Sejak pertemuanku dengan Veronica kemarin, aku sudah menduga akan ada konsekuensi. Dan benar saja. Hari ini, dalam acara makan siang bersama beberapa kolega Lucian, aku bisa merasakan tatapan-tatapan terselubung yang memerhatikanku, menilai, dan mungkin meremehkan.
Kami berada di restoran mewah dengan pemandangan kota dari ketinggian, ruangan penuh dengan orang-orang berpakaian rapi yang berbicara dengan nada sopan, tapi tajam. Aku tidak asing dengan lingkungan seperti ini. Meski dulu hidupku sederhana, pekerjaanku di toko bunga ibuku sering mempertemukanku dengan klien-klien kaya yang punya standar tinggi. Aku terbiasa menghadapi pelanggan yang memandang rendah pekerjaanku, seolah merangkai bunga bukan hal yang cukup bernilai. Tapi kali ini berbeda. Lucian duduk di sampingku, tenang seperti biasa. Sikapnya dingin dan tak tergoyahkan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya. Tapi aku tahu lebih baik dari itu. Dia sedang mengamatiku, menunggu untuk melihat bagaimana aku menangani situasi ini. "Seraphina." Suara seorang wanita dari seberang meja menyela lamunanku. Aku menoleh dan melihat seorang wanita elegan dengan gaun biru gelap yang sempurna membingkai tubuhnya. Matanya berkilat tajam, seperti sedang menilai buruannya. "Bagaimana rasanya menikah dengan pria paling diincar di kota ini?" Aku tersenyum tipis. "Aku rasa itu pertanyaan yang lebih baik ditanyakan pada Lucian. Aku yakin dia punya banyak penggemar yang kecewa." Beberapa orang di meja tertawa kecil, tapi aku bisa melihat kilatan ketidaksukaan di mata wanita itu. "Aku hanya penasaran," lanjutnya, menyesap sampanye dari gelasnya. "Karena kau datang dari latar belakang yang ... sederhana, kan?" Aku menegang, tapi sebelum aku bisa menjawab, Lucian meletakkan tangannya di atas tanganku di bawah meja. Sebuah isyarat. "Apa maksudmu, Olivia?" Suara Lucian terdengar santai, tapi dingin. "Kurasa pekerja keras selalu lebih menarik dari pada seseorang yang hanya mengandalkan nama keluarganya." Tatapan Olivia berubah sekilas, tapi dia segera tersenyum manis. "Aku hanya ingin mengenal istrimu lebih baik." Aku balas tersenyum. "Aku juga ingin mengenal kalian lebih dalam. Aku yakin banyak hal yang bisa kupelajari." Setelah itu, pembicaraan beralih ke topik lain, tapi aku bisa merasakan suasana di meja ini berubah. *** Setelah makan siang itu, Lucian mengajakku kembali ke kantor sebelum kami pulang. Aku berjalan di sampingnya dalam diam, masih memikirkan pertanyaan-pertanyaan halus yang diajukan oleh Olivia dan beberapa kolega lainnya. Mereka tidak langsung menyerangku, tapi setiap kata mereka dipilih dengan hati-hati untuk merendahkanku tanpa harus mengatakannya secara terang-terangan. "Kau melakukannya dengan baik," kata Lucian tiba-tiba saat kami memasuki lift. Aku menoleh ke arahnya. "Melakukan apa?" Lucian menatap ke depan, ekspresinya tetap datar. "Menangani mereka." Aku tersenyum kecil. "Aku sudah terbiasa menghadapi pelanggan yang meremehkan pekerjaanku dulu. Ini bukan pertama kalinya aku melihat seseorang tersenyum sambil mencoba membuatku merasa kecil." Lucian menatapku sekilas, tapi tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku juga tidak merasa perlu bertanya. Ketika kami tiba di kantor, aku mengira hariku akan berakhir begitu saja. Tapi aku salah. Di depan ruang kerja Lucian, seseorang sudah menunggu. Veronica. Wanita itu bersandar di dinding dengan anggun, tangan terlipat di depan dada, matanya langsung tertuju padaku begitu aku keluar dari lift. "Hai, Seraphina. Senang melihatmu lagi." Aku tidak yakin itu benar. Lucian menghela napas pelan di sampingku, seolah sudah lelah menghadapi adiknya sendiri. "Kenapa kau kemari?" "Apa aku butuh alasan untuk mengunjungi saudaraku?" jawabnya santai sebelum beralih menatapku lagi. "Aku juga ingin berbicara sebentar dengan istrimu." Lucian menatap Veronica tajam, lalu menoleh padaku, seolah bertanya apakah aku ingin meladeni ini atau tidak. Aku bisa saja menolak, tapi jika aku melakukannya, itu hanya akan membuatku terlihat lemah di matanya. Jadi aku tersenyum kecil dan mengangguk. "Tentu. Aku juga ingin mengenal keluargaku lebih baik." Kilatan di mata Veronica menunjukkan bahwa dia tahu aku tidak sebodoh itu. Kami berjalan ke salah satu ruang lounge di kantor, meninggalkan Lucian yang masih menatap kami dengan ekspresi tidak puas. Aku bisa merasakan bahwa dia ingin ikut campur, tapi dia juga tahu