Sejak kepergian Olivia untuk masuk ke kelas, Erlangga sengaja menunggu perempuannya di kelasnya juga. Dia tidak niat untuk belajar, hanya memerhatikan dosen yang berbicara di depan tanpa berniat untuk mencatat. Bahkan Varo sudah heran melihatnya. Erlangga terus saja bengong menatap papan tulis, bukan dosen.
“Er, nanti kamu dihukum baru tau rasa!” ucap Lana yang duduk di samping kirinya.
Erlangga mengabaikan ucapan Lana. Dia senang karena pagi ini dia sudah mendapatkan dua ciuman dari perempuan yang menjadi target penjagaannya. Apa lagi yang akan dia dapatkan nanti? Erlangga senang karena tugasnya kali ini menyenangkan.
“Biarin aja kalau dihukum. Aku nggak mau bantuin pokoknya,” sahut Varo tanpa mengalihkan pandangan dari dosen yang menjelaskan di depan.
Erlangga memang pakarnya keberuntungan. Selama perkuliahan berlangsung, dia tidak melakukan apa-apa selain menatap luar kelas dan papan tulis yang kosong. Selebihnya dia hanya memainkan bolpoin di tang
Halo semuanya. Terima kasih ya yang sudah membaca cerita ini. Jika kalian mau terus tahu ceritanya, jangan lupa subscribe cerita ini ya! Vote juga kalau menurut kalian cerita ini menarik. Terima kasih banyak.
Olivia tidak tahu siapa tiga pria yang menahannya tadi. Seingat Olivia, dia tadi bertemu dengan pria yang menodongkan pistol kepadanya di toilet. Lalu, dia terbangun di sebuah ruangan yang berisi kayu-kayu bekas dan yang barang bekas lainnya. Sekarang, dia harus melihat Erlangga yang melawan pria gemuk itu sendirian. Olivia masih bersembunyi lantaran dia takut menyusahkan Erlangga. Dia melihat sendiri kalau Erlangga melontarkan tembakan beberapa kali untuk melawan pria gemuk. “Er, jangan sampai terluka. Aku nggak mau kamu terluka.” Erlangga semakin khawatir dengan keselamatan Olivia. Dia sadar kalau peluru di pistolnya tersisa dua. Dia harus memanfaatkan dua peluru itu sebaik mungkin. Dia tidak boleh meleset, tidak boleh gagal, dan harus berhasil. Namun, dalam keadaan seperti ini, lumayan sulit. Tembakan pertama dilepaskan oleh Erlangga. “Sial! Gagal lagi kena dia,” umpat Erlangga ketika tembakannya meleset dan mengenai tembok di dekat pria gemuk. Sesaat kemu
Ucapan Olivia terus membekas di benak Erlangga. Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Erlangga terus memikirkannya. Sementara perempuan di sampingnya juga ikut malu untuk berbicara. Akhirnya, mereka berdua hanya diam sepanjang jalan tanpa ada pembicaraan. Hal yang membuat Olivia juga jadi ketakutan. Dia takut kalau ucapannya salah, dan nanti Erlangga akan menghukumnya. Erlangga tidak sangka kalau Olivia benar-benar mengatakan hal itu. Dia pikir selama ini hanya permainan dan tantangan. Ketika mobil sudah terparkir, Erlangga menoleh untuk melihat Olivia. Perempuan itu malu untuk menatap pria di sampingnya, dia justru hendak membuka kunci mobil. Namun, Erlangga menahannya dan membuat kepala Olivia menoleh. “Kamu mau ke mana?” “Malam ini aku mau pulang, Er,” jawab Olivia. Jawaban itu membuat Erlangga bingung. Tadi Olivia mengatakan kalau dia menyayangi Erlangga. Namun, sekarang Olivia bersikap seolah dia tidak mau melihat Erlangga. “Apa yang ter
“Oh Shit! Keluar, Idris!” pekik Erlangga ketika melihat rekan kerjanya di depan pintu sambil menatap mereka berdua yang sedang bermesraan. Idris hanya bisa memijit pelipis sambil memejamkan matanya. Setelah itu, dia keluar dan menutup pintu kamar dengan bantingan. Erlangga tahu kalau perempuannya sedang malu. Siapa yang tidak senang jika kejadiannya seperti tadi? Olivia sampai menutup wajahnya karena malu. Oleh karena itu, Erlangga segera menyelesaikan permainannya. Pria itu berbaring di sebelah Olivia dengan wajah yang menghadapnya. Dia tersenyum puas, sementara Olivia hanya bisa menahan senyum. “Thanks. Kamu mandi lagi! Aku mau ketemu sama teman di luar.” Erlangga langsung berdiri dan memakai kembali pakaian yang dia tanggalkan tadi. Olivia juga kembali membalut tubuhnya dengan handuk. Pria itu usil, dia berjalan mendekati Olivia dan menggigit leher perempuannya sekali lagi. “Er, sakit, ih!” pekik Olivia. Pria itu terus perg
