Ilham menatapku aneh. Apa dia mulai terpesona denganku? Haish! Pikiranku malah traveling.Faiha mengantarkanku sampai depan rumah sedangkan Ilham sudah siap dengan motor scoopy-nya. Wah, dia bukan termasuk anak muda zaman now yang suka dengan motor gede. Motornya masih standar.“Ngapain lihat-lihat? Naksir, ya?” ucapnya ketus. “Buruan naik atau kutinggal!”Menyebalkan sekali lelaki itu. Aku segera duduk di belakangnya tanpa pegangan. Meski bagaimana pun dia lelaki normal, takut digoda setan.Dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Rumah Bibi Lia tidak terlalu jauh sini, tetapi aku tidak enak jika pulang ke sana. Apalagi diantarkan sama laki-laki. Jadi kuputuskan untuk pulang ke rumah. Aku melihat kakiku, masih menawan meski hanya memakai sandal jepit. Aku memakainya mumpung anak bernama Bian itu tidur. “Rumah kamu di mana?” Pertanyaannya membuatku kaget. Aku lupa, dia kan tidak tahu rumahku. “Karangmalang.” Aku tidak perlu menjelaskannya tinggal di mana, sepertinya dia sedang
Aku terbangun kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid. Tubuhku terasa kaku dan kedinginan. Aku duduk dan bersandar di ranjang mengecek ponsel yang berkedip-kedip. Banyak sekali pesan yang masuk. Kak Sari menghubungiku? Aku segera membuka pesan darinya. “Ta, kamu di mana? Kakak pulang kok kamu malah nggak di rumah?”Benarkah dia mengkhawatirkanku? Ternyata tidak hanya satu pesan yang dikirimkan. Baru kali ini aku merasa memiliki seorang kakak. Ada juga sebuah pesan dari Erick. Buat apa lagi dia masih menghubungiku? Tidak cukup puaskah dia menyakiti perasaanku? “Gita! Aku bisa jelasin semuanya. Aku khilaf, Ta. Kumohon percayalah padaku.”Kututup mulutku kala membacanya. Ya Allah, haruskah aku mempercayainya? Rasanya terlalu sakit. Namun, jauh di lubuk hati masih tersimpan namanya. Dia yang pertama di hatiku, tidak akan mungkin semudah itu melupakannya. Mas Aril hanyalah tameng untuk mengelabuhi orang supaya tidak tahu betapa hancurnya perasaanku. Aku meringkuk, me
Suasana di sekolah sudah lengang. Hanya anak yang mengikuti ekstra kurikuler yang masih di kelas. Sudah hampir satu jam aku bersembunyi di kelas. Kupikir Erick sudah pulang karena sudah sore. Namun, Erick tiba-tiba datang menghadang. “Turun, Ta! Aku capek nungguin kamu.”Jadi, sedari tadi dia menungguku? Bodoh sekali aku! Kupikir dia sudah pulang.“Aku tidak memintamu untuk menungguku.”Erick menarik tanganku hingga hampir terjatuh. “Lepas, Rick! Jangan sentuh aku. Aku bisa teriak jika kamu memaksa.”Erick akhirnya melepaskan tanganku. Di sini masih ada Pak Satpam, aku akan meminta perlindungan jika dia nekat. “Aku minta maaf, Ta! Aku sudah putusin Meyda. Kita masih bisa bersama lagi.”Aku menggeleng. “Tidak semudah itu Bambang! Setelah apa yang kamu lakukan padaku tadi malam dengan semudah itu kamu minta maaf?”“Aku memang salah, Ta! Allah saja mau memaafkan hambanya. Kenapa kamu tidak bisa?”Aku terdiam, hatiku tidak sekuat itu, Rick. Terlalu dalam luka yang kau torehkan. Dengan m
“Ketika tidak ada siapa pun yang menolongmu, ingatlah kamu masih punya Allah.ان الله معناSesungguhnya Allah bersama kita”***Aku baru ingat, apa benar dia mencintaiku? Jika seorang laki-laki mencintai perempuan, dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya terluka dan akan menjaganya. Namun, Erick tidak seperti itu. Sepertinya dia hanya terobsesi denganku. “Erick! Jangan lakukan ini padaku!” Aku terus berteriak meminta diturunkan tetapi dia tidak menghiraukan. Kini sampailah kami di depan pintu rumahnya. Orang tua Erick adalah pengusaha sukses. Mereka sering pergi ke luar kota. Mereka biasanya pulang pada hari weekend, tetapi aku berharap keajaiban datang. Semoga mereka datang menolongku.“Di mana, sih, Abang naruh kuncinya? Biasanya juga enggak pernah dikunci.” Erick mengomel mencari kunci rumah yang tidak tahu di mana keberadaannya. Abang? Jangan-jangan lelaki yang bersama Kak Sari adalah abangnya Erick. Astaghfirullah, aku baru ingat perkataan Erick tadi siang. Berart
