Share

Jilbab

Ilham menatapku aneh. Apa dia mulai terpesona denganku? Haish! Pikiranku malah traveling.

Faiha mengantarkanku sampai depan rumah sedangkan Ilham sudah siap dengan motor scoopy-nya. Wah, dia bukan termasuk anak muda zaman now yang suka dengan motor gede. Motornya masih standar.

“Ngapain lihat-lihat? Naksir, ya?” ucapnya ketus. “Buruan naik atau kutinggal!”

Menyebalkan sekali lelaki itu. Aku segera duduk di belakangnya tanpa pegangan. Meski bagaimana pun dia lelaki normal, takut digoda setan.

Dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Rumah Bibi Lia tidak terlalu jauh sini, tetapi aku tidak enak jika pulang ke sana. Apalagi diantarkan sama laki-laki. Jadi kuputuskan untuk pulang ke rumah.

Aku melihat kakiku, masih menawan meski hanya memakai sandal jepit. Aku memakainya mumpung anak bernama Bian itu tidur.

“Rumah kamu di mana?” Pertanyaannya membuatku kaget. Aku lupa, dia kan tidak tahu rumahku.

“Karangmalang.” Aku tidak perlu menjelaskannya tinggal di mana, sepertinya dia sedang buru-buru. Lagipula rumahku dekat dengan jalan utama.

“Dih, jauh amet, beda arah sama tempat kerjaku, bisa terlambat nih.”

Apa aku pulang ke rumah Bibi saja, ya? Lagipula ini belum larut malam. Bibi dan Isma juga pasti belum tidur.

“Ya sudah, anterin aku ke toko bunga yang kamu kunjungi tadi sore.”

Aku yakin dia pasti kaget, mengapa aku bisa mengenalinya. Jaketnya saja masih sama dengan yang dipakai tadi sore. Namun, dia diam dan segera berbalik arah. Dia pasti sudah paham maksudku.

Kami sampai di depan toko bunga Bibi Lia setelah perjalanan selama lima belas menit. Aku turun dari motor dan mengucapkan terima kasih.

“Enggak mampir dulu?” tanyaku basa-basi.

“Aku buru-buru. Gajiku bisa dipotong kalau terlambat.” Dia menghidupkan motornya kemudian tancap gas setelah mengucapkan salam.

“Wa’alaikum salam,” ucapku sambil tersenyum. Eh, kenapa aku tersenyum melihatnya? Sepertinya otakku mulai geser.

Saat aku berbalik sudah ada Isma di depan rumah. Apakah dia melihat ustaz kesayangannya? Duh, gimana ini? Aku tidak mau dijuluki sebagai penghianat. Eh, aku ‘kan tidak menghianatinya? Aku hanya diantarkan pulang oleh Ilham.

“Siapa, Ta? Bukan Erick, kan?” tanya Isma sambil membenarkan kacamatanya.

“Bukan. Tadi teman, kakaknya temanku. Em, teman kita maksudnya.” Duh, kenapa jadi grogi begini, sih?

“Teman?” Isma memicingkan matanya.

“Iya, teman. Kamu tahu Faiha, kan? Nah, barusan kakaknya Faiha yang anterin aku.”

“Oh, begitu. Baguslah kalau kamu langsung move on. Aku enggak perlu relain Ustaz Ilham buat kamu.”

“Idih, ogah aku sama ustaz gadungan. Aku dah punya Mas Aril yang kece badai.”

Ustaz gadungan? Yah, mungkin itu lebih cocok untuk si Ilham. “Dia bukan ustaz, hanya muazin di masjid itu. Namun, anggota irmas terkadang mengajaknya duduk bersama. Dia disegani karena suaranya yang merdu ketika mengumandangkan azan dan salawat. Sehingga dia bergabung dengan irmas untuk menjalankan misinya. Misi mendekati Ustazah Anisa.” Ucapan Faiha ketika di kamarnya membuatku ingin tertawa.

“Aril hanya akan menyakitimu, Ta. Dia itu tidak nyata. Kamu hanya mendengar suaranya. Lagipula di medsosnya hanya ada 1 foto. Udah gitu mukanya gak kelihatan, hanya tampak dari samping ketika siaran. Bisa jadi dia udah punya anak dan istri. Kamu cari yang nyata aja, deh.”

Aku mengabaikan ucapan Isma dan segera masuk ke kamar karena dingin. Aku tidur bersama Isma jika menginap di rumah Bibi. Dia anak terakhir, kedua kakak laki-lakinya melanjutkan kuliah di Semarang. Mereka akan pulang sebulan sekali bahkan bisa lebih.

Mereka memang sepupuku, tetapi aku tidak akan menginap di sini ketika semuanya pulang. Aku tidak pernah berpakaian panjang, tatapan mata mereka membuatku seolah-olah dikuliti. Mereka lelaki normal dan kami bukan mahram. Aku tahu batasanku meski bukan wanita muslimah yang taat.

“Ma, tidur, yuk! Aku capek.” Aku melepaskan jilbab dan meletakkannya di gantungan baju.

“Jilbab siapa, Ta? Kok beda sama pas berangkat.”

“Faiha, lah. Jilbabku diambil sama Erick.”

“Eh, itu kan jilbabku. Kok malah dikasihkan ke Erick, sih?”

Benar, tadi aku meminjam gamis dan jilbab Isma karena dia mendadak mengajakku ke pengajian. Aku tidak siap sama sekali.

“Aku nggak ngasih, dia yang merebutnya. Aku hampir dilecehkan sama dia.”

“Astaghfirullah, kamu enggak apa-apa ‘kan, Ta?” Isma menggulung lengan gamisku. Dia juga mengecek apakah aku terluka atau tidak.

“Alhamdulillah aku selamat, Ma. Hanya saja ... hatiku yang retak.”

Aku menahan sekuat hati supaya tidak menangis, tetapi aku lemah. Air mataku tumpah seketika. Isma memelukku erat. Erik brengsek! Entah mengapa masih ada sedikit harapan untuknya. Aku ingin dia meminta maaf dan bisa bersama lagi dengannya. Namun hati kecilku juga tidak bisa memungkiri jika rasanya terlalu sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status