Pernyataan yang baru saja Idris ungkap bagaikan sebuah bom waktu yang siap meletup kapan saja. Erlangga ingin sekali berteriak dan menghabisi seluruh musuhnya. Namun, pria yang sedang tertidur di samping Olivia tetap tidak bisa melakukan itu.Erlangga menoleh ke sampingnya. Perempuan manis yang sedang tertidur dengan alis yang bertaut adalah satu-satunya alasan kenapa Erlangga sulit bergerak. Dia tidak bisa asal mengambil keputusan, karena ada Olivia di rumah ini. Erlangga takut kalau ada peluru nyasar ke arah Olivia. Bagaimana kalau Olivia terluka?“Aku tidak mau membuatmu terluka, Liv.” Erlangga mengecup puncak kepala Olivia. Dia mengangkat kepala Olivia untuk merebahkannya di kasur. Ada yang harus dia lakukan sekarang.Setelah Olivia sudah nyaman di kasur, Erlangga langsung berdiri dan duduk di sofa di ruangan itu. Tangannya menempelkan ponsel yang masih menghubungi Idris ke telinga. “Hari ini aku mau Ryuzen tamat, Dris.”&ldquo
Satu bulan setelah perkelahian antara Erlangga dan anggota Ryuzen telah berlalu. Pria itu benar-benar mengerahkan semua kemampuan dirinya dalam bertarung melawan delapan pria besar dan kuat hingga mereka semua tewas. Bukan hanya alasan tugas yang menjadi penyemangat Erlangga, pria itu memiliki alasan lainnya. Dia sangat ingin melindungi Olivia, perempuan yang mengisi harinya beberapa hari belakangan.Sampai detik ini, Olivia masih bingung dengan yang terjadi pada dirinya. Dia tidak mengetahui siapa yang menyerangnya dan dia juga tidak tahu motif apa di balik semua itu. Setelah melihat Erlangga dalam keadaan yang mengenaskan, Olivia dipaksa untuk pulang ke rumahnya bersama Yoseph. Dia sudah menolak, tetapi dia dipaksa untuk ikut dan pergi tanpa Erlangga. Sehingga, dia tidak mengetahui di mana keberadaan Erlangga sekarang.Erlangga sudah mulai membaik keadaanya. Dia harus dijahit untuk menutup lukanya yang cukup panjang. Sekarang dia sudah bisa berjalan normal. Pria itu
Ke Paris, Olivia sudah memutuskan untuk menyusul Erlangga ke sana. Sesulit apa pun rintangannya, Olivia harus sampai ke sana dan memberitahukan permasalahan yang sedang dia hadapi.“Aku ingin ke Paris, Yah.”Firman melotot sejadi-jadinya. Pernyataan Olivia benar-benar tidak masuk akal. Apa maksudnya dia akan ke Paris sekarang? “Apa kamu sudah tidak waras? Kamu masih kuliah dan belum liburan. Apa yang akan kamu lakukan di sana?” tanya Firman dengan nada yang tinggi. “Aku ingin bertemu temanku yang sedang berada di sana. Aku harus bertemu dengan dia, karena aku takut dia pergi ke tempat lain jika aku tidak ke sana sekarang. Ada urusan yang harus aku selesaikan dengan temanku, Yah. Semua urusan di kampus sudah Oliv atur. Semuanya sudah Oliv bicarakan dengan kepala program studi dan Oliv diizinkan untuk mengikuti perkuliahan jarak jauh. Apa lag
Kelopak mata perempuan yang memakai cardigan hitam itu mulai terbuka. Temaram lampu kamar yang berwarna jingga mulai menelisik ke retinanya. Olivia tersadar dari pingsannya yang tiba-tiba. Setelah pandangann berhasil jelas terlihat, perempuan itu melihat keadaan sekitar dan seketika Olivia terkejut. Perempuan itu bangkit dengan mata terbelalak.Ini bukan kondisi waktu dia pingsan tadi, Olivia mengingatnya. Olivia ingat kalau dia sedang menghubungi seseorang di telepon di dekat sofa. Ketika dia berdiri dan berbicara, lalu dia lupa. Seharusnya dia berada di dekat sofa, bukan di kamar bahkan atas kasur. “Siapa yang membawa aku ke sini? Apa petugas apartemen? Sepertinya nggak mungkin,” gumam Olivia.“Aku yang bawa kamu ke sana.” Sosok pria dengan blazer hitam dan gambar harimau di dasinya sedang berdiri di samping Olivia. Perempuan itu terkejut bukan main melihat pria yang selama ini dia cari.Olivia menarik kedua sudut bibirnya sehingga terb
Tidak hanya marah, Olivia juga kecewa mendengar perintah Erlangga. Bagai ditimpa ditikam pisau, hatinya sungguh sakit mendengarnya. Dia tidak pernah sangka kalau Erlangga akan sejahat itu untuk memberi perintah Olivia agar menggugurkan anak dalam kandungannya.Sia-sia semua perjuangan Olivia terbang dari Jakarta ke Paris. Dia hanya ingin meminta Erlangga untuk tanggung jawab. Pria itu yang sudah mengajaknya melakukan hal terlarang itu, mengapa Erlangga tidak mau bertanggung jawab?Olivia hanya bisa menunggu waktu berputar sampai hari esok. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sejak perintah Erlangga untuk menggugurkan bayi di dalam kandungannya. Sejak saat itu, mereka berdua bagaikan kedua insan yang tidak mengenal sama sekali.Sekarang, Olivia ingin mengisi perutnya dengan hidangan yang sudah dia pesan. Perempuan itu sedang menunggu kehadiran pelayannya. Dia duduk di hadapan Erlangga yang sedang diam juga. Pria itu juga sebenarnya memikirkan omongannya, tet