Home / Romansa / Terpikat Hasrat CEO Dingin / Sudahkah Malam Pertama?

Share

Sudahkah Malam Pertama?

Author: Purplexyiii
last update Last Updated: 2025-04-22 22:49:31

"Aku serius. Jangan mencium lagi, Lucian. Aku harus segera berangkat."

Namun, Lucian tidak peduli. Tangannya tetap melingkar di pinggangku, kepalanya menunduk, mencium pelipisku sekali, dua kali, lalu turun ke pipi. Aku memiringkan wajah, berusaha menghindar, tapi dia justru menahan daguku erat.

"Aku tidak akan lama. Serius!" ucapku lagi dengan suara yang sudah mulai kesal.

Lucian menatapku datar, tapi terlihat memohon seperti anak kecil. "Malam ini aku tidur sendiri. Itu masalah yang sulit."

Aku mendorong dadanya pelan. "Masalah sulitmu tidak lebih penting dari ayahku yang menyuruhku pulang."

"Sebenarnya kenapa dia menyuruhmu pulang? Dia tahu kau sudah menikah. Artinya rumahmu di sini bersamaku."

"Astaga, Lucian."

"Sayang."

Aku menahan napas. Sial. Kenapa dia harus memanggilku seperti itu sekarang? Aku mengeram pelan untuk berusaha sabar.

"Jangan mulai menyebalkan lagi. Aku benar-benar harus berangkat. Ayah pasti sudah lama menungguku."

"Baiklah, aku akan ikut."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Olahraga Bersama Suami

    "Tarik nafas. Tahan. Lalu lepaskan dengan perlahan. Jangan terburu-buru, Seraphina." Suaranya yang sedikit serak dan rendah terdengar jelas meskipun suara alat-alat berat dan musik instrumental mendominasi ruang gym. Aku berdiri di depan cermin besar, kedua tanganku menggenggam kabel pulley dengan posisi sedikit menunduk. Bahuku cukup tegang. Lucian berdiri tepat di belakangku. Jarak kami nyaris tidak ada. Napasnya menyentuh pelipisku. Aku menggigit bibir. "Aku tidak mengerti ini kegunaannya untuk otot yang bagian mana?" gumamku, mencoba terdengar datar. Padahal pikiranku sudah kemana-mana. "Bagian punggung dan lengan, tapi Kau terlalu tegang. Santai saja. Tarik ke arah bawah, gunakan tenaga bahu. Jangan hanya memakai pergelangan tangan." Tangannya menyentuh pergelangan tanganku. Hangat dan mantap. Dia menuntunku menggerakkan alat. Sentuhannya terlalu lama untuk sekadar instruksi. Aku menelan ludah. "Apa kau tidak lelah mengajariku dari tadi?" "Aku tidak akan pernah le

    Last Updated : 2025-04-28
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Romantis dengan Caranya

    Air kolam berkilauan memantulkan cahaya lampu dari sisi dinding apartemen. Angin malam menyapu pelan permukaan air yang tenang. Aku berdiri di pinggir kolam, membetulkan tali halter bikini hitamku yang sedikit longgar. Rambutku sengaja kukuncir tinggi agar tidak mengganggu. "Kau yakin tidak akan kedinginan?" Lucian muncul dari pintu kaca geser dengan hanya mengenakan celana renang warna gelap. Dada dan perutnya basah terkena uap dari dalam apartemen, kulitnya tampak kontras dengan pencahayaan lampu sekitar kolam. Aku menoleh sedikit, menahan diri agar tidak memandangi terlalu lama. "Aku baik-baik saja. Kau yang justru harus hati-hati, jangan sampai masuk angin." Lucian berjalan santai ke arahku. Wajahnya seperti biasa—dingin dan tenang, tapi matanya tidak bisa bohong. Ada cara tertentu dia memandangku yang hanya aku mengerti. Tanpa berkata apa-apa, dia menarik tanganku dan menggenggamnya. Kulitnya dingin tapi menenangkan. "Masuk sekarang atau lebih baik lempar?" gumamnya. Aku m

    Last Updated : 2025-04-30
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Hadiah Luar Biasa

    Suara alat musik gesek berpadu sempurna dengan denting gelas dan percakapan para tamu undangan. Aroma champagne dan bunga-bunga putih memenuhi udara. Ballroom yang didominasi warna emas dan nude itu terlihat elegan. Lantai marmernya memantulkan kilauan lampu gantung kristal raksasa yang bergelantungan tepat di atas panggung utama. Aku berdiri di dekat meja bundar tempat para petinggi Devereaux Group duduk. Gaun satin biru tua yang kupakai menyentuh lantai, dengan punggung terbuka dan potongan pinggang yang memperlihatkan sedikit kulit. Aku merapikan anting berlian di telingaku sambil sesekali meneguk air putih. Lucian berdiri tidak jauh dariku, dikelilingi oleh beberapa kolega bisnisnya. Wajahnya seperti biasa: tenang, dingin, tapi semua mata tetap tertuju padanya. “Seraphina." Suara Olivia terdengar dari belakangku. Gadis itu menyodorkan segelas mocktail. “Kau dari tadi hanya minum air putih. Setidaknya minum ini.” Aku menerimanya dengan senyum kecil. “Terima kasih.” “Kau t

    Last Updated : 2025-05-01
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Keintiman yang Membakar

    Apakah mungkin aku mencintai pria ini lebih dari yang seharusnya? Pertanyaan itu bergoyang di pikiranku sepanjang sisa malam. Olivia tampak berbahagia, berbagi tawa di sudut ruangan. Edward asyik dengan obrolannya sendiri, sementara Aristella dan Dawson menikmati irama musik pesta. Aku? Aku berjuang keras untuk tidak melirik Lucian terlalu sering, meski tatapannya terasa seperti bara yang membakar punggungku. Saat jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, Lucian menghampiriku. "Apa kau sudah siap untuk pulang, Seraphina?" tanyanya. Nada suaranya rendah, hanya untukku. Aku mengangguk, lega akhirnya bisa lepas dari keramaian. "Sebentar, aku ingin berpamitan dulu dengan ibu dan ayah." Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, aku melangkah menuju mobil Lucian. Malam ini, dia memilih Aston Martin DB11 berwarna abu-abu gelap, gagah dan elegan, mencerminkan sosoknya. Cahaya lampu jalan memantul di bodi mobil, menciptakan kilau yang memukau. Di dalam mobil, suasana terasa lebih

    Last Updated : 2025-05-01
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Selalu Terbayang Wajahnya

    Aku mengerjapkan mata, disambut langit-langit apartemen yang memantulkan cahaya lembut dari luar. Sisa kantuk masih membayang, namun tubuhku terasa lebih segar dibandingkan semalam. Di tepi pantai yang dingin itu, aku merasa lebih dekat dengan Lucian daripada sebelumnya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi aku ingin menjalani setiap detik bersamanya. Melirik ke samping, tempat Lucian biasa berbaring sudah kosong. Aroma kopi yang kaya dan masakan hangat menyeruak dari arah dapur, menggoda perutku yang mulai berbunyi. Aku bangkit, merapikan rambut yang sedikit acak-acakan, lalu melangkah keluar kamar. Pemandangan di ruang makan membuatku tersenyum lebar. Meja dipenuhi hidangan menggugah selera: nasi goreng dengan aroma rempah, telur mata sapi yang kuningnya mengilap, sosis panggang, dan pancake bertabur buah beri segar. Lucian berdiri di dekat kompor, memegang spatula dengan konsentrasi penuh. "Kau masak semua ini?" tanyaku, sedikit tak percaya. Meskipun sudah berkali-kali

    Last Updated : 2025-05-01
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Anggur Dari Bibirmu

    Apartemen kami di malam ini bermandikan cahaya temaram. Aroma anggur memenuhi udara, bercampur dengan alunan jazz yang lembut. Aku berdiri di dapur, meneliti deretan botol anggur koleksi Lucian. Kristal gelas berkilauan di bawah lampu, menunggu untuk diisi. Ini kejutan kecilku untuknya, sebuah pelarian dari rutinitas dan tekanan pekerjaan. Aku sudah lama merencanakan ini. Lucian selalu bekerja keras, nyaris tanpa jeda. Meskipun aku tahu dia menikmati pekerjaannya, aku juga tahu dia butuh istirahat. Dan aku ingin menjadi alasan dia beristirahat. Dengan hati-hati, aku membuka salah satu botol anggur merah yang terlihat paling mahal. Aroma buah beri dan rempah langsung menusuk indra penciumanku. Aku menuangkannya sedikit ke dalam gelas kristal, memutar-mutarnya, lalu mencicipinya. Rasanya kaya dan kompleks, dengan sentuhan akhir yang lembut. Sempurna. Senyum kecil bermain di bibirku. Aku membayangkan ekspresi Lucian saat dia mencicipi anggur ini. Dia pasti akan terkejut dengan pengeta

