Share

Mawar Merah

Anak kecil yang kutahu bernama Bian ini tiba-tiba memeluk erat kakiku. Dia meminta kugendong dan tidak mau pulang bersama orang tuanya. Menyebalkan sekali! Memangnya apa yang dia inginkan dariku?

“Atu maunya puang sama tatak cantik,” teriak Bian.

Kedua orang tuanya sudah lelah membujuknya hingga menawarkanku untuk pulang bareng. “Pulanglah bersama kami, setelah Bian tidur kamu akan kami antar pulang.”

”Saya lagi nungguin teman, lagi ngikutin pengajian di masjid. Kalau nanti saya dicari bagaimana?” Aku sedang menunggu Isma, bagaimana bisa aku meninggalkannya?

“Telepon aja, kami jamin akan mengantarkanmu pulang sampai rumah.”

Aku segera mengangguk karena tidak enak menolak, lumayan mumpung ada tumpangan gratis. Masih dalam pelukanku, balita itu tertidur. Sandal jepit warna kuning sudah lepas dari tangan. Pusaka paling ampuh untuk cowok lucknut seperti Erick.

Aku duduk di belakang bersama Bian, sedangkan ayah dan ibunya di depan. Sebenarnya di mana, sih, rumah mereka? Sudah hampir setengah jam tetapi belum sampai juga. Aku rasanya ketularan Bian, ingin tidur karena terlalu nyaman.

Tubuhku merasa terguncang-guncang, seseorang telah menepuk-nepuk pipiku. Aku seperti melihat Faiha, teman sekelas yang pendiam dan taat. Aku mengucek mataku betulang-ulang, ternyata benar memang Faiha.

“Bagun, Ta! Ngapain kamu bareng Kak Syifa?” tanya Faiha. (Baca novel Babang Ojol)

“Kak Syifa?” Apakah yang dia maksud ibunya Bian? Ah iya, bahkan anak kecil itu sudah tidak ada dalam dekapanku.

“Bian itu keponakanku. Kamu mau masuk dulu atau langsung pulang?”

Aku mau buang air, sudah tidak tahan. “Boleh numpang ke kamar mandi?”

“Aku antar, kamu dah salat belum? Sekalian salat Isya dulu sebelum kamu pulang. Udah hampir jam delapan. Orang tuamu pasti nyariin.”

“Mereka nggak bakal nyariin, aku udah telepon tadi.”

Aku tidak sepenuhnya berbohong. Mereka tidak akan pernah mencariku, sekali pun aku menginap di rumah ini. Lagi pula aku sudah telepon Isma. Kasihan anak itu, Ustaz Ilham tidak datang, dia pasti kecewa.

Aku segera turun dari mobil dengan berjalan sempoyongan dan menguap. Di depan rumah ini ada gerobak PKL yang tidak asing bagiku. Atau mungkin karena aku sering jajan di luar sehingga membuatku tak bisa membedakannya.

“Ayo masuk!” ajak Faiha. Sebenarnya dia anak yang baik, hanya saja aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Dia itu jadul dan kuno, hanya dia yang memakai jilbab di kelas kami. Dulu kupikir dia salah jurusan.

Aku mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Namun, tidak terdengar jawaban dari dalam.

“Duduk dulu. Aku panggilin kakakku.”

Kedua orang tua bersama balita tadi sudah tidak terlihat, sepertinya sudah masuk kamar. Mungkin kesempatan mumpung anak mereka tidur, mereka masih terlihat sangat muda untuk memiliki anak.

“Tidak perlu, biarkan mereka istirahat.” Aku melarang Faiha, kasihan sekali mereka pasti kecapekan memiliki anak yang aktif dan suka menghilang.

Faiha mengerutkan dahi dan nampak berpikir. “Ya sudah, kamu salat dulu. Aku dah siapin tempat salat.”

“Em, boleh pinjam baju? Pakaianku kotor semua.”

Gamisku kotor karena tadi usai semedi di bawah pohon kersen menunggu ilham datang. Namun, yang datang ternyata penjual minuman. Padahal aku sudah berencana tidak salat, tetapi sepertinya Allah tidak menghendaki-Nya.

“Tunggu sebentar!”

Faiha pergi kemudian datang membawa sebuah setelan baju tidur berwarna navy.

“Kamar mandinya di belakang, dekat dapur.”

Faiha mengantarkanku sampai kamar mandi dan menunggu di dapur. Dia membuat dua gelas teh hangat untuk kami.

Usai wudu dan berganti baju, Faiha mengajakku ke kamarnya. Bukan ke musala. Padahal sekilas aku melihat musala kecil di rumah ini.

“Kakakku pulang, dia enggak suka lihat wanita tanpa jilbab. Kamu di kamar aku dulu, ya?” jelas Faiha kala aku menanyakan kenapa aku harus ke kamarnya.

Dia sudah menyiapkan mukena dan sajadah di kamar. Aku segera melaksanakan salat empat rakaat dan bersiap pulang.

Usai salam aku berdoa kepada Allah, meskipun aku benci dengan orang tuaku, selalu kudoakan mereka. Aku berharap mereka segera pulang. Aku rindu dengan mereka, aku juga rindu dengan Kak Sari yang entah di mana keberadaannya. Setetes cairan bening keluar begitu saja dari mataku saat aku menyelesaikan semua doa.

Sejenak kemudian terdengar suara pintu terbuka, pasti Faiha. Aku segera menghapus sisa air mata. Tidak lucu jika Gita Anindya cewek paling garang di kelas terlihat menangis di depan Faiha. Bisa anjlok pamorku.

Aku segera melepas dan melipat mukena. Namun suara seorang laki-laki mengurungkanku untuk berbalik. Jangan-jangan dia Kakak Faiha yang tidak suka dengan wanita berjilbab tadi.

“Mana cewek yang katanya disuruh nganterin tadi, Fai? Kagak ada di kamar salat. Bang Arfan nggak sabaran pula, disuruh cepet-cepet nganterin anak orang.”

Langkah kakinya semakin mendekat. Faiha, datanglah!

Bugh! Lelaki itu merebahkan diri di kasur. “Kakak patah hati, Fai. Ditolak sama Ustazah Anisa.”

Ustazah Anisa? Apakah dia yang mengisi pengajian di masjid tadi? Aku jadi semakin kepo. Posisi dudukku membelakanginya. Dia pasti mengira aku Faiha.

Terdengar pergerakan dari atas kasur. “Kamu kok diem aja, Fai? Bantuin kakak deketin Ustazah Anisa lagi, ya?”

Aku ingin menjawab, tetapi takut ketahuan. Lebih baik diam, bukankah diam adalah emas?

Buk! Setangkai bunga mawar merah dilemparkan ke sampingku. “Bunganya buat kamu aja. Dia gak suka mawar.”

“Kamu dah siap, Ta? Astaghfirullah Kak Ilham. Ngapain masuk ke kamar? Berduaan sama wanita pula.”

Kak Ilham? Ustazah Anisa? Ingatanku berputar kala mengingat kejadian di perjalanan bersama Isma. Apakah kakak Faiha adalah seorang ustaz yang digandrungi Isma?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status