Home / Romansa / Terpikat Hasrat CEO Dingin / Menjaga yang Dimiliki

Share

Menjaga yang Dimiliki

Author: Purplexyiii
last update Last Updated: 2025-05-03 19:42:41

Aku mengerjapkan mata, menyesuaikan diri dengan cahaya remang yang masuk melalui celah gorden apartemen. Aroma linen segar bercampur dengan sisa parfum Lucian yang maskulin memenuhi indra penciumanku. Semalam benar-benar intens.

Aku melirik ke samping, mendapati sisi tempat tidur Lucian sudah kosong. Pantas saja, memangnya dia pernah bangun terlambat? Aku menghela napas, mengingat kembali kejadian semalam. Acara bisnis memang melelahkan, tapi percayalah, bukan rapat dan negosiasi yang menguras habis energiku.

Sentuhan di pinggangku membuatku tersentak kecil. Lucian, dengan rambut sedikit berantakan dan hanya mengenakan celana bahan, berdiri di samping tempat tidur sambil menyodorkan secangkir kopi.

"Pagi, Istriku," sapanya singkat, tanpa senyum seperti biasanya.

"Pagi juga," jawabku sambil menerima kopi itu. "Kau selalu bangun lebih awal dariku."

Dia hanya mengangkat bahu, lalu duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan intens. "Bagaimana tidurmu?"

"Nyenyak," jawabku, menyesap
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Bulan Madu?

    Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantung yang entah kenapa tak mau reda sejak kami naik ke pesawat pribadi ini. Kabinnya luas, dilapisi kulit krem dan aksen kayu gelap, dengan kursi besar yang lebih mirip sofa daripada tempat duduk pesawat pada umumnya. Lucian duduk di sampingku, satu tangan memegang tablet, matanya fokus membaca sesuatu—mungkin laporan bisnis, entah apa lagi. Tapi tangan lainnya? Oh, tangan itu dengan santai bertumpu di pahaku, jari-jarinya sesekali mengusap lembut tanpa sadar. Aku berusaha mengabaikannya, tapi rasanya seperti ada arus listrik kecil yang mengalir setiap kali dia bergerak. “Seraphina,” panggilnya tanpa menoleh, suaranya rendah dan sedikit serak. “Kau kenapa gelisah dari tadi?” Aku mendengus pelan, memalingkan muka ke jendela. Di luar, awan putih bergumpal terlihat seperti kapas raksasa di bawah sinar matahari. “Aku tidak gelisah,” bantahku, meskipun tahu dia pasti bisa merasakan keteganganku dari caraku memainkan

    Last Updated : 2025-05-03
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Di Bawah Aurora

    Cahaya pagi menyelinap lembut melalui jendela kaca raksasa yang memantulkan kilau salju di luar hingga ruangan terasa seperti bercahaya. Aku membuka mata perlahan, masih terbungkus selimut tebal yang hangat, dan menyadari Lucian sudah tidak ada di sampingku. Tempat tidur masih terasa hangat di sisinya, jadi dia pasti baru bangun. Aroma kopi segar menyelinap ke hidungku, dan aku mendengar suara pelan dari arah dapur kecil. Aku menyeret diri keluar dari selimut, mengenakan sweater tebal dan kaus kaki wol sebelum berjalan ke arah suara itu. Lucian berdiri di sana, berpakaian santai—kaus hitam lengan panjang dan celana jeans yang entah kenapa membuatnya terlihat lebih manusiawi daripada biasanya. Dia sedang menuang kopi ke dua cangkir, rambutnya sedikit acak-acakan, dan aku harus menahan diri untuk tidak tersenyum melihatnya. “Pagi,” sapanya tanpa menoleh, tapi aku tahu dia sudah merasakan kehadiranku. Suaranya masih serak khas bangun tidur. “Pagi,” balasku, berusaha terdengar biasa

    Last Updated : 2025-05-04
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Telah Memenuhi Syarat