    Last Updated : 2025-05-03
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Menjaga yang Dimiliki

    Aku mengerjapkan mata, menyesuaikan diri dengan cahaya remang yang masuk melalui celah gorden apartemen. Aroma linen segar bercampur dengan sisa parfum Lucian yang maskulin memenuhi indra penciumanku. Semalam benar-benar intens. Aku melirik ke samping, mendapati sisi tempat tidur Lucian sudah kosong. Pantas saja, memangnya dia pernah bangun terlambat? Aku menghela napas, mengingat kembali kejadian semalam. Acara bisnis memang melelahkan, tapi percayalah, bukan rapat dan negosiasi yang menguras habis energiku. Sentuhan di pinggangku membuatku tersentak kecil. Lucian, dengan rambut sedikit berantakan dan hanya mengenakan celana bahan, berdiri di samping tempat tidur sambil menyodorkan secangkir kopi. "Pagi, Istriku," sapanya singkat, tanpa senyum seperti biasanya. "Pagi juga," jawabku sambil menerima kopi itu. "Kau selalu bangun lebih awal dariku." Dia hanya mengangkat bahu, lalu duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan intens. "Bagaimana tidurmu?" "Nyenyak," jawabku, menyesap

    Last Updated : 2025-05-03
  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Bulan Madu?

    Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantung yang entah kenapa tak mau reda sejak kami naik ke pesawat pribadi ini. Kabinnya luas, dilapisi kulit krem dan aksen kayu gelap, dengan kursi besar yang lebih mirip sofa daripada tempat duduk pesawat pada umumnya. Lucian duduk di sampingku, satu tangan memegang tablet, matanya fokus membaca sesuatu—mungkin laporan bisnis, entah apa lagi. Tapi tangan lainnya? Oh, tangan itu dengan santai bertumpu di pahaku, jari-jarinya sesekali mengusap lembut tanpa sadar. Aku berusaha mengabaikannya, tapi rasanya seperti ada arus listrik kecil yang mengalir setiap kali dia bergerak. “Seraphina,” panggilnya tanpa menoleh, suaranya rendah dan sedikit serak. “Kau kenapa gelisah dari tadi?” Aku mendengus pelan, memalingkan muka ke jendela. Di luar, awan putih bergumpal terlihat seperti kapas raksasa di bawah sinar matahari. “Aku tidak gelisah,” bantahku, meskipun tahu dia pasti bisa merasakan keteganganku dari caraku memainkan

    Last Updated : 2025-05-03

Latest chapter

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Kepulangan Si Drama

    Aku duduk di sofa sudut ruangan, mendengarkan nasihat dari Clara, salah satu konsultan bisnis yang Lucian panggil untukku. Clara orangnya tegas tapi ramah, tipe yang bisa membuat seseorang merasa bodoh dan termotivasi dalam satu kalimat. Sekarang dia sedang menjelaskan strategi untuk memperkuat posisi perusahaan baruku—yang Lucian serahkan padaku beberapa bulan lalu—di tengah persaingan yang semakin ketat. “Seraphina, kau harus lebih agresif dalam negosiasi,” kata Clara, menunjuk papan presentasi di depannya. “Jangan hanya mengandalkan nama besar Lucian atau koneksi Fedorov. Bangun reputasimu sendiri. Jika ada lawan yang bermain kotor, kau harus siap membalas dengan cerdas, bukan hanya emosi yang sia-sia." Aku mengangguk, mencatat poin-poin penting di buku catatanku. Sejak Lucian menyerahkan perusahaan baru ini padaku, aku belajar banyak—dari cara membaca laporan keuangan sampai menghadapi klien yang sok tahu. Namun, aku suka tantangannya. Rasanya seperti membuktikan bahwa aku

