Share

Semedi

Faiha datang dan menjatuhkan teh yang dia bawa hingga gelasnya pecah dan membuat keributan di kamar Faiha. Mampus aku! Kini kami sudah seperti pasangan mesum yang digerebek Pak RT.

Apakah kakaknya Faiha ini adalah seorang ustaz yang digandrungi Isma?

Lelaki yang bernama Ilham menatapku terkejut. “Bukankah kamu wanita yang semedi di bawah pohon kersen tadi?”

Ah, iya, aku ingat. Dia adalah lelaki penjual minuman di taman. Kuambil bunga mawar dan melemparkan ke mukanya. “Semedi? Kamu pikir aku dukun?”

“Wanita gila, barbar, dan aneh.” Ilham memicingkan matanya.

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Faiha.

Aku dan Ilham sontak menjawab dengan kompak, “Tidak!”

Aku berdiri dan berkacak pinggang, siap-siap meninjunya. Lemes sekali mulutnya. Sepertinya dia tidak pernah makan bangku sekolah. Aku bersiap melayangkan tinju ke mukanya, tetapi dia segera mengambil bantal untuk berlindung.

“Dasar pengecut!” Aku naik ke kasur untuk memukulnya, tetapi malah terjatuh di atasnya. Dia memegang kedua tanganku hingga membuatku tidak bisa bergerak.

“Astaghfirullah, Ilham!” Teriakan seorang bapak-bapak membuat kami menoleh. Sudah ada Kak Syifa dan suaminya juga.

Astaga, apa yang aku lakukan? Aku kelihatan seperti wanita murahan yang akan memperkosa laki-laki. Sepersekian detik Ilham melepaskan tanganku. Dia tersenyum penuh kemenangan.

“Ilham tidak bersalah, Yah. Lihatlah dia yang berada di atasku,” ucapnya mengiba.

Sialan! Aku segera duduk. Rasanya gerah sekali. Darahku rasanya seakan mendidih. Kepalaku mulai mengepulkan asap dan siap meledak.

“Ini salah paham. Faiha, kamu tadi lihat ‘kan aku masih duduk di atas sajadah. Kakakmu yang memancing emosiku. Kumohon, kalian semua harus percaya padaku.”

Mereka semua menatap Faiha. Hanya dia saksinya, kuharap dia mau berkata jujur. Ilham mulai duduk dan bersandar di dinding menjauhiku.

“Katakan yang sebenarnya, Fai. Ayah siap kalau harus menikahkan mereka malam ini juga.”

Seorang lelaki yang mengaku sebagai Ayah mereka membuatku ingin pingsan. Bisa-bisanya dia mengucapkan hal absurd semacam itu. Aku masih sekolah dan belum cukup umur. Cita-citaku masih tinggi. Say no to ‘nikah muda.’

“Nikah sama dia? Nggak akan!” Ilham berdiri dari kasur. Dia hendak meninggalkan ruangan ini, tetapi Kak Syifa menahannya.

“Jangan lari dari tanggung jawab. Selesaikan dulu masalah ini!” Ucapan suami Kak Syifa menghentikan langkah Ilham.

“Buruan jelasin, Fai. Nggak usah lama-lama kayak drama ikan terbang! Apalagi sampai berbelit-belit kayak novel drama rumah tangga.” Ilham sudah duduk di kursi ruang tamu. Dia tampak santai dan cuek.

“Tadi pas Gita salat, aku minta tolong Kak Ilham buat anterin Gita pulang. Aku ke belakang ambil teh untuk Gita, pas balik ternyata Kak Ilham udah di kamar. Aku kaget, dong. Kak Ilham kan anti cewek—“ ucapan Faiha menggantung. Namun aku sudah tahu lanjutannya. Dia tidak suka cewek tanpa jilbab.

Mungkin matanya sedang bermasalah. Bukankah wanita berjilbab tidak kelihatan seksi? Atau jangan-jangan dia ada kelainan. Masa enggak tertarik sama aku?

“Ya sudah, bubar-bubar! Nggak jadi nikahan.” Ayah Faiha kembali ke kamarnya. Begitu juga suami Kak Syifa.