aku harus menghadapi ini sendiri. Begitu kami duduk, Veronica menyilangkan kaki dan menatapku lama. "Jadi, kau benar-benar menikahi Lucian, ya?" Aku menatap balik tanpa gentar. "Kita sudah membahas ini kemarin." Dia menyeringai tipis. "Benar. Tapi aku masih sulit percaya. Aku selalu berpikir Lucian akan memilih seseorang yang lebih ... cocok." Aku tidak bereaksi. Aku paham dia ingin melihat apakah aku akan terpancing. Veronica menghela napas dramatis. "Kau tahu, Lucian bukan pria yang mudah didekati. Dia punya banyak rahasia. Aku hanya ingin tahu, sejauh apa kau siap menghadapi konsekuensi menjadi istrinya." Aku menatapnya tajam. "Aku mungkin tidak tahu semua tentang Lucian, tapi aku bukan seseorang yang mudah goyah." Veronica mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatapku dalam. "Kau pikir kau kuat, Seraphina? Dunia ini akan menghancurkanmu jika kau tidak cukup siap." Aku menahan napas, lalu tersenyum tipis. "Aku sudah dihancurkan sekali. Dan aku masih bisa di sini." Sejenak, aku melihat sesuatu di matanya—kejutan, atau mungkin kekaguman yang enggan. Tapi dalam sekejap, itu menghilang. Veronica berdiri dan merapikan gaunnya. "Kalau begitu, kita lihat saja berapa lama kau bisa bertahan."Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U
Gelas tipis berbentuk tulip mendarat di hadapanku. Aroma sake menguar, hangat dan lembut seperti asap dupa. Aku menatap pria itu sejenak—lalu pada pria berkemeja biru dongker yang baru saja menyodorkannya padaku sambil tersenyum penuh harap. “Untuk keberhasilan kerja sama kita,” kata pria itu, nada bicaranya berkelas, tapi sikapnya terlalu santai untuk seseorang dengan gelar eksekutif senior. Aku mengangguk kecil, sambil mengambil gelas itu. “Tentu. Untuk kemitraan yang sehat dan berkelanjutan.” Senyum pria itu bertambah lebar. “Itu terdengar seperti kalimat dari proposalmu yang terakhir. Sangat diplomatis.” Aku terkekeh kecil sebelum menyesap sedikit dari cairan bening itu. Hangatnya langsung merambat ke perut. Dua puluh menit dan tiga gelas kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang pelan-pelan menguap dari tubuhku: kendali. Meja panjang kayu khas restoran Jepang itu masih ramai dengan obrolan formal. Investor dari Osaka, dua dari Singapura, dan satu dari Prancis—semuanya tampa
Beranda rooftop apartemen Lucian memang selalu terlihat istimewa ketika malam menurunkan suhunya dengan pelan. Kolam renang pribadi itu menyambut dengan permukaannya yang berkilau seperti kaca hitam, memantulkan bintang-bintang yang menggigil di langit. Angin dingin sempat membuatku ragu untuk turun, tapi tangan Lucian sudah menggenggam erat jemariku. "Aku tidak akan membiarkanmu beku sendirian di dalam sana," ucapnya dengan senyum tipis. "Apa maksudnya … kau akan ikut membeku bersamaku?" Aku menoleh sambil menyipitkan mata, pura-pura mencurigainya. "Bukan. Aku akan memastikan kau tetap hangat meski berada di dalam air," jawabnya sambil perlahan melepas jaket yang sejak tadi membungkus bahunya. Tubuh tegap pria itu terlihat jelas di balik kaus tipis, dan dia bahkan belum menyadari bahwa aku diam-diam memperhatikannya. Aku menarik napas panjang lalu perlahan menyusuri tepi kolam, jari-jari kakiku menyentuh air terlebih dahulu. Sedingin yang kubayangkan. Tapi Lucian sudah melompat
Keringat menetes dari pelipisku, jatuh membasahi kaus longgar yang sengaja kupakai agar terlihat lebih santai. Lucian sudah lebih dulu memulai sesi pemanasan di treadmill, sedangkan aku masih berdiri seperti orang bingung di dekat rak dumbel, memandangi berbagai alat kebugaran yang sebagian besar tak kumengerti fungsinya. "Jangan cuma dilihat. Kau ke sini untuk olahraga, bukan piknik." Suara bariton Lucian menyapaku dari balik punggung. Aku berbalik, mendapati wajahnya yang terlukis penuh selera jahil. Ia menghentikan treadmill-nya dan berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. "Aku baru saja memilih dumbel yang pas," sanggahku, meskipun jelas-jelas belum memegang satu pun alat. Lucian mendengkus tipis. "Dumbel itu untuk latihan lengan, tapi kau justru berdiri di dekat leg press. Coba sini." Dengan penuh percaya diri, dia menggandeng lenganku menuju sebuah mesin besar berwarna hitam dengan bantalan empuk. "Ini namanya chest press. Cocok untukmu yang ingin memperkuat dada dan
Langit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot
Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak