“Ketika tidak ada siapa pun yang menolongmu, ingatlah kamu masih punya Allah.ان الله معناSesungguhnya Allah bersama kita”***Aku baru ingat, apa benar dia mencintaiku? Jika seorang laki-laki mencintai perempuan, dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya terluka dan akan menjaganya. Namun, Erick tidak seperti itu. Sepertinya dia hanya terobsesi denganku. “Erick! Jangan lakukan ini padaku!” Aku terus berteriak meminta diturunkan tetapi dia tidak menghiraukan. Kini sampailah kami di depan pintu rumahnya. Orang tua Erick adalah pengusaha sukses. Mereka sering pergi ke luar kota. Mereka biasanya pulang pada hari weekend, tetapi aku berharap keajaiban datang. Semoga mereka datang menolongku.“Di mana, sih, Abang naruh kuncinya? Biasanya juga enggak pernah dikunci.” Erick mengomel mencari kunci rumah yang tidak tahu di mana keberadaannya. Abang? Jangan-jangan lelaki yang bersama Kak Sari adalah abangnya Erick. Astaghfirullah, aku baru ingat perkataan Erick tadi siang. Berart
Mataku terbuka kala mendengar sayup-sayup suara azan. Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Badanku sakit dan pegal-pegal. Saat aku hendak bangun, kepalaku terasa berat. Di keningku ada sebuah benda basah seperti es. Ada yang sedang mengompresku, apakah aku demam?Tembok bernuansa abu menjadi pemandanganku. Di manakah aku? Aku segera membuang kompresan di kepala. Ini bukan kamarku, bukan kamar Isma atau pun rumah sakit. Jangan-jangan Erick menyekapku. Aku segera mengecek bajuku dan oh tidak! Aku sudah berganti pakaian. Astaga, apakah aku sudah tidak perawan? Aku mencoba berdiri dan ternyata aku terjatuh. Kakiku sakit, ada sebuah perban putih di lutut. Namun aku tidak merasa ada suatu keanehan di bawah sana. Sepertinya semua itu hanya kekhawatiranku saja.Aku kembali duduk di ranjang, masih menerka-nerka di manakah diriku berada. Kamar berukuran 3x3 meter dengan tempat tidur yang cukup nyaman meskipun sempit. Hanya cukup untuk tidur berdua. Lemari pakaian yang cukup kecil s
Lelaki sombong dan cuek seperti Ilham memangnya bisa apa?Aku hendak mengambil trofi tersebut, tetapi pintu kamar terbuka. Kuurungkan niatku meski sangat penasaran. Faiha datang membawa dua selimut tebal. Kulihat jam beker di atas meja sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Tidur, yuk! Ini kubawakan selimut untukmu.”Aku segera menerimanya dan merebahkan diri di samping Faiha. Dia berbaring menatapku lalu tersenyum.“Ada apa, Fai?” tanyaku penasaran. Aku malu dia melihatku sampai seperti itu.“Enggak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu bisa mengalami kejadian seperti itu?”Duh, Faiha. Mengapa dia menanyakannya? Aku jadi kepingin nangis lagi, ‘kan? Padahal sejenak aku bisa melupakan kejadian itu setelah mendengarkan ocehan Bian. Haruskah aku katakan semuanya kepada Faiha? Padahal aku tidak sedekat itu sampai mau berbagi cerita dengannya. “Maaf, aku belum siap menceritakan semuanya, Fai.” Aku berbalik memunggunginya. Perlahan bulir air mata menetes membasahi bantal Ilham.