Faiha dan Kak Syifa mendekat. “Maafkan Ilham, ya! Sebenarnya dia orang baik. Dia terlalu terobsesi dengan Ustazah Anisa hingga membuatnya buta hati. Jangan berkecil hati, saya juga baru memakai jilbab ketika mempunyai anak. Dulu saya malah menjadi cewek tomboi. Sangat barbar dan pecicilan, lebih parah darimu.”

Wah, kupikir dia juga sama dengan Faiha yang berhijab sejak kecil. Ternyata dugaanku salah. Setiap orang memiliki masa lalu yang berbeda. Mungkin suatu saat nanti aku bisa bertobat, hijrah, dan mampu menaklukkan hatinya. Eh, mikir apa aku ini?

Wanita itu tersenyum sambil mengusap rambutku. “Ilham akan mengantarkanmu pulang. Kakak jamin kamu akan selamat sampai tujuan.”

Aku menatap Kak Syifa dan Faiha bergantian. “Aku takut.”

Kejadian beberapa jam yang lalu masih teringat jelas di kapalaku. Erick, lelaki yang menjadi kekasihku selama berbulan-bulan hendak melecehkanku. Mungkin Ilham berbeda dari Erick, tetapi aku baru saja bertengkar dengannya. Bisa jadi dia memiliki dendam dan menurunkanku di jalan.

Sudah hampir jam sembilan malam, tetapi aku belum memberikan keputusan. Aku ingin menginap di sini, tetapi dipannya sempit. Tidak muat untuk tidur berdua.

Kak Syifa kembali ke kamarnya karena Bian menangis. Suaminya tidak mungkin mengantarkanku. Padahal mereka bilang akan mengantarkmenaklukkan ke rumah. Faiha tidak berani mengantarkanku pulang sendirian dan akan sangat merepotkan jika membawa mobil karena harus bolak-balik mengantarkan Faiha.

“Jadi pulang kagak? Aku mau sekalian berangkat kerja kalau mau ikut.” Lelaki bernama Ilham itu sudah berdiri di ambang pintu. Memakai jaket hoodie dan bekerja? Kerja apa malam-malam begini? Aku mulai curiga.

“Kalau gamau ya sudah. Kamu bisa tidur di kamarku, tetapi kalau aku pulang—“ dia menjeda kalimatnya. “Jangan salahkan kalau aku menggerayah-gerayahimu.” Dia tersenyum sambil mengerlingkan matanya.

Astaga, bulu kudukku merinding, aku benar-benar takut. Maju kena mundur kena. Jam segini Isma tidak mungkin bisa menjemputku. Kak Sari apalagi. Seharian ini bahkan kami tidak pernah bertukar pesan.

“Gita, kamu pulang saja. Kak Ilham hanya godain kamu. Dia gak bakal berani sentuh wanita.” Faiha mengucapkan sambil tertawa. Dia meledek kakaknya yang sedang melotot.

“Enak saja, biar begini aku lelaki normal.”

“Dah sana pergi, anterin temenku sampai ke rumah. Besok dia harus sekolah.”

Faiha meyakinkanku jika Kakaknya tidak akan menyakitiku. Orangnya memang jahil, tetapi aslinya baik hati dan penyayang. Kalau sudah kenal, dia bisa menjadi sosok yang hangat. Makanya sampai banyak cewek yang mengaguminya.

Aku melirik ke arahnya, dia memang tampan seperti opa-opa Korea, tetapi terlihat angkuh dan dingin seperti kulkas dua pintu.

“Buruan sebelum aku berubah pikiran!”

Aku memantapkan hati, semoga lelaki itu tidak berbohong. Aku beranjak dari tempat tidur dan segera pamitan. “Aku pulang, Fai. Makasih untuk semuanya.”

“Tunggu! Pakai jilbab ini.” Faiha memberikanku jilbab instan warna abu-abu yang lumayan lebar hingga menutup punggung dan dada. Dia memakaikannya untukku di depan Ilham.

Ada apa dengan lelaki itu? Mengapa dia menatapku aneh? Apa dia mulai terpesona denganku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status