    Pagi ketiga di Lapland terasa seperti mimpi yang belum ingin kuberhenti jalani. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela sehingga membawa kilau salju yang membuat segalanya terasa magis. Namun, ketika Lucian masuk ke kamar dengan wajah sedikit tegang—sesuatu yang jarang kulihat—aku tahu ada sesuatu yang berbeda hari ini. “Seraphina, kita harus pulang lebih awal,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, sambil tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kakekku ingin bertemu kita. Secepatnya." Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. “Kakekmu? Serius?” Aku pernah mendengar cerita-cerita Lucian, tapi pria itu selalu terdengar seperti legenda—pengusaha kaya raya yang keras kepala, hidup menyendiri di mansion mewahnya. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Lucian menghela napas, jari-jarinya mengusap punggung tanganku. “Dia bilang sudah waktunya kita membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari bisnis, pernikahan kita, dan yang paling utam

    Last Updated : 2025-05-04
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Restu yang Resmi

    Malam menyelimuti mansion Fedorov dengan suasana yang hangat, meski udara di luar terasa dingin. Cahaya lampu-lampu taman memantul di permukaan air mancur, menciptakan kilau yang bikin aku ingin terus menatapnya. Setelah obrolan panjang di ruang duduk tadi, Fedorov bersikeras kami menginap. “Kalian sudah jauh-jauh ke sini,” katanya dengan nada yang tidak menerima penolakan. “Lagipula, ada kamar yang sudah disiapkan untuk kalian.” Aku dan Lucian cuma saling pandang, lalu mengangguk. Sulit menolak pria seperti Fedorov—bukan karena dia menakutkan, tapi ada aura yang membuatku merasa dia selalu mempunyai rencana lebih besar dari yang terlihat.Setelah makan malam yang mewah tapi entah kenapa terasa nyaman, kami dipanggil lagi ke ruang kerja Fedorov. Ruangan itu beda dari bagian lain mansion—dindingnya dipenuhi rak buku kayu tua, meja besar di tengah dengan lampu hijau klasik, dan bau samar kertas tua yang bikin aku merasa seperti masuk ke film detektif jadul. Fedorov duduk di balik me

    Last Updated : 2025-05-04
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Gelang Warna-Warni

    Apartemen terasa sepi tanpa Lucian malam ini. Dia berpesan ada urusan di kantor yang harus diselesaikan, karena itu aku pulang lebih dulu setelah kami meninggalkan mansion Fedorov pagi tadi. Cahaya lampu di ruang tamu menyala lembut, tapi aku merasa agak gelisah. Mungkin karena obrolan kemarin malam masih terngiang, atau mungkin karena aku masih mencerna semua yang terjadi di mansion. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif—merapikan lemari lama Lucian di kamar yang sekarang jarang dia pakai. Lemari itu penuh dengan barang-barang yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Kotak-kotak berdebu, buku catatan kuliah, dan beberapa baju yang jelas sudah tidak muat lagi. Aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan tumpukan kaos lusuh, bertanya-tanya kenapa Lucian masih menyimpan semua ini. Tapi saat aku menggeser sebuah kotak sepatu tua di rak bawah, sesuatu jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Aku membungkuk, mengambil benda itu, dan langsung terpaku. Sebuah gel

    Last Updated : 2025-05-04
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Kepulangan Si Drama

    Aku duduk di sofa sudut ruangan, mendengarkan nasihat dari Clara, salah satu konsultan bisnis yang Lucian panggil untukku. Clara orangnya tegas tapi ramah, tipe yang bisa membuat seseorang merasa bodoh dan termotivasi dalam satu kalimat. Sekarang dia sedang menjelaskan strategi untuk memperkuat posisi perusahaan baruku—yang Lucian serahkan padaku beberapa bulan lalu—di tengah persaingan yang semakin ketat. “Seraphina, kau harus lebih agresif dalam negosiasi,” kata Clara, menunjuk papan presentasi di depannya. “Jangan hanya mengandalkan nama besar Lucian atau koneksi Fedorov. Bangun reputasimu sendiri. Jika ada lawan yang bermain kotor, kau harus siap membalas dengan cerdas, bukan hanya emosi yang sia-sia." Aku mengangguk, mencatat poin-poin penting di buku catatanku. Sejak Lucian menyerahkan perusahaan baru ini padaku, aku belajar banyak—dari cara membaca laporan keuangan sampai menghadapi klien yang sok tahu. Namun, aku suka tantangannya. Rasanya seperti membuktikan bahwa aku

    Last Updated : 2025-05-04
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Ciuman di Depan Publik

    Langkahku mantap, meski tangan yang menggenggam gunting berlapis emas ini sempat bergetar sesaat. Di hadapanku, pita satin berwarna biru tua melintang di depan pintu kaca besar bertuliskan Fleur DeVere dalam font elegan dan tegas.Di belakangku, para tamu berdiri. Pers, investor, teman-teman yang pernah melihatku menangis diam-diam di pojok toko bunga lama milik ibuku. Hari ini bukan hanya soal gedung megah atau bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut ruangan. Ini tentang bertahan. Tentang kelahiran kembali.Kutarik napas panjang, lalu mengayunkan gunting. Suara pita terpotong seperti gemuruh halus di dadaku. Gemuruh yang berkata: aku berhasil.Tepuk tangan menggema. Kamera menyala. Tapi dunia seolah mengabur saat aku melangkah ke podium. Mikrofon tingginya sejajar dadaku, tapi suaraku jauh lebih tinggi dari itu. Meskipun aku mengaku aku gugup, tapi beruntung aku bisa mengontrol diri."Saya dibesarkan di antara bunga." Aku memulai pembicaraan, dengan suaraku yang stabil dan rendah tan

    Last Updated : 2025-05-06
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Ombak dan Ceritanya

    Langit siang itu sedikit mendung, tapi hangat. Angin dari laut membawa aroma asin yang terasa familiar. Aku memarkir mobilku di dekat dermaga kayu tua, tempat yang beberapa bulan lalu menjadi pelarianku. Saat dunia terasa seperti runtuh di bawah kakiku, aku pernah berdiri di sini, tak tahu harus ke mana. Tapi seseorang waktu itu menghentikanku. Seorang pria asing dengan mata penuh dunia. Hari ini aku kembali ke pantai itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk seseorang yang tidak kutahu namanya, tapi entah kenapa masih membekas dalam ingatanku seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya mengingatkan. Butuh waktu lima belas menit berjalan menyusuri pasir sebelum aku melihat sosoknya. Duduk di bangku kayu reyot, membelakangi laut, seperti sebelumnya. Diam, tenang, nyaris seperti batu karang itu sendiri. Aku ragu. Tapi akhirnya aku melangkah. Langkahku pelan agar tidak mengejutkannya, meski aku tahu—entah bagaimana—dia pasti

    Last Updated : 2025-05-06

Latest chapter

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Meskipun Dunia Jahat

    Langit malam begitu kelam hingga hampir menyatu dengan warna dinding kamar tempatku menginap. Lampu gantung berkerlap-kerlip lemah di langit-langit, menciptakan bayangan aneh di setiap sudut ruangan. Namun, bukan itu yang membuatku sulit memejamkan mata. Bukan juga selimut mewah yang terlalu hangat atau kasur empuk yang seolah menelanku. Bukan. Ini tentang suasana rumah ini. Ada sesuatu yang sunyi tapi tajam. Seperti diamnya seekor ular sebelum menggigit. Perlahan, aku bangkit dari ranjang. Kaki telanjangku menyentuh karpet lembut saat aku membuka pintu dengan hati-hati. Tak ada suara di lorong, hanya detak jarum jam besar dari lantai bawah. Aku menelan ludah dan melangkah menuruni tangga. Di ruang tamu, cahaya remang-remang dari lampu baca menyinari punggung seorang pria yang duduk dengan kaki disilangkan. Dia. Pria yang menjemputku dari pinggir jalan tadi siang. Bahkan dalam posisi membelakangi, auranya tetap menekan. Di

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Dibawa Ke Rumah

    Berdiri di tepi jalan sunyi dengan tubuh yang setengah gemetar bukan pilihan yang ideal. Tapi aku sudah kehabisan harapan, tenaga, dan—jujur saja—harga diri. Entah sudah berapa kali aku melambai pada mobil-mobil yang melintas tanpa belas kasih. Sampai akhirnya, roda berlapis krom dari mobil hitam mengkilap berhenti pelan di hadapanku. Jendela kaca perlahan turun, memperlihatkan wajah seorang pria dengan tatapan menusuk dan garis rahang yang keras seperti diukir dari batu."Apa kau berpikir menampilkan dirimu seperti ini akan mengundang simpati?" katanya datar. Suaranya berat, dalam, dan sepenuhnya kosong dari empati.Aku nyaris membalas dengan sarkasme, tapi tenggorokanku kering dan kepalaku berat. Jadi aku hanya menjawab pelan, "Saya tersesat. Seseorang mencoba mencelakai saya."Matanya menatapku seperti menilai kejujuran dari kata-kataku hanya dengan satu kali pandang. "Masuklah sebelum aku berubah pikiran."Mobil itu beraroma kulit ma

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Keluar Secepat Mungkin

    “Kalau aku tidak keluar lagi, jangan tunggu aku.”Suara Corin barusan masih menggantung di udara, dan aku tidak sempat menjawab apa-apa. Satu tangan memegang pistol, tangan lainnya menunjuk celah di sisi kanan gua. Jalan setapak kecil, nyaris tersembunyi oleh semak-semak rimbun. “Jalan itu aman. Ikuti terus sampai kau menemukan jalan besar,” katanya singkat.Aku masih ragu. “Tapi kau?”Corin tersenyum samar. “Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Kau harus selamat. Aku beruntung bisa bertemu denganmu, bahkan tanpa tahu namamu.”Suaranya tenang, tapi sorot matanya mengatakan hal lain. Seolah dia tahu bahwa waktu kami habis.Aku tak bisa menolak lebih lama. Sesuatu di luar sana, sesuatu yang suaranya menyerupai Lucian, sudah dekat. Dan apa pun itu, aku tahu bukan dia bukan suamiku. Mungkin itu hanya jebakan akal, mungkin hanya permainan sinis. Tapi Corin jelas—dia akan menghadapinya sendiri.Aku lari. Tak menoleh.

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Suara yang Dikenali

    Langit belum sepenuhnya biru saat suara dedaunan basah menyapa telingaku. Aku terbangun dengan tubuh masih lelah, tapi gelisah yang menggerogoti lebih kuat dari kantuk. Corin sudah berdiri di depan gubug, menatap ke arah pepohonan yang memanjang seperti lorong tanpa ujung."Ada jalur ke utara. Beberapa kilometer dari sini ada batu besar, di situ sinyal kadang muncul," katanya tanpa menoleh.Aku merapatkan jaket yang bahkan bukan milikku—miliknya, sebenarnya. Sudah kering karena semalam dipanaskan dekat lilin kecil. Aku mengangguk. "Berapa jauh?""Tiga atau lima. Tergantung langkah kita. Tapi kau harus kuat."Kami berjalan tanpa banyak bicara. Aku tidak tahu harus menaruh kepercayaan di mana. Corin bukan orang jahat—setidaknya belum—tapi dari caranya tahu banyak hal, dari caranya memetakan rute dengan percaya diri, aku mulai berpikir: pria ini bukan kebetulan.Aku menyeka keringat yang menetes dari pelipis. Kaki kiriku masih terasa sakit w

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Siapa Sebenarnya Dia?

    Aku terbangun oleh suara dentingan. Logam menyentuh logam. Mula-mula aku pikir itu mimpi—tapi lalu bau kaldu hangat menyelinap masuk, memeluk rongga hidungku. Mataku terbelalak. Aku masih di gubug. Tapi sekarang, ada suara. Perutku berteriak lebih cepat dari otakku. Dan sebelum aku sempat bertanya, suara pria yang kemarin terdengar pelan dari sisi belakang gubug. “Maaf aku membuatmu terbangun. Tapi kau harus makan.” Aku bangkit, reflek memeriksa kaki. Masih terasa nyeri, tapi lebih ringan. Balutannya diganti kain bersih, jauh lebih rapi daripada yang aku lakukan sendiri semalam. Pria itu muncul dari balik tirai lusuh yang aku pikir hanya dekorasi. Dia membawa semangkuk kaldu panas dan dua potong roti pipih yang terlihat dibakar dengan sisa-sisa api unggun. “Aku tidak tahu kau alergi apa saja,” katanya. “Tapi ini sayuran. Aku memetik sendiri. Aman. Aku sudah makan setengah mangkuk.”

