Pelan-pelan Berliana merundukkan kepalanya. Pelan namun pasti rambut sebahu yang ia biarkan terurai jatuh meloloskan diri dari daun telinganya. Menutupi pandangan Vero yang menatapnya dari atas.
Malam makin matang, tak tampak lagi kelelawar, atau orang-orang yang baru pulang kerja. Jalanan berubah lengang. Hanya terdengar satu dua kendaraan yang lewat.
Sementara di keremangan lampu kamar, permainan mereka berdua tak kunjung juga selesai. Bahkan baru memasuki babak yang mereka berdua tunggu.
Pelan-pelan, meski ragu ia memberanikan diri membuka mulutnya. Menyambut sesuatu yang akan masuk ke dalamnya. Sesuatu yang bahkan genggam tangannya saja tak cukup lebar untuk melingkarinya.
Vero melenguh saat sesuatu yang dingin dan basah itu menyentuh kepala batang pen*snya.
“Aaakkhhhh .... jangan mengenai gigi sayang, sakit,” protes Vero yang kemudian berujung tawa Berli
“Kau curang, Ver! Aaaahhhh .... jangan siksa aku lagi sayang,” protes Berliana.Sementara di atas tubuhnya, Vero masih menindih lembut tubuhnya. Menahan separuh berat tubuhnya dengan kedua lengan kekarnya yang terlipat separuh, bertumpu dengan sikunya.“Jangan lakukan itu Ver!!” protes Berliana lagi. “Uhhh, .... lakukan saja jangan menggantungku seperti ini,” lenguhnya.Vero menenggelamkan wajahnya di tengkuk Berliana. Membiarkan perempuan itu melingkarkan tangan dan kakinya di tubuh kekarnya.Tapi justru bukan itu yang membuat Berliana protes.Vero dengan jail sengaja tak memasukkan kejantanannya. Sengaja menggesekkannya. Memainkan ujungnya di depan bibir vagin* Berliana. Sengaja berlama lama bermain di sana.Membayangkan sebesar dan sepanjang pen*s Vero saja sudah membuat Berliana tercengang. Apalagi kin
Pelan-pelan batang besar itu bergerak. Sebab sudah dipaksa menelan semuanya hingga pangkal vagin* Berliana mulai terbiasa.Meski tak dipungkiri rasa perih itu masih ada sedikit. Tapi tidak separah dan sesakit beberapa menit yang lalu. Saat laki-laki itu dengan kasar mendorong semua batang pen*snya masuk. Bahkan dengan tega menusuk-nusukkan hingga bagian paling dalam yang bisa ia raih.Vero mengangkat tubuhnya yang sedari tadi merengkuh tubuh Berliana di bawahnya.Berliana mengerti apa yang akan dilakukan laki-laki itu segera membuka pahanya lebar-lebar lagi. Agar setiap gesekan yang terjadi di bibir vagin*nya tak begitu terasa nyeri.Namun pada akhirnya tetap seperti semula. Rasa perih itu masih bermukim. Membuatnya meringis, menahan, agar Vero tak kasihan lagi menatap dirinya yang kesakitan. Agar laki-laki itu segera mengakhiri permainannya.Multi orgasme yang tadi melandanya te
Berbeda memiringkan tubuhnya. Melingkarkan tangannya di atas tubuh Vero. Kemudian tersenyum merasa bangga dengan laki-laki ini.Sebentar kemudian Vero menurunkan kepalanya, mencium kening Berliana.“Terima kasih ya,” ucapnya lembut.Dijawab oleh perempuan itu dengan anggukan kecil, membalas kecup kening Vero dengan kecupan manis di pipi laki-laki itu. Vero ingin balas memeluk Berliana. Tapi tangannya ditepis. Perempuan itu menggeliat lagi. Sebentar duduk di pinggir ranjang, kemudian berdiri.Dengan tubuh payah dan lemasnya ia beringsut keluar kamar sebentar. Meninggalkan Vero yang tengah beristirahat setelah gelombang orgasme melanda tubuhnya hingga kelelahan.Berliana kembali dengan tisu di tangan. Berdiri di depan kaca yang tingginya cukup untuk melihat seluruh bagian tubuhnya. Meski pada akhirnya ia hanya menatap satu sisi dari tubuhnya, bagian depan.
