Saat aku kembali ke kantor Lucian setelah pertemuanku dengan Veronica, pria itu sudah menungguku dengan ekspresi datar. Dia sedang berdiri di depan jendela, melihat pemandangan kota yang bermandikan cahaya senja.
"Apa yang dia katakan padamu?" Aku menghela napas dan berjalan ke arah meja, meletakkan tas tanganku dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. "Oh, hal biasa. Ancaman terselubung, pertanyaan meremehkan, sedikit penghinaan halus." Lucian akhirnya berbalik menatapku. Mata kelamnya mengamati wajahku seolah mencoba membaca apakah aku sedang berbohong atau tidak. "Dan bagaimana menurutmu?" Aku menyandarkan tubuh ke meja, melipat tangan di depan dada. "Aku pikir dia menganggapku sebagai pengganggu dalam hidupmu. Dan dia ingin memastikan aku tidak bertahan lama." Sudut bibir Lucian sedikit terangkat, tapi bukan dalam senyuman. "Itu sudah bisa diduga." Aku menatapnya tajam. "Kau tidak akan melakukan apa pun soal itu?" "Apa kau ingin aku melakukannya?" Dia balik bertanya, mendekat hingga hanya beberapa langkah dariku. Aku terdiam sejenak. Ini bukan pertama kalinya Lucian menantangku seperti ini, tapi kali ini aku tahu dia benar-benar ingin mendengar jawabanku. Aku menarik napas dalam dan menatap matanya dengan penuh keyakinan. "Aku bisa mengurusnya sendiri." Tatapan Lucian tetap melekat padaku selama beberapa detik sebelum akhirnya dia mengangguk. *** Hari-hari setelah pertemuanku dengan Veronica berlalu tanpa insiden berarti, tapi itu hanya ketenangan sebelum badai. Hari ini, Lucian dan aku menghadiri acara amal yang diadakan oleh salah satu rekan bisnisnya. Acara ini bukan hanya sekadar pameran kekayaan, tapi juga ajang untuk menunjukkan status sosial. Dan sebagai istri Lucian, aku harus memainkan peranku dengan sempurna. Aku mengenakan gaun hitam elegan dengan potongan sederhana, cukup klasik untuk tidak mencolok, tetapi tetap menunjukkan bahwa aku bukan orang sembarangan. Rambutku ditata dalam gelombang lembut, dan riasanku dibuat natural, tapi tetap menonjolkan fiturku. Saat kami tiba, semua mata tertuju pada kami. Bisikan-bisikan mulai terdengar, seolah mereka sedang menilai apakah aku layak berdiri di samping Lucian Devereaux. Lucian seperti biasa, tak terganggu. Dia menggenggam tanganku dengan santai, tetapi aku bisa merasakan kekuatan dalam genggamannya, seolah ingin memastikan aku tetap berada di sisinya. "Jangan terlalu dipikirkan," katanya pelan saat kami berjalan melewati para tamu yang menatap dengan penuh minat. "Mereka hanya penasaran." Aku tersenyum kecil. "Aku juga sudah terbiasa." Kami bergabung dengan sekelompok orang berpengaruh, termasuk beberapa kolega yang juga hadir dalam makan siang kemarin. Olivia ada di sana, tersenyum tipis saat melihatku. "Hai, Seraphina?" sapanya dengan nada yang terdengar terlalu manis. "Senang sekali bisa bertemu lagi." Aku membalas senyumannya dengan anggun. "Hai, Olivia." Dia melirik Lucian sebelum kembali menatapku. "Kau terlihat luar biasa malam ini. Lucian pasti punya selera yang bagus dalam memilih pakaian untukmu." Aku tertawa kecil. "Lucian bahkan tidak tahu aku akan mengenakan ini sampai beberapa menit sebelum kami berangkat." Olivia tampak sedikit terkejut, seolah tidak mengira aku akan menjawab dengan percaya diri. "Tentu saja," katanya akhirnya. "Bagaimanapun, kau sekarang adalah bagian dari dunia yang glamor ini." Aku tahu maksud terselubungnya. Bagian dari dunia ini, tapi tetap dianggap orang luar. Aku hendak membalas, tetapi sebelum aku bisa mengatakan apa pun, suara lain menyela. "Memang sulit menyesuaikan diri, bukan?" Aku menoleh dan melihat Veronica berdiri di dekat kami. Sekarang aku tahu kenapa aku merasa suasana di ruangan ini semakin menegang. Olivia tersenyum puas saat melihat Veronica bergabung dalam percakapan. "Oh, Veronica! Aku sedang berbicara dengan Seraphina tentang bagaimana rasanya menjadi bagian dari dunia kita." Veronica menatapku lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Aku yakin dia sedang belajar banyak." Aku menegakkan bahu dan menatap balik tanpa gentar. "Aku selalu belajar dengan cepat." Tatapan kami bertemu, dan aku tahu ini adalah pertempuran diam-diam. Lucian tiba-tiba melangkah di antara kami, menatap Veronica dengan tajam. "Veronica." Suara itu cukup untuk membuat beberapa orang yang mendengar menegang. Veronica menatapnya dengan ekspresi polos. "Aku hanya berbincang dengan istrimu." Lucian diam, hanya menatap adiknya dengan tajam, seolah memperingatkannya untuk tidak bermain terlalu