Share

Mawar Merah

last update Last Updated: 2023-08-29 19:38:18

Anak kecil yang kutahu bernama Bian ini tiba-tiba memeluk erat kakiku. Dia meminta kugendong dan tidak mau pulang bersama orang tuanya. Menyebalkan sekali! Memangnya apa yang dia inginkan dariku?

“Atu maunya puang sama tatak cantik,” teriak Bian.

Kedua orang tuanya sudah lelah membujuknya hingga menawarkanku untuk pulang bareng. “Pulanglah bersama kami, setelah Bian tidur kamu akan kami antar pulang.”

”Saya lagi nungguin teman, lagi ngikutin pengajian di masjid. Kalau nanti saya dicari bagaimana?” Aku sedang menunggu Isma, bagaimana bisa aku meninggalkannya?

“Telepon aja, kami jamin akan mengantarkanmu pulang sampai rumah.”

Aku segera mengangguk karena tidak enak menolak, lumayan mumpung ada tumpangan gratis. Masih dalam pelukanku, balita itu tertidur. Sandal jepit warna kuning sudah lepas dari tangan. Pusaka paling ampuh untuk cowok lucknut seperti Erick.

Aku duduk di belakang bersama Bian, sedangkan ayah dan ibunya di depan. Sebenarnya di mana, sih, rumah mereka? Sudah hampir setengah jam tetapi belum sampai juga. Aku rasanya ketularan Bian, ingin tidur karena terlalu nyaman.

Tubuhku merasa terguncang-guncang, seseorang telah menepuk-nepuk pipiku. Aku seperti melihat Faiha, teman sekelas yang pendiam dan taat. Aku mengucek mataku betulang-ulang, ternyata benar memang Faiha.

“Bagun, Ta! Ngapain kamu bareng Kak Syifa?” tanya Faiha. (Baca novel Babang Ojol)

“Kak Syifa?” Apakah yang dia maksud ibunya Bian? Ah iya, bahkan anak kecil itu sudah tidak ada dalam dekapanku.

“Bian itu keponakanku. Kamu mau masuk dulu atau langsung pulang?”

Aku mau buang air, sudah tidak tahan. “Boleh numpang ke kamar mandi?”

“Aku antar, kamu dah salat belum? Sekalian salat Isya dulu sebelum kamu pulang. Udah hampir jam delapan. Orang tuamu pasti nyariin.”

“Mereka nggak bakal nyariin, aku udah telepon tadi.”

Aku tidak sepenuhnya berbohong. Mereka tidak akan pernah mencariku, sekali pun aku menginap di rumah ini. Lagi pula aku sudah telepon Isma. Kasihan anak itu, Ustaz Ilham tidak datang, dia pasti kecewa.

Aku segera turun dari mobil dengan berjalan sempoyongan dan menguap. Di depan rumah ini ada gerobak PKL yang tidak asing bagiku. Atau mungkin karena aku sering jajan di luar sehingga membuatku tak bisa membedakannya.

“Ayo masuk!” ajak Faiha. Sebenarnya dia anak yang baik, hanya saja aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Dia itu jadul dan kuno, hanya dia yang memakai jilbab di kelas kami. Dulu kupikir dia salah jurusan.

Aku mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Namun, tidak terdengar jawaban dari dalam.

“Duduk dulu. Aku panggilin kakakku.”

Kedua orang tua bersama balita tadi sudah tidak terlihat, sepertinya sudah masuk kamar. Mungkin kesempatan mumpung anak mereka tidur, mereka masih terlihat sangat muda untuk memiliki anak.

“Tidak perlu, biarkan mereka istirahat.” Aku melarang Faiha, kasihan sekali mereka pasti kecapekan memiliki anak yang aktif dan suka menghilang.

Faiha mengerutkan dahi dan nampak berpikir. “Ya sudah, kamu salat dulu. Aku dah siapin tempat salat.”

“Em, boleh pinjam baju? Pakaianku kotor semua.”

Gamisku kotor karena tadi usai semedi di bawah pohon kersen menunggu ilham datang. Namun, yang datang ternyata penjual minuman. Padahal aku sudah berencana tidak salat, tetapi sepertinya Allah tidak menghendaki-Nya.

“Tunggu sebentar!”

Faiha pergi kemudian datang membawa sebuah setelan baju tidur berwarna navy.

“Kamar mandinya di belakang, dekat dapur.”

Faiha mengantarkanku sampai kamar mandi dan menunggu di dapur. Dia membuat dua gelas teh hangat untuk kami.

Usai wudu dan berganti baju, Faiha mengajakku ke kamarnya. Bukan ke musala. Padahal sekilas aku melihat musala kecil di rumah ini.

“Kakakku pulang, dia enggak suka lihat wanita tanpa jilbab. Kamu di kamar aku dulu, ya?” jelas Faiha kala aku menanyakan kenapa aku harus ke kamarnya.

Dia sudah menyiapkan mukena dan sajadah di kamar. Aku segera melaksanakan salat empat rakaat dan bersiap pulang.

Usai salam aku berdoa kepada Allah, meskipun aku benci dengan orang tuaku, selalu kudoakan mereka. Aku berharap mereka segera pulang. Aku rindu dengan mereka, aku juga rindu dengan Kak Sari yang entah di mana keberadaannya. Setetes cairan bening keluar begitu saja dari mataku saat aku menyelesaikan semua doa.

Sejenak kemudian terdengar suara pintu terbuka, pasti Faiha. Aku segera menghapus sisa air mata. Tidak lucu jika Gita Anindya cewek paling garang di kelas terlihat menangis di depan Faiha. Bisa anjlok pamorku.

Aku segera melepas dan melipat mukena. Namun suara seorang laki-laki mengurungkanku untuk berbalik. Jangan-jangan dia Kakak Faiha yang tidak suka dengan wanita berjilbab tadi.

“Mana cewek yang katanya disuruh nganterin tadi, Fai? Kagak ada di kamar salat. Bang Arfan nggak sabaran pula, disuruh cepet-cepet nganterin anak orang.”

Langkah kakinya semakin mendekat. Faiha, datanglah!

Bugh! Lelaki itu merebahkan diri di kasur. “Kakak patah hati, Fai. Ditolak sama Ustazah Anisa.”

Ustazah Anisa? Apakah dia yang mengisi pengajian di masjid tadi? Aku jadi semakin kepo. Posisi dudukku membelakanginya. Dia pasti mengira aku Faiha.

Terdengar pergerakan dari atas kasur. “Kamu kok diem aja, Fai? Bantuin kakak deketin Ustazah Anisa lagi, ya?”

Aku ingin menjawab, tetapi takut ketahuan. Lebih baik diam, bukankah diam adalah emas?

Buk! Setangkai bunga mawar merah dilemparkan ke sampingku. “Bunganya buat kamu aja. Dia gak suka mawar.”

“Kamu dah siap, Ta? Astaghfirullah Kak Ilham. Ngapain masuk ke kamar? Berduaan sama wanita pula.”

Kak Ilham? Ustazah Anisa? Ingatanku berputar kala mengingat kejadian di perjalanan bersama Isma. Apakah kakak Faiha adalah seorang ustaz yang digandrungi Isma?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 20 END

    “Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 19

    Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 18

    Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 17

    Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 16

    “Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 15

    “Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status