Mataku terbuka kala mendengar sayup-sayup suara azan. Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Badanku sakit dan pegal-pegal. Saat aku hendak bangun, kepalaku terasa berat. Di keningku ada sebuah benda basah seperti es. Ada yang sedang mengompresku, apakah aku demam?Tembok bernuansa abu menjadi pemandanganku. Di manakah aku? Aku segera membuang kompresan di kepala. Ini bukan kamarku, bukan kamar Isma atau pun rumah sakit. Jangan-jangan Erick menyekapku. Aku segera mengecek bajuku dan oh tidak! Aku sudah berganti pakaian. Astaga, apakah aku sudah tidak perawan? Aku mencoba berdiri dan ternyata aku terjatuh. Kakiku sakit, ada sebuah perban putih di lutut. Namun aku tidak merasa ada suatu keanehan di bawah sana. Sepertinya semua itu hanya kekhawatiranku saja.Aku kembali duduk di ranjang, masih menerka-nerka di manakah diriku berada. Kamar berukuran 3x3 meter dengan tempat tidur yang cukup nyaman meskipun sempit. Hanya cukup untuk tidur berdua. Lemari pakaian yang cukup kecil s
Lelaki sombong dan cuek seperti Ilham memangnya bisa apa?Aku hendak mengambil trofi tersebut, tetapi pintu kamar terbuka. Kuurungkan niatku meski sangat penasaran. Faiha datang membawa dua selimut tebal. Kulihat jam beker di atas meja sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Tidur, yuk! Ini kubawakan selimut untukmu.”Aku segera menerimanya dan merebahkan diri di samping Faiha. Dia berbaring menatapku lalu tersenyum.“Ada apa, Fai?” tanyaku penasaran. Aku malu dia melihatku sampai seperti itu.“Enggak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu bisa mengalami kejadian seperti itu?”Duh, Faiha. Mengapa dia menanyakannya? Aku jadi kepingin nangis lagi, ‘kan? Padahal sejenak aku bisa melupakan kejadian itu setelah mendengarkan ocehan Bian. Haruskah aku katakan semuanya kepada Faiha? Padahal aku tidak sedekat itu sampai mau berbagi cerita dengannya. “Maaf, aku belum siap menceritakan semuanya, Fai.” Aku berbalik memunggunginya. Perlahan bulir air mata menetes membasahi bantal Ilham.
Aril Safir? Ilham selalu bekerja saat sore atau pun malam hari. Bisa jadi mereka adalah orang yang sama. Mas Aril hanya siaran di sore atau malam hari, kecuali weekend. Duh, membayangkannya saja membuatku tidak rela. Mereka sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi. Ilham itu fakir senyum, sombong, dan sikapnya dingin seperti kulkas dua pintu. Sedangkan Mas Aril itu hangat, dia selalu menghibur semua orang dengan canda tawanya. Segera kukembalikan benda tersebut ke tempatnya. Nama kakaknya Faiha adalah Ilham, bukan Aril. Mungkin saja benda ini milik temannya. Namun, jika ini miliknya berarti aku punya peluang mendekatinya. Astaghfirullah, sadar, Ta! Kamu baru saja patah hati. Aku harus segera mengambil air wudu sebelum setan di kepalaku membisikkan hal yang tidak-tidak. Sesampainya di dapur kulihat Kak Syifa sedang memasak dibantu Faiha. Aku hendak masuk ke kamar mandi, tetapi suara merdu tadarus seseorang laki-laki mengalihkanku. Ilham? Aku menoleh ke musala kecil yang ada di sudut
Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Perlahan kubuka mata yang terasa berat. Seorang perempuan muda berjilbab sedang tersenyum ramah kepadaku. Di sudut lain kulihat Kak Syifa dan Bian bersama seorang wanita tua. Sepertinya beliau adalah nenek Bian.“Bian mau teluar cama Nenek, Bian takut cama Putli Salju.” Anak itu menangis histeris. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa dia mendadak takut denganku?“Kamu sudah sadar?” tanya wanita di sampingku. “Memangnya apa yang terjadi denganku? Kenapa aku ada di sini? Ini bukan rumah sakit, ‘kan?”Ruangan yang didominasi dengan warna putih ini sangat luas. Namun, aku yakin ini bukanlah rumah sakit. Tidak ada aroma obat-obatan. Kulihat Bian meringkuk di pangkuan ibunya. Mengapa dia ketakutan melihatku?“Bian, Putri Salju sudah bangun, sini ikut kakak!” Aku merasa tenang jika melihat tingkah lucu dan kepolosan Bian. Sejenak bisa melupakanku dari semua masalah yang sedang kuhadapi. “Bian takut denganmu, kamu baru saja mendorongny