jauh. Aku melihat Olivia dan beberapa orang lainnya menonton dengan penuh minat, seolah ini adalah drama yang sangat menarik bagi mereka. Aku menghela napas dalam dan memutuskan untuk mengambil kendali situasi. "Aku menghargai perhatianmu, Veronica," kataku dengan suara lembut tapi tegas. "Aku yakin kau hanya ingin memastikan aku bisa menyesuaikan diri." Veronica tersenyum tipis. "Tentu saja." *** Saat acara berakhir dan kami dalam perjalanan pulang, aku menatap Lucian yang duduk di sampingku di dalam mobil. "Apa kau ingin bertanya sesuatu?" tanyanya tanpa menoleh. Aku menyandarkan kepala ke jok dan menghela napas. "Aku hanya penasaran ... kenapa hubunganmu dengan Veronica begitu rumit?" Lucian diam sejenak, lalu akhirnya berkata, "Kami punya sejarah yang panjang." Aku menunggu, berharap dia akan mengatakan lebih banyak, tapi dia tetap diam. Aku tidak ingin memaksanya. Aku tahu Lucian bukan tipe orang yang akan membuka diri begitu saja. Aku menoleh padanya dan berkata pelan, "Aku ingin mengerti duniamu, Lucian. Jika kita harus menjalani ini bersama, aku ingin tahu kebenarannya." Dia menatapku untuk pertama kalinya sejak kami masuk ke mobil. Tatapan itu dalam, seolah dia sedang menimbang sesuatu. Setelah beberapa detik, dia berkata, "Tapi kau harus siap menerima apa yang kau cari, Seraphina"Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U
Gelas tipis berbentuk tulip mendarat di hadapanku. Aroma sake menguar, hangat dan lembut seperti asap dupa. Aku menatap pria itu sejenak—lalu pada pria berkemeja biru dongker yang baru saja menyodorkannya padaku sambil tersenyum penuh harap. “Untuk keberhasilan kerja sama kita,” kata pria itu, nada bicaranya berkelas, tapi sikapnya terlalu santai untuk seseorang dengan gelar eksekutif senior. Aku mengangguk kecil, sambil mengambil gelas itu. “Tentu. Untuk kemitraan yang sehat dan berkelanjutan.” Senyum pria itu bertambah lebar. “Itu terdengar seperti kalimat dari proposalmu yang terakhir. Sangat diplomatis.” Aku terkekeh kecil sebelum menyesap sedikit dari cairan bening itu. Hangatnya langsung merambat ke perut. Dua puluh menit dan tiga gelas kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang pelan-pelan menguap dari tubuhku: kendali. Meja panjang kayu khas restoran Jepang itu masih ramai dengan obrolan formal. Investor dari Osaka, dua dari Singapura, dan satu dari Prancis—semuanya tampa
Beranda rooftop apartemen Lucian memang selalu terlihat istimewa ketika malam menurunkan suhunya dengan pelan. Kolam renang pribadi itu menyambut dengan permukaannya yang berkilau seperti kaca hitam, memantulkan bintang-bintang yang menggigil di langit. Angin dingin sempat membuatku ragu untuk turun, tapi tangan Lucian sudah menggenggam erat jemariku. "Aku tidak akan membiarkanmu beku sendirian di dalam sana," ucapnya dengan senyum tipis. "Apa maksudnya … kau akan ikut membeku bersamaku?" Aku menoleh sambil menyipitkan mata, pura-pura mencurigainya. "Bukan. Aku akan memastikan kau tetap hangat meski berada di dalam air," jawabnya sambil perlahan melepas jaket yang sejak tadi membungkus bahunya. Tubuh tegap pria itu terlihat jelas di balik kaus tipis, dan dia bahkan belum menyadari bahwa aku diam-diam memperhatikannya. Aku menarik napas panjang lalu perlahan menyusuri tepi kolam, jari-jari kakiku menyentuh air terlebih dahulu. Sedingin yang kubayangkan. Tapi Lucian sudah melompat
Keringat menetes dari pelipisku, jatuh membasahi kaus longgar yang sengaja kupakai agar terlihat lebih santai. Lucian sudah lebih dulu memulai sesi pemanasan di treadmill, sedangkan aku masih berdiri seperti orang bingung di dekat rak dumbel, memandangi berbagai alat kebugaran yang sebagian besar tak kumengerti fungsinya. "Jangan cuma dilihat. Kau ke sini untuk olahraga, bukan piknik." Suara bariton Lucian menyapaku dari balik punggung. Aku berbalik, mendapati wajahnya yang terlukis penuh selera jahil. Ia menghentikan treadmill-nya dan berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. "Aku baru saja memilih dumbel yang pas," sanggahku, meskipun jelas-jelas belum memegang satu pun alat. Lucian mendengkus tipis. "Dumbel itu untuk latihan lengan, tapi kau justru berdiri di dekat leg press. Coba sini." Dengan penuh percaya diri, dia menggandeng lenganku menuju sebuah mesin besar berwarna hitam dengan bantalan empuk. "Ini namanya chest press. Cocok untukmu yang ingin memperkuat dada dan
Langit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot
Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak