Share

Desa Liwung

Surya bersinar begitu terang di ufuk timur. Hari baru telah tiba, namun ketika Aji Pamungkas sedang menyiapkan sarapan, Raka Sadendra justru masih meringkuk nyenyak di dalam selimutnya. 

Pekerja kantoran itu meminjam selimut dari dunianya dan tidur dengan nyenyak sampai kesiangan. Ia bahkan kalah dengan seorang anak berusia 10 tahun yang sudah bangun 3 jam lebih awal. 

"Raka, bangunlah. Sarapan sudah siap." Ki Joko Gendeng coba membangunkan si pemalas. 

"Hah…? Maaf, ada apa?" Ucap Raka.

Ia baru membuka setengah kelopak matanya. Dirinya masih mengintip keberadaan Aji Pamungkas dan Ki Joko Gendeng.

"Bangun! Cepat makan dan kita bisa melanjutkan perjalanan ke Jakatira!" Bentak Ki Joko Gendeng.

Ia sudah selesai dengan daging kelinci liar miliknya. Pria tua itu bahkan menggunakan batang kecil untuk mengeluarkan sisa daging dari gigi-giginya.

"Oke, aku bangun. Tolong jangan berteriak seperti ibuku. Aku masih mengalami jet lag karena tersesat di dunia bodoh ini," keluh Raka. Ia mencium ada aroma seperti bakaran dari arah mulut gua. 

Raka merangkak dan melihat ada daging bakar tepat di depan matanya. 

"Wah! Apa ini untukku?" Tanya Raka.

"Iya, itu untuk Kak Raka. Kami berdua sudah menghabiskan punya kami," ucap Aji Pamungkas menatap si pemalas itu.

Raka langsung merobek daging bakar itu sebagian. Ia melahap dalam-dalam setiap inchi dagingnya. Lembut, penuh dengan lemak dan juicy.

"Ini daging apa? Kok, enak banget?" Tanya Raka yang terus melahap daging itu.

"Kelinci liar," jawab Aji.

UUOOK!!!

Raka langsung memuntahkan daging itu. Dan menjauhkan sisanya dari mulut. Ia langsung meminta air mineral dingin menggunakan pena miliknya. Raka berkumur dan langsung meminta camilan manis berupa coklat batang dari Swiss. 

"Apa kau gila?!" Teriak Raka menunjuk Aji.

"Maksud kakak, gila kenapa?" Aji Pamungkas tidak mengerti.

"Kau membunuh kelinci mungil yang imut, lucu, menggemaskan dan memasaknya dengan sadis!" Bentak Raka.

Ia belum pernah memakan daging kelinci. Itu pertama kalinya ia mencicipinya. Reaksinya agak berlebihan karena dirinya adalah pecinta binatang berbulu tebal. 

"Lalu? Itu, 'kan cuma kelinci. Apa jangan-jangan kelinci di duniamu tidak boleh di makan?" Tanya Aji Pamungkas.

"Kami membeli pakaian khusus untuk kelinci, kandang mewah untuknya, dan membuatkan kalung nama untuk mereka. Itu semua kami lakukan karena mereka imut! Jadi, mulai sekarang jangan coba-coba membakar kelinci, kucing, burung, anjing, tupai dan segala hewan berbulu yang menggemaskan!" Raka menjadi begitu emosi. Amarahnya begitu meledak-ledak. 

Setelah persoalan kelinci selesai, Ki Joko Gendeng memandu mereka untuk menyusuri hutan dan menuju ke arah utara. Mereka harus melalui lebatnya hutan dan beberapa desa kecil sebelum sampai di kota Jakatira. 

Di sepanjang jalan, Raka mengenakan earphone yang tersambung ke perangkat smartphone. Ia mendengarkan musik dangdut dari aplikasi musik berbayar. 

"Aku bingung dengannya. Ia seenaknya menggunakan kekuatan itu untuk meminjam barang secara acak. Dan yang kurang ajarnya, kita tidak diperbolehkan untuk memakainya," ungkap Ki Joko Gendeng.

Dirinya merasa gusar melihat Raka seenaknya jalan sambil mendengarkan musik. Ia bahkan tidak menawarkan earphone tersebut ke pria tua itu.

"Ki Joko Gendeng, aku ingin tahu tentang menara seratus lantai itu. Apa tidak ada perpustakaan di dunia ini yang bisa menjelaskan mengenai asal usul dari menara Kalpawreksa? Mungkin ada petunjuk yang bisa kita gunakan untuk terus naik ke lantai seratus. Misalnya teknologi lift?" Pikir Raka asal menebak.

"Sayangnya tidak ada. Semua pengetahuan atau informasi mengenai menara itu telah musnah. Kami sendiri tidak tahu siapa yang membangunnya. Terkadang para orang yang sudah tua malah berkata bila menara itu adalah paku bumi yang memancang Yawadwipa," ungkap Ki Joko Gendeng. Ia menoleh ke mereka berdua.

"Jadi begitu. Ini benar-benar merepotkan." Raka kehabisan ide. Tapi ia sangat penasaran dengan kisah awal mula menara tersebut.

Mereka bertiga berjalan begitu jauh hingga tak terasa telah menempuh kurang lebih lima puluh kilometer. Ketiganya memilih untuk beristirahat sejenak dan meminum air mineral yang mereka bawa. 

Perjalanan kali ini disponsori langsung oleh Raka yang secara terus-menerus meminjam barang menggunakan pena miliknya. 

Namun ketika mereka sedang mengistirahatkan tubuhnya, tanpa disadari oleh Raka, Aji Pamungkas dan Ki Joko Gendeng, mereka telah dikepung oleh pasukan pendekar asing. Mereka semua bersembunyi layaknya bunglon. Ada, namun tidak terlihat. 

"Jangan bergerak!" Sebuah pedang melintang di depan leher Raka. Ia mendengar suara seorang wanita. 

Seketika pasukan lainnya menampakkan wujud mereka dan segera mengepung Raka dan kedua temannya. 

"Apa yang sedang kalian lakukan di sini, jawab!" Tanya Wanita itu 

Ia mengenakan sebuah selimut yang mampu menyembunyikan diri mereka. 

"Ka–, kami hanya orang pendatang yang menumpang lewat. Apa mungkin hutan ini punyamu? Atau kakek buyutmu? Bisa sekalian tunjukkan sertifikat kepemilikannya?" Ucap Raka.

Ia begitu takut untuk bergerak. Mata pedang milik wanita itu telah menggores sedikit kulit Raka.

Mereka bertiga di bawa dengan keadaan kepala ditutupi oleh kain hitam. Ketiganya tidak dibiarkan untuk mengintip di sepanjang perjalanan.

"Apa kalian suku pedalaman yang suka menyantap otak manusia?" Tanya Raka.

Ia masih merasa trauma setelah melihat beberapa film barat mengenai para suku yang suka sekali menyantap daging manusia. 

"Diam!" Teriak salah seorang dari pasukan itu. 

SELAMAT DATANG!!!

Kain yang menutupi kepala mereka telah dilepas. Raka langsung menoleh ke arah depan. Ada seorang kakek tua yang mengenakan pakaian serba putih. 

"Selamat datang di desa kami," ucap Eyang Suryo, salah satu tetua atau buyut di desa Liwung. 

"Astaga! Apa kalian tidak bisa memberikan pelayanan seperti di hotel bintang lima?" Raka terlihat gusar.

"Namaku adalah Eyang Suryo. Aku adalah pemimpin dari desa Liwung. Diriku sangat terkejut karena ada yang berani lewat di depan wilayah kami setelah kejadian gelombang bencana kemarin," ucap Eyang Suryo.

Di samping kakek tua itu, ada seorang wanita yang diduga oleh Raka sebagai orang yang menyekap dirinya dengan kain penutup kepala saat dihutan tadi. Lalu di sampingnya ada beberapa pemuda lengkap dengan senjata golok dan pedang di pinggang sedang menatap ke arah Raka dan kedua temannya.

"Eyang Suryo, lama tidak bertemu. Ini aku, Ki Joko Gendeng." Pria tua itu maju menyeret lututnya. Ia memperlihatkan wajahnya ke tetua desa Liwung.

"Ki Joko Gendeng! Oh, astaga, ternyata kau masih hidup!" Eyang Suryo begitu senang melihat teman lamanya yang ternyata masih bisa bernapas. 

Kakek tua itu menjelaskan mengenai bagaimana ia bisa meloloskan diri dari cengkeraman iblis gelombang bencana. 

Campur tangan dari Raka Sadendra atas keselamatannya menjadi inti utama ceritanya. Ia meminta pengampunan untuk pemuda dan anak 10 tahun itu. 

"Aku mengerti. Baiklah, aku mengampuni mereka berdua. Namun tolong jelaskan apa maksud kedatangan kalian ke wilayah Liwung?" Ucap Eyang Suryo yang merasa penasaran.

"Kami ingin menuju ke kota Jakatira. Anak muda ini ingin menyatukan seluruh pendekar di semua klan untuk memanjat menara Kalpawreksa," jawab Ki Joko Gendeng.

"Apa? Aku tidak salah dengar, 'kan?" Eyang Suryo merasa telah salah mendengar.

"Tidak, Anda tidak salah mendengarnya, kecuali bila Anda memiliki masalah dengan pendengaran. Yang jelas, aku memang ingin melakukannya," sahut Raka Sadendra.

"Kenapa kau ingin melakukannya? Apa kau ingin mengelabui mereka semua dan ingin mendapatkan pengabul keinginan tertinggi untuk menjadi dewa?" Tanya Wanita di samping Eyang Suryo. Ia maju dan menghina keinginan Raka.

"Karena aku tidak mau melihat ada satu pun manusia di negeri ini yang tewas oleh para iblis itu." Raka menjawab dengan tegas. Tatapan kedua matanya menatap mata sang wanita itu.

"Siapa kau sebenarnya? Tidak ada yang pernah berpikir sebodoh itu sebelumnya," tanya Eyang Suryo.

"Oh, untunglah. Karena aku akan menjadi orang bodoh terakhir yang akan berpikir seperti itu." Raka tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status