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Gelang Warna-Warni

    Apartemen terasa sepi tanpa Lucian malam ini. Dia berpesan ada urusan di kantor yang harus diselesaikan, karena itu aku pulang lebih dulu setelah kami meninggalkan mansion Fedorov pagi tadi. Cahaya lampu di ruang tamu menyala lembut, tapi aku merasa agak gelisah. Mungkin karena obrolan kemarin malam masih terngiang, atau mungkin karena aku masih mencerna semua yang terjadi di mansion. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif—merapikan lemari lama Lucian di kamar yang sekarang jarang dia pakai. Lemari itu penuh dengan barang-barang yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Kotak-kotak berdebu, buku catatan kuliah, dan beberapa baju yang jelas sudah tidak muat lagi. Aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan tumpukan kaos lusuh, bertanya-tanya kenapa Lucian masih menyimpan semua ini. Tapi saat aku menggeser sebuah kotak sepatu tua di rak bawah, sesuatu jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Aku membungkuk, mengambil benda itu, dan langsung terpaku. Sebuah gel

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Restu yang Resmi

    Malam menyelimuti mansion Fedorov dengan suasana yang hangat, meski udara di luar terasa dingin. Cahaya lampu-lampu taman memantul di permukaan air mancur, menciptakan kilau yang bikin aku ingin terus menatapnya. Setelah obrolan panjang di ruang duduk tadi, Fedorov bersikeras kami menginap. “Kalian sudah jauh-jauh ke sini,” katanya dengan nada yang tidak menerima penolakan. “Lagipula, ada kamar yang sudah disiapkan untuk kalian.” Aku dan Lucian cuma saling pandang, lalu mengangguk. Sulit menolak pria seperti Fedorov—bukan karena dia menakutkan, tapi ada aura yang membuatku merasa dia selalu mempunyai rencana lebih besar dari yang terlihat.Setelah makan malam yang mewah tapi entah kenapa terasa nyaman, kami dipanggil lagi ke ruang kerja Fedorov. Ruangan itu beda dari bagian lain mansion—dindingnya dipenuhi rak buku kayu tua, meja besar di tengah dengan lampu hijau klasik, dan bau samar kertas tua yang bikin aku merasa seperti masuk ke film detektif jadul. Fedorov duduk di balik me

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Telah Memenuhi Syarat

    Pagi ketiga di Lapland terasa seperti mimpi yang belum ingin kuberhenti jalani. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela sehingga membawa kilau salju yang membuat segalanya terasa magis. Namun, ketika Lucian masuk ke kamar dengan wajah sedikit tegang—sesuatu yang jarang kulihat—aku tahu ada sesuatu yang berbeda hari ini. “Seraphina, kita harus pulang lebih awal,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, sambil tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kakekku ingin bertemu kita. Secepatnya." Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. “Kakekmu? Serius?” Aku pernah mendengar cerita-cerita Lucian, tapi pria itu selalu terdengar seperti legenda—pengusaha kaya raya yang keras kepala, hidup menyendiri di mansion mewahnya. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Lucian menghela napas, jari-jarinya mengusap punggung tanganku. “Dia bilang sudah waktunya kita membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari bisnis, pernikahan kita, dan yang paling utam

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Di Bawah Aurora

    Cahaya pagi menyelinap lembut melalui jendela kaca raksasa yang memantulkan kilau salju di luar hingga ruangan terasa seperti bercahaya. Aku membuka mata perlahan, masih terbungkus selimut tebal yang hangat, dan menyadari Lucian sudah tidak ada di sampingku. Tempat tidur masih terasa hangat di sisinya, jadi dia pasti baru bangun. Aroma kopi segar menyelinap ke hidungku, dan aku mendengar suara pelan dari arah dapur kecil. Aku menyeret diri keluar dari selimut, mengenakan sweater tebal dan kaus kaki wol sebelum berjalan ke arah suara itu. Lucian berdiri di sana, berpakaian santai—kaus hitam lengan panjang dan celana jeans yang entah kenapa membuatnya terlihat lebih manusiawi daripada biasanya. Dia sedang menuang kopi ke dua cangkir, rambutnya sedikit acak-acakan, dan aku harus menahan diri untuk tidak tersenyum melihatnya. “Pagi,” sapanya tanpa menoleh, tapi aku tahu dia sudah merasakan kehadiranku. Suaranya masih serak khas bangun tidur. “Pagi,” balasku, berusaha terdengar biasa

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Bulan Madu?

    Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantung yang entah kenapa tak mau reda sejak kami naik ke pesawat pribadi ini. Kabinnya luas, dilapisi kulit krem dan aksen kayu gelap, dengan kursi besar yang lebih mirip sofa daripada tempat duduk pesawat pada umumnya. Lucian duduk di sampingku, satu tangan memegang tablet, matanya fokus membaca sesuatu—mungkin laporan bisnis, entah apa lagi. Tapi tangan lainnya? Oh, tangan itu dengan santai bertumpu di pahaku, jari-jarinya sesekali mengusap lembut tanpa sadar. Aku berusaha mengabaikannya, tapi rasanya seperti ada arus listrik kecil yang mengalir setiap kali dia bergerak. “Seraphina,” panggilnya tanpa menoleh, suaranya rendah dan sedikit serak. “Kau kenapa gelisah dari tadi?” Aku mendengus pelan, memalingkan muka ke jendela. Di luar, awan putih bergumpal terlihat seperti kapas raksasa di bawah sinar matahari. “Aku tidak gelisah,” bantahku, meskipun tahu dia pasti bisa merasakan keteganganku dari caraku memainkan

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Menjaga yang Dimiliki

    Aku mengerjapkan mata, menyesuaikan diri dengan cahaya remang yang masuk melalui celah gorden apartemen. Aroma linen segar bercampur dengan sisa parfum Lucian yang maskulin memenuhi indra penciumanku. Semalam benar-benar intens. Aku melirik ke samping, mendapati sisi tempat tidur Lucian sudah kosong. Pantas saja, memangnya dia pernah bangun terlambat? Aku menghela napas, mengingat kembali kejadian semalam. Acara bisnis memang melelahkan, tapi percayalah, bukan rapat dan negosiasi yang menguras habis energiku. Sentuhan di pinggangku membuatku tersentak kecil. Lucian, dengan rambut sedikit berantakan dan hanya mengenakan celana bahan, berdiri di samping tempat tidur sambil menyodorkan secangkir kopi. "Pagi, Istriku," sapanya singkat, tanpa senyum seperti biasanya. "Pagi juga," jawabku sambil menerima kopi itu. "Kau selalu bangun lebih awal dariku." Dia hanya mengangkat bahu, lalu duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan intens. "Bagaimana tidurmu?" "Nyenyak," jawabku, menyesap

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Anggur Dari Bibirmu

    Apartemen kami di malam ini bermandikan cahaya temaram. Aroma anggur memenuhi udara, bercampur dengan alunan jazz yang lembut. Aku berdiri di dapur, meneliti deretan botol anggur koleksi Lucian. Kristal gelas berkilauan di bawah lampu, menunggu untuk diisi. Ini kejutan kecilku untuknya, sebuah pelarian dari rutinitas dan tekanan pekerjaan. Aku sudah lama merencanakan ini. Lucian selalu bekerja keras, nyaris tanpa jeda. Meskipun aku tahu dia menikmati pekerjaannya, aku juga tahu dia butuh istirahat. Dan aku ingin menjadi alasan dia beristirahat. Dengan hati-hati, aku membuka salah satu botol anggur merah yang terlihat paling mahal. Aroma buah beri dan rempah langsung menusuk indra penciumanku. Aku menuangkannya sedikit ke dalam gelas kristal, memutar-mutarnya, lalu mencicipinya. Rasanya kaya dan kompleks, dengan sentuhan akhir yang lembut. Sempurna. Senyum kecil bermain di bibirku. Aku membayangkan ekspresi Lucian saat dia mencicipi anggur ini. Dia pasti akan terkejut dengan pengeta

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Selalu Terbayang Wajahnya

    Aku mengerjapkan mata, disambut langit-langit apartemen yang memantulkan cahaya lembut dari luar. Sisa kantuk masih membayang, namun tubuhku terasa lebih segar dibandingkan semalam. Di tepi pantai yang dingin itu, aku merasa lebih dekat dengan Lucian daripada sebelumnya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi aku ingin menjalani setiap detik bersamanya. Melirik ke samping, tempat Lucian biasa berbaring sudah kosong. Aroma kopi yang kaya dan masakan hangat menyeruak dari arah dapur, menggoda perutku yang mulai berbunyi. Aku bangkit, merapikan rambut yang sedikit acak-acakan, lalu melangkah keluar kamar. Pemandangan di ruang makan membuatku tersenyum lebar. Meja dipenuhi hidangan menggugah selera: nasi goreng dengan aroma rempah, telur mata sapi yang kuningnya mengilap, sosis panggang, dan pancake bertabur buah beri segar. Lucian berdiri di dekat kompor, memegang spatula dengan konsentrasi penuh. "Kau masak semua ini?" tanyaku, sedikit tak percaya. Meskipun sudah berkali-kali

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status