Share

Angin Segar

Aku terbangun kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid. Tubuhku terasa kaku dan kedinginan. Aku duduk dan bersandar di ranjang mengecek ponsel yang berkedip-kedip. Banyak sekali pesan yang masuk.

Kak Sari menghubungiku? Aku segera membuka pesan darinya.

“Ta, kamu di mana? Kakak pulang kok kamu malah nggak di rumah?”

Benarkah dia mengkhawatirkanku? Ternyata tidak hanya satu pesan yang dikirimkan. Baru kali ini aku merasa memiliki seorang kakak.

Ada juga sebuah pesan dari Erick. Buat apa lagi dia masih menghubungiku? Tidak cukup puaskah dia menyakiti perasaanku?

“Gita! Aku bisa jelasin semuanya. Aku khilaf, Ta. Kumohon percayalah padaku.”

Kututup mulutku kala membacanya. Ya Allah, haruskah aku mempercayainya? Rasanya terlalu sakit. Namun, jauh di lubuk hati masih tersimpan namanya. Dia yang pertama di hatiku, tidak akan mungkin semudah itu melupakannya. Mas Aril hanyalah tameng untuk mengelabuhi orang supaya tidak tahu betapa hancurnya perasaanku.

Aku meringkuk, menangis dalam kegelapan. Betapa bodohnya diriku yang telah jatuh cinta kepadanya. Sakit ini menggerogoti jiwa, sesak hingga ke dada. Kulihat Isma masih belum ada pergerakan. Aku takut membangunkannya.

Waktu subuh masih sekitar lima belas menit lagi. Masih ada waktu untuk meneruskan tangis. Aku mengambil selimut gambar Doraemon untuk membungkus tubuhku. Kubuka pintu kamar Isma dan duduk di balkon. Dari atas sini terlihat jelas pemandangan jalanan Kota Kudus.

Kuhapus sisa air mata di pipi, aku mulai menguatkan hati. Mulai hari ini aku harus melupakannya. Aku harus kuat dan tidak boleh lemah.

“Gita! Kamu ngapain di sini?” Suara Isma mengagetkanku.

Aku melihat pintu terbuka lebar. Aku lupa menutupnya, mungkin Isma merasakan udara dingin masuk hingga membuatnya terbangun.

“Aku lagi butuh udara segar. Rasanya duniaku terlalu hancur, Ma. Orang tua dan kakakku tidak ada, punya pacar seling—“

Isma mendekat dan memelukku. “Kamu harus kuat, Ta. Duniamu belum hancur. Masih ada aku yang akan membersamaimu. Kamu boleh ke sini kapan saja sesukamu. Pintu rumah ini terbuka lebar untukmu.”

Tangisku mulai mereda. Masih ada orang yang peduli denganku. Azan subuh berkumandang, aku dan Isma segera masuk.

Pagi ini aku berangkat sekolah memakai baju Isma. Seperti biasanya jika aku menginap di sini, aku yang akan mengendarai motor Isma. Aku pergi ke sekolah seolah tanpa beban. Kupasang senyum manis di wajah agar tiada yang tahu betapa hancur hatiku.

Aku melihat ponsel yang sedari tadi berdering. Tidak kuhiraukan pesan Kak Sari. Biarkan dia kelimpungan mencariku. Begitu juga Erick, ngapain dia meneleponku? Atau jangan-jangan dia mau balas dendam?

“Ta, jangan ngebut, ya! Aku tahu kamu sedang emosi.”

Benar, perasaanku sedang tidak menentu. Aku bisa saja menjalankan motor dengan kecepatan tinggi dan menceburkan diri ke sungai. Namun, aku masih sayang dengan nyawaku.

“Tenang saja, Ma. Otakku masih bekerja. Putus cinta tidak akan membuatku hilang akal sehat.”

Sesampainya di sekolahan aku memarkirkan motor di tempat biasanya. Tidak ada yang berbeda di sini, tetapi aku melihat seorang wanita yang menatapku remeh di ujung koridor. Siapa lagi kalau bukan selingkuhan Erick?

Perlahan aku berjalan menuju kelas. Tidak kuhiraukan wanita itu. Namun, dia mendekat dan mencekal lenganku.

“Dasar murahan, gara-gara kamu Erick putusin aku.”

Apa aku tidak salah dengar? Seharusnya aku yang mengucapkan kalimat itu, meskipun aku yang sebenarnya memutuskan Erick.

“Kalimat itu terbalik, Nona. Kamu yang menjadi duri dalam hubunganku dengan Erick!” Aku berteriak kencang dan meletakkan jari telunjuk tepat di depan mukanya.

Wanita itu terdiam. Dia hendak menamparku tetapi sebuah tangan kekar menangkisnya. Lelaki tinggi dengan seragam sepertiku tersenyum. Ya Allah, kuatkan hatiku untuk tidak teperdaya olehnya.

“Erick?” Wanita itu terkejut melihat Erick melindungiku. Aku segera menarik Isma dan masuk kelas. Tidak mau lagi berhubungan dengannya.

Aku menutup pintu setelah sampai di kelas. Sudah ada beberapa anak yang duduk di dalam. Mereka menatapku heran, mungkin mereka mengira aku sedang main petak umpet dengan Erick.

“Gita! Buka pintunya. Kita harus bicara.”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Rick. Semuanya sudah usai.”

“Jangan kekanakan, Ta! Buka pintunya atau aku dobrak”

Kunci kelas tidak ada di tempatnya. Dengan sekuat tenaga aku mendorong pintu dari dalam. Tidak akan kubiarkan lelaki itu masuk. Aku juga meminta beberapa teman untuk membantu. Hingga kurasakan tidak ada pergerakan dari luar, aku kembali membuka pintu.

Sebelumnya aku mengintip dari jendela kaca, di luar tidak ada orang setelah bel masuk berbunyi. Alhamdulillah selamat. Aku bernapas lega.

Pelajaran hari ini cukup membosankan. Aku menguap berulang-ulang kali bahkan sempat tertidur. Jam istirahat aku sengaja pergi ke UKS untuk tidur dengan dalih sakit. Nyatanya aku menangis semalaman hingga membuatku ngantuk. Di tempat ini aku yakin Erick tidak akan menemukanku.

Hingga akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Aku melihat ke arah parkiran, sengaja menunggu Erick pulang terlebih dahulu. Setelah dia pergi barulah aku keluar.

“Ya Allah, Ta! Berasa main film hari ini. Besok aku enggak akan ikutin kamu. Bisa jantungan lama-lama berteman denganmu.” Isma mengomel sepanjang perjalanan menuju parkiran.

“Ini seru, Ma! Memacu andrenalin.”

Isma menggelengkan kepalanya.

Kami sudah menaiki motor, kujalankan motor dengan pelan hingga sampai di gerbang aku mengerem mendadak. Seorang laki-laki tersenyum licik, Erick tiba-tiba datang menghadang.

Ya Allah, apa yang lelaki itu inginkan dariku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status