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Menemukan Seseorang

    Pagi menjalar ke sela-sela retakan dinding kayu, membawa cahaya hangat yang memukul wajahku pelan-pelan. Kelopak mataku berat, seperti semalam bukan hanya berisi air mata, tapi juga seluruh beban dunia. Ketika akhirnya aku membuka mata, suara burung-burung dan desiran angin menggantikan mimpi buruk yang samar-samar masih menggantung. Aku bangkit perlahan. Tenggorokanku kering, tubuhku kaku. Mata mengamati sekeliling, memastikan bahwa semuanya nyata. Masih di gubug itu. Masih sendiri. Langkah pertama terasa seperti berjalan di atas jarum. Kepalaku pening, dan ketika kulihat ponselku, layar hitam menatapku kembali—baterainya benar-benar habis. Tidak ada sinyal, tidak ada penunjuk arah, hanya aku dan suara alam yang tak memberi jawaban. Aku keluar dari gubug, cahaya pagi menampar wajahku lembut. Matahari menggantung malu-malu di balik dahan tinggi, dan dedaunan gemetar ringan ditiup angin. Langkahku pe

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Terjebak di Hutan

    Bau tanah basah menguar dari sela-sela jendela yang sedikit terbuka. Kepalaku berat dan leherku terasa kaku ketika aku mencoba mengangkatnya. Semuanya gelap, tapi bukan gelap dalam mobil atau ruangan—ini gelap yang alami, kelam, dan diselimuti bisikan dedaunan. Aku tersentak. Tubuhku terguncang pelan saat menyadari bahwa aku tidak berada di tempat semestinya. Tanah lembap di bawahku dan hawa malam yang menusuk membuktikan satu hal: aku sedang berada di hutan. "Apa yang terjadi? Bagaimana bisa?" gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Jantungku berdetak keras saat ini. Kilasan terakhir sebelum semuanya gelap kembali kepadaku. Veronica. Mobilnya. Minuman dingin yang ia tawarkan dengan senyum palsu yang terlalu ramah. Aku menerima gelas itu tanpa berpikir. Bodohnya aku. Panik merayapi tenggorokanku, membuat napasku tercekat. Aku mengaduk-aduk isi tas kecil yang untungnya masih menempel di bahuku. Tanganku gemetar saat mene

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Rayuan di Toko Bunga

    “Saya turun di sini saja,” ucapku pada sopir taksi ketika mobil melewati sudut jalan tempat toko bungaku berdiri. Hujan masih belum turun, meski langit sudah menggelap sejak pagi. Di luar, angin bertiup pelan, menyapu dedaunan yang mulai menguning. Hari libur ini tidak berjalan seperti yang kubayangkan—tidak ada olahraga pagi bersama Lucian, dan tentu saja, tidak ada ketenangan.Aku melangkah masuk ke toko. Aroma bunga mawar putih menyambutku, dan suara lonceng kecil di pintu membuat Margaret yang sedang merangkai bunga menoleh cepat.“Seraphina?”“Margaret,” jawabku sambil tersenyum. “Kukira aku mampir sebentar. Sudah lama juga aku tidak ke sini.”Margaret langsung meletakkan gunting bunganya dan menepuk-nepuk kedua tangannya. “Wah, lihat siapa yang datang. Madam Fleur DeVere sendiri. Masih ingat tempat ini, rupanya.”Aku terkekeh pelan dan menyender ke meja kasir. “Tentu saja. Ini rumahku sebelum semua menjadi rumit.”

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Les Memasak Dadakan

    Hari libur seharusnya menjadi momen paling kutunggu—terutama jika bisa dimulai dengan wajah Lucian yang masih mengantuk dan rambutnya yang berantakan di atas bantal. Tapi pagi ini, tempat tidur terasa terlalu besar. Terlalu sunyi.Lucian berangkat kerja lebih awal. Dia bahkan tidak sempat sarapan."Hanya ada satu rapat penting," katanya saat mencium dahiku di ambang pintu. "Aku akan pulang cepat."Ya, tentu saja. Satu rapat penting, seperti kemarin. Dan hari sebelumnya.Kupaksakan tersenyum sambil menyeruput kopi. Biasanya kami akan ke gym bersama, lalu sarapan sambil berdebat kecil soal playlist lagu siapa yang lebih menyebalkan. Tapi pagi ini hanya ada suara jam dinding dan desahan angin dari jendela.Kupikir aku akan menghabiskan hari ini menonton drama Korea sambil mengenakan kaos bekas Lucian.Sampai ponselku berdering."Haelyn Devereaux".Nama yang muncul di layar membuat tenggorokanku tercekat. Kutatap la

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status