Share

Jilbab

last update Last Updated: 2023-08-29 19:41:37

Ilham menatapku aneh. Apa dia mulai terpesona denganku? Haish! Pikiranku malah traveling.

Faiha mengantarkanku sampai depan rumah sedangkan Ilham sudah siap dengan motor scoopy-nya. Wah, dia bukan termasuk anak muda zaman now yang suka dengan motor gede. Motornya masih standar.

“Ngapain lihat-lihat? Naksir, ya?” ucapnya ketus. “Buruan naik atau kutinggal!”

Menyebalkan sekali lelaki itu. Aku segera duduk di belakangnya tanpa pegangan. Meski bagaimana pun dia lelaki normal, takut digoda setan.

Dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Rumah Bibi Lia tidak terlalu jauh sini, tetapi aku tidak enak jika pulang ke sana. Apalagi diantarkan sama laki-laki. Jadi kuputuskan untuk pulang ke rumah.

Aku melihat kakiku, masih menawan meski hanya memakai sandal jepit. Aku memakainya mumpung anak bernama Bian itu tidur.

“Rumah kamu di mana?” Pertanyaannya membuatku kaget. Aku lupa, dia kan tidak tahu rumahku.

“Karangmalang.” Aku tidak perlu menjelaskannya tinggal di mana, sepertinya dia sedang buru-buru. Lagipula rumahku dekat dengan jalan utama.

“Dih, jauh amet, beda arah sama tempat kerjaku, bisa terlambat nih.”

Apa aku pulang ke rumah Bibi saja, ya? Lagipula ini belum larut malam. Bibi dan Isma juga pasti belum tidur.

“Ya sudah, anterin aku ke toko bunga yang kamu kunjungi tadi sore.”

Aku yakin dia pasti kaget, mengapa aku bisa mengenalinya. Jaketnya saja masih sama dengan yang dipakai tadi sore. Namun, dia diam dan segera berbalik arah. Dia pasti sudah paham maksudku.

Kami sampai di depan toko bunga Bibi Lia setelah perjalanan selama lima belas menit. Aku turun dari motor dan mengucapkan terima kasih.

“Enggak mampir dulu?” tanyaku basa-basi.

“Aku buru-buru. Gajiku bisa dipotong kalau terlambat.” Dia menghidupkan motornya kemudian tancap gas setelah mengucapkan salam.

“Wa’alaikum salam,” ucapku sambil tersenyum. Eh, kenapa aku tersenyum melihatnya? Sepertinya otakku mulai geser.

Saat aku berbalik sudah ada Isma di depan rumah. Apakah dia melihat ustaz kesayangannya? Duh, gimana ini? Aku tidak mau dijuluki sebagai penghianat. Eh, aku ‘kan tidak menghianatinya? Aku hanya diantarkan pulang oleh Ilham.

“Siapa, Ta? Bukan Erick, kan?” tanya Isma sambil membenarkan kacamatanya.

“Bukan. Tadi teman, kakaknya temanku. Em, teman kita maksudnya.” Duh, kenapa jadi grogi begini, sih?

“Teman?” Isma memicingkan matanya.

“Iya, teman. Kamu tahu Faiha, kan? Nah, barusan kakaknya Faiha yang anterin aku.”

“Oh, begitu. Baguslah kalau kamu langsung move on. Aku enggak perlu relain Ustaz Ilham buat kamu.”

“Idih, ogah aku sama ustaz gadungan. Aku dah punya Mas Aril yang kece badai.”

Ustaz gadungan? Yah, mungkin itu lebih cocok untuk si Ilham. “Dia bukan ustaz, hanya muazin di masjid itu. Namun, anggota irmas terkadang mengajaknya duduk bersama. Dia disegani karena suaranya yang merdu ketika mengumandangkan azan dan salawat. Sehingga dia bergabung dengan irmas untuk menjalankan misinya. Misi mendekati Ustazah Anisa.” Ucapan Faiha ketika di kamarnya membuatku ingin tertawa.

“Aril hanya akan menyakitimu, Ta. Dia itu tidak nyata. Kamu hanya mendengar suaranya. Lagipula di medsosnya hanya ada 1 foto. Udah gitu mukanya gak kelihatan, hanya tampak dari samping ketika siaran. Bisa jadi dia udah punya anak dan istri. Kamu cari yang nyata aja, deh.”

Aku mengabaikan ucapan Isma dan segera masuk ke kamar karena dingin. Aku tidur bersama Isma jika menginap di rumah Bibi. Dia anak terakhir, kedua kakak laki-lakinya melanjutkan kuliah di Semarang. Mereka akan pulang sebulan sekali bahkan bisa lebih.

Mereka memang sepupuku, tetapi aku tidak akan menginap di sini ketika semuanya pulang. Aku tidak pernah berpakaian panjang, tatapan mata mereka membuatku seolah-olah dikuliti. Mereka lelaki normal dan kami bukan mahram. Aku tahu batasanku meski bukan wanita muslimah yang taat.

“Ma, tidur, yuk! Aku capek.” Aku melepaskan jilbab dan meletakkannya di gantungan baju.

“Jilbab siapa, Ta? Kok beda sama pas berangkat.”

“Faiha, lah. Jilbabku diambil sama Erick.”

“Eh, itu kan jilbabku. Kok malah dikasihkan ke Erick, sih?”

Benar, tadi aku meminjam gamis dan jilbab Isma karena dia mendadak mengajakku ke pengajian. Aku tidak siap sama sekali.

“Aku nggak ngasih, dia yang merebutnya. Aku hampir dilecehkan sama dia.”

“Astaghfirullah, kamu enggak apa-apa ‘kan, Ta?” Isma menggulung lengan gamisku. Dia juga mengecek apakah aku terluka atau tidak.

“Alhamdulillah aku selamat, Ma. Hanya saja ... hatiku yang retak.”

Aku menahan sekuat hati supaya tidak menangis, tetapi aku lemah. Air mataku tumpah seketika. Isma memelukku erat. Erik brengsek! Entah mengapa masih ada sedikit harapan untuknya. Aku ingin dia meminta maaf dan bisa bersama lagi dengannya. Namun hati kecilku juga tidak bisa memungkiri jika rasanya terlalu sakit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 20 END

    “Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 19

    Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 18

    Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 17

    Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 16

    “Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 15

    “Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status