Aril Safir? Ilham selalu bekerja saat sore atau pun malam hari. Bisa jadi mereka adalah orang yang sama. Mas Aril hanya siaran di sore atau malam hari, kecuali weekend. Duh, membayangkannya saja membuatku tidak rela. Mereka sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi. Ilham itu fakir senyum, sombong, dan sikapnya dingin seperti kulkas dua pintu. Sedangkan Mas Aril itu hangat, dia selalu menghibur semua orang dengan canda tawanya. Segera kukembalikan benda tersebut ke tempatnya. Nama kakaknya Faiha adalah Ilham, bukan Aril. Mungkin saja benda ini milik temannya. Namun, jika ini miliknya berarti aku punya peluang mendekatinya. Astaghfirullah, sadar, Ta! Kamu baru saja patah hati. Aku harus segera mengambil air wudu sebelum setan di kepalaku membisikkan hal yang tidak-tidak. Sesampainya di dapur kulihat Kak Syifa sedang memasak dibantu Faiha. Aku hendak masuk ke kamar mandi, tetapi suara merdu tadarus seseorang laki-laki mengalihkanku. Ilham? Aku menoleh ke musala kecil yang ada di sudut
Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Perlahan kubuka mata yang terasa berat. Seorang perempuan muda berjilbab sedang tersenyum ramah kepadaku. Di sudut lain kulihat Kak Syifa dan Bian bersama seorang wanita tua. Sepertinya beliau adalah nenek Bian.“Bian mau teluar cama Nenek, Bian takut cama Putli Salju.” Anak itu menangis histeris. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa dia mendadak takut denganku?“Kamu sudah sadar?” tanya wanita di sampingku. “Memangnya apa yang terjadi denganku? Kenapa aku ada di sini? Ini bukan rumah sakit, ‘kan?”Ruangan yang didominasi dengan warna putih ini sangat luas. Namun, aku yakin ini bukanlah rumah sakit. Tidak ada aroma obat-obatan. Kulihat Bian meringkuk di pangkuan ibunya. Mengapa dia ketakutan melihatku?“Bian, Putri Salju sudah bangun, sini ikut kakak!” Aku merasa tenang jika melihat tingkah lucu dan kepolosan Bian. Sejenak bisa melupakanku dari semua masalah yang sedang kuhadapi. “Bian takut denganmu, kamu baru saja mendorongny
Siang ini udara di Kota Kretek terasa begitu panas. Aku mengenakan atasan kaos tiga per empat dan bawahan rok plisket milik Faiha. Baju ini terasa panas, panjang menutup tubuhku. Untung saja aku tidak memakai jilbab, bisa tambah gerah pasti. Diantar oleh Mbak Siti, aku pergi ke taman samping rumah menemui Bian. Taman bermain yang luas serta kolam ikan yang indah. Kulihat banyak ikan berenang ke sana ke mari berebut makanan yang diberikan oleh Bian. Di sana ada neneknya yang sedang membacakan buku. Menyadari keberadaanku, Bian bersembunyi di belakang neneknya. “Bian, kakak minta maaf, ya! Kakak tidak sengaja mendorongmu. Kakak janji tidak akan mengulanginya lagi.”Kutunjukkan senyuman mautku yang pasti akan membuat siapa pun terpana. Bian mulai menampakkan mukanya, dia tersenyum mengemaskan. Ingin rasanya aku mencium pipi gembulnya.Aku tidak tahu mengapa tadi aku tiba-tiba pingsan. Aku tidak meminum obat apa pun. Mendadak kepalaku pusing dan semuanya terasa berat kemudian hanya keg
Aku masih punya waktu dua hari untuk bisa menyelesaikan masalahku dan pergi dari kota ini. Memang benar ucapan Kak Syifa, aku harus menghubungi keluargaku. Minimal aku berpamitan dengan Bibi Lia dan Isma. “Heh, kamu mau ke mana? Motorku di sini!”Aku berhenti dan berbalik arah. Ilham sudah duduk di motornya dan mengenakan helm. Namun, kenapa helmnya cuma satu?“Helmku mana?”“Memangnya kamu punya helm?” tanya Ilham. Menyebalkan sekali, ditanya malah balik nanya. “Kagak! Udah ayo cepetan pulang.” Aku segera mengangkat rokku tinggi-tinggi kemudian duduk di belakangnya.“Idih, kamu cewek jadi-jadian, ya? Wanita kok nggak ada anggun-anggunnya.” Aku mencubit pinggangnya, “Buruan jalan. Jangan banyak komentar. Nanti kamu naksir!”Motor melaju dengan pelan meninggalkan rumah Mas Arfan. Ilham tidak bicara sepatah kata pun. Tiba-tiba sampai di jalan raya dia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Apakah le
Malam ini aku membantu Faiha berjualan. Kepala sudah tidak pusing lagi dan badanku terasa lebih segar. Aku meminta Faiha menghidupkan radio supaya aku bisa mendengar suara Mas Aril. Sudah dua hari aku tidak mendengar suaranya, rasanya seperti ada sesuatu yang kurang.Aku tidak tahu bagaimana awalnya bisa kecanduan radio. Semasa SMP, aku dan Isma suka membantu Bibi Lia di toko. Bibi sering menghidupkan radio supaya suasana toko tidak sepi. Pelanggan bunga di toko Bibi sering berkirim salam di radio dan menyebut nama toko bunga milik Bibi sehingga membuat toko semakin ramai pelanggan.Awalnya aku hanya menikmati lagu yang diputar di radio tersebut hingga suatu hari aku mendengar seorang teman sekolahku berkirim salam. Aku yang penasaran langsung menemui dan memintanya untuk mengajarkan bagaimana cara berkirim salam di radio. “Ren, kemarin aku denger kamu kirim salam di radio. Ajarin aku, dong!” “Boleh, tapi jangan lupa kirim salam buat aku. Biar namaku makin mengudara di radio.”Rendy