“Selamat pagi.”Embun pagi sudah menguap dari tadi. Matahari sudah hampir tinggi. Jalanan di depan restoran semakin ramai.Akhir pekan, banyak orang yang pergi. Sekedar melepas penat atau bahkan hingga pergi keluar kota. Menyisakan sesak isi kepalanya di rumah. Memilih mengisi ulang kepalanya dengan hal-hal menyenangkan.Garis putih bibir pantai. Terpaan angin yang membawa bulir-bulir air dari air terjun. Atau sekedar membaca buku di tempat sejuk yang sepi.Semua punya tujuan yang sama. Yaitu agar senin besok, hari baru diisi oleh semangat baru.“Uhhhhh .... Hemmm .... Pagi juga Ver!” Berliana melenguh. Menarik selimutnya menyingkir dari tubuhnya. Melemaskan semua otot-otot di tubuhnya.“Nyenyak sekali ya tidurnya?” tanya Vero.Berliana mengangguk. “He’eemmm ... huaaahhhhh
Seketika dada Berliana sesak mendengar jawaban Vero. Bagaimana laki-laki itu bisa memikirkan hal yang sama dengannya?Sejujurnya, tidak mudah juga bagi Berliana untuk menggantikan posisi Dhita dengan Vero. Tapi laki-laki satu ini berhak dapat apresiasi atas jasanya menyelamatkan pesta kecil kemarin.Sejujurnya, pesta itu ada sangat mendadak. Kerak telur itu sebenarnya bukan orderan milik restorannya. Itu adalah milik restoran Pak Herlambang yang terpaksa mau tidak mau ia terima, malam sebelum pagi harinya kedai janda disibukkan karena ada banyak telur bebek.Malam itu Pak Herlambang menelepon Berliana untuk memberi tahu satu hal penting.“Aku harus bilang ini meski berat. Kokiku libur bersamaan besok. Tak ada yang bisa memasak kerak telur selain mereka di restoran ini,” ucap laki-laki gendut itu di seberang telepon.“Loh, maaf Pak Herlambang. Maaf banget sekali
“Kau tahu apa yang harus dilakukan bukan?” tanya Vero.Perempuan itu mengangguk. Tanpa banyak bicara, tanpa menjawab pertanyaan Vero tanpa menunggu arahan laki-laki itu, tubuhnya bergerak.Merasakan dingin air pada lapisan kulit di bongkahan pantatnya saja bisa menaikkan gairahnya. Apalagi sekarang ketika itu bercampur dengan kenikmatan yang Vero berikan.Saat itu yang ada di pikiran Berliana ada berfokus dengan sesuatu di bawah sana.Ia beringsut, menggerakkan pinggul dan bokongnya maju dan mundur seakan menggesekkan benda yang sudah menancap dalam-dalam di lubangnya itu. Menggesekkannya hingga ia merasa ada sesuatu yang meluruh dari lubangnya.Membuat gesekan itu semakin basah.Ditambah gelombang air yang diciptakannya. Mengikuti maju mundur gerakannya. Berliana tak ingin buru-buru meski kini ia sungguh rasakan gatal di bawah sana.
“Ver! Kue cucur meja enam, botok dua, nasi putih 3 porsi, satu porsinya kecil. Tambahkan jeroan ayam dua porsi. Desert nya dia minta jenang mutiara komplit pakai parutan kelapa, sama juga dua porsi. Jangan lupa es jeruk dua tambah teh hangat porsi kecil satu,” ucap Angga dengan cepat. Buru-buru sambil meletakkan nampan di dekat Vero.“Hei, kau ingat semua kan?” tanya laki-laki itu lagi. Menyorot mata Vero. Sementara laki-laki yang disorot sedang sibuk dengan kedua tangannya. Mengaduk, mencampur, mengisi, membubuhkan berbagai macam bahan ke dalam wajan.Vero mengangguk mantap. “Botok dua, nasi putih tiga porsi, dua besar satu kecil. Jenang mutiara komplit dua porsi, tambah jeroan ayam dua porsi. Es jeruk dewasa dua, dan teh hangat porsi anak-anak satu. Tambah kue cucur. Semua meja enam,” ucapnya mengulang kalimat Angga.“Ada yang terlewat?” sorot Vero balik. Sambil seketika
“Enggak-enggak, ini ga boleh dibiarkan,” dengus Vero kesal di dalam hati. “Gua harus minta maaf. Nggak, nggak boleh. Ini ga boleh dibiarin.” Ia mengulangi kalimatnya lagi.Kejadian barusan membuatnya kikuk. I-iy-iya bukan maksud Vero juga atas kejadian itu. Semua laki-laki di dunia ini pasti juga akan melakukan hal yang sama. Pasti akan terjebak di tempat yang sama. Dua bongkah gunung kembar itu.Sekarang Vero jadi tahu kenapa Dhita selalu pakai baju longgar hingga terkesan jadi tomboi. Ternyata itu yang selama ini ia sembunyikan.Tapi mau bagaimana pun dalam hati Vero, laki-laki itu tak bisa menyembunyikan perasaan malu dan bersalahnya tertangkap basah terbengong melihat pemandangan itu.Hingga akhirnya ia bertekad untuk menyelesaikan gundah hatinya dan meminta maaf nanti sepulang kerja. Atau minimal setelah pekerjaan sedikit longgar, atau jika ada kesempatan tak terduga lagi