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Kotak-kotak berdebu, buku catatan kuliah, dan beberapa baju yang jelas sudah tidak muat lagi. Aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan tumpukan kaos lusuh, bertanya-tanya kenapa Lucian masih menyimpan semua ini. Tapi saat aku menggeser sebuah kotak sepatu tua di rak bawah, sesuatu jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Aku membungkuk, mengambil benda itu, dan langsung terpaku. Sebuah gel

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Restu yang Resmi

    Malam menyelimuti mansion Fedorov dengan suasana yang hangat, meski udara di luar terasa dingin. Cahaya lampu-lampu taman memantul di permukaan air mancur, menciptakan kilau yang bikin aku ingin terus menatapnya. Setelah obrolan panjang di ruang duduk tadi, Fedorov bersikeras kami menginap. “Kalian sudah jauh-jauh ke sini,” katanya dengan nada yang tidak menerima penolakan. “Lagipula, ada kamar yang sudah disiapkan untuk kalian.” Aku dan Lucian cuma saling pandang, lalu mengangguk. Sulit menolak pria seperti Fedorov—bukan karena dia menakutkan, tapi ada aura yang membuatku merasa dia selalu mempunyai rencana lebih besar dari yang terlihat.Setelah makan malam yang mewah tapi entah kenapa terasa nyaman, kami dipanggil lagi ke ruang kerja Fedorov. Ruangan itu beda dari bagian lain mansion—dindingnya dipenuhi rak buku kayu tua, meja besar di tengah dengan lampu hijau klasik, dan bau samar kertas tua yang bikin aku merasa seperti masuk ke film detektif jadul. Fedorov duduk di balik me

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Telah Memenuhi Syarat

    Pagi ketiga di Lapland terasa seperti mimpi yang belum ingin kuberhenti jalani. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela sehingga membawa kilau salju yang membuat segalanya terasa magis. Namun, ketika Lucian masuk ke kamar dengan wajah sedikit tegang—sesuatu yang jarang kulihat—aku tahu ada sesuatu yang berbeda hari ini. “Seraphina, kita harus pulang lebih awal,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, sambil tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kakekku ingin bertemu kita. Secepatnya." Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. “Kakekmu? Serius?” Aku pernah mendengar cerita-cerita Lucian, tapi pria itu selalu terdengar seperti legenda—pengusaha kaya raya yang keras kepala, hidup menyendiri di mansion mewahnya. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Lucian menghela napas, jari-jarinya mengusap punggung tanganku. “Dia bilang sudah waktunya kita membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari bisnis, pernikahan kita, dan yang paling utam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status