Berita dari Kanaya membuat Bram diliputi kekhawatiran. Lalu, bayangan Seruni mengapung di depan mata. Ia dulu pernah gagal menyelamatkan istrinya. Jangan sampai ia gagal untuk kali kedua. Seumur hidupnya pasti akan dihantui penyesalan.“Kalau dari ciri-ciri yang disebutin Dewi, korban mirip banget dengan Seruni. Gimana kalau Mas Bram tengok ke Polres. Siapa tahu itu memang Seruni.”Hati Bram semakin was-was. Memang ada begitu banyak perempuan dengan ciri mirip Seruni, tetapi tidak ada salahnya ia mengecek ke Polres.“Kalau gitu aku ke kantor polisi dulu, Nay,” putus Bram. “Oh, ya, tadi aku janji bacain cerita ke Ran dan Rain. Tolong gantiin, ya. Bilang ke mereka aku masih ada kerjaan.”“Berees.”“Thanks, Nay.” Bram mengakhiri pembicaraan lalu menyimpan di saku. Segera, ia meninggalkan ruang kerja dan tergesa melewati koridor hingga derap langkahnya memenuhi lorong panjang yang sunyi itu.Ayunan kaki Bram melambat ketika melewati lobi. Ia melambaikan tangan dan mengembangkan senyum pad
Sempat keberatan karena teringat dengan janjinya pada Rain dan Ran, Bram akhirnya menyerah. Diturutinya permintaan Kanaya untuk mencari Seruni meski ia tidak yakin akan menemukan gadis itu. Ada puluhan indekos di sekitar La Luna dan Bram tidak mungkin menyambangi satu per satu. Jika hal itu sampai terjadi, bisa-bisa ia harus mengerjakannya sampai tengah malam. “Tenang, Mas. Rain dan Ran tidak rewel, kok. Mereka selalu jadi kucing manis di depan tantenya.” “Oke, deh. Nitip mereka. Bilang ke mereka kalau aku baru bisa bacain cerita besok malam.” “Berees.” Suara Kanaya terdengar ringan tanpa beban. Setelah menutup pembicaraan dan menyimpan ponsel, Bram segera menginjak pedal gas. Sel-sel kelabu di kepalanya sibuk menerka, di mana kira-kira Seruni berada. Namun, Bram tidak juga menemukan titik terang dan lelaki itu menyerah, membiarkan segala pikiran buruk tetap bercokol di kepala. Laju Honda Accord yang dikemudikan Bram berkurang ketika memasuki jalan menuju La Luna. Manik mata hitam
“Bodoh!” Si tato kalajengking berteriak kesal ketika kaki tangannya mengabarkan kalau Seruni sudah dibawa Bram. “Sorry, Bos. Masalahnya tiba-tiba bosnya dateng. Kalau saya langsung culik Seruni, malah berbahaya buat kita.” “Alesan! Bilang saja kamu nggak becus kerja!” Si tato kalajengking mendengkus. Dijatuhkannya tubuh ke atas sofa. Sembari bersandar, dipijitnya pelipis. Kenapa anak buahnya mendadak lemot dan letoy dalam bergerak? Hanya menangani Bram dan Seruni saja dia tidak bisa. “Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi kamu harus bisa bawa Seruni padaku!” Kepalan tangan si tato kalajengking mengenai meja kaca sehingga asbak dan botol di atasnya seperti melompat ketakutan. “Kalau kamu sampai gagal, jangan pernah datang padaku lagi! Mengerti?” Ibu jari si tato kalajengking menekan tombol di sisi kanan ponsel. Lalu, telunjuknya menyentuh panel power. Digenggamnya kuat-kuat ponsel sembari menggeretakkan gigi. Benar-benar menyebalkan! Bisa-bisanya dia kalah dari Seruni. Sejurus k
Jadi yang tertangkap Jack. Kupikir geng sebelah. Si tato kalajengking mengambil koran paling atas seraya berpikir keras. Dibacanya headline surat kabar paling berpengaruh di Yogyakarta itu lalu meletakkannya kembali di atas meja. Si tato kalajengking sama sekali tidak berminat membaca isinya. Untuk apa? Apa pun kata polisi tidak akan ada artinya karena bisnis ini memiliki backing orang berpengaruh. Semua aman. Semua akan baik-baik saja. “Tuan tinggal membayar uang jaminan dan Jack bisa lepas. Semua beres, Tuan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Si tato kalajengking menggosokkan kedua telapak tangannya dan menatap tuannya penuh percaya diri. “Kamu terlalu sering mabuk.” Tuan Besar mendengkus. Didekatinya si tato kalajengking hingga tubuh mereka hanya berjarak dua langkah. Perut pria berusia 45 tahun itu sedikit mual mencium aroma rokok dan bir dari mulut orang kepercayaannya. “Kamu terlalu banyak minum.” Telunjuk Tuan Besar menekan dada Gou. “Sampai-sampai otakmu tidak bisa beker
Bram mengambil alih pengasuh anaknya memapah Mbok Asih. Dibantunya perempuan sepuh itu duduk di mobil kemudian membangunkan Seruni.“Bangun, Nona. Jangan sampai kamu ngiler di mobil saya.” Bram membungkuk dan berseru di samping kepala Seruni.Mbok Asih terkekeh. “Gitu amat banguninnya, Mas.”“Iya, ih. Mas Bram nggak ada sopan-sopannya sama orang.” Kanaya menggeser tubuh Bram. “Biar aku bangunin.” Ditepuknya pipi Seruni beberapa kali.“Eh, oh, di mana saya?” Seruni tergeragap. Dikuceknya mata kemudian memandang ke sekeliling dan menemukan tubuh menjulang Bram berdiri di samping Kanaya yang membungkuk.“Kamu sudah sampai rumah., Seruni.”Rumah? Seruni memaksa saraf otaknya bekerja lebih keras. Ia menepuk jidat ketika melihat rumah besar Bram ada di depan mata. Barulah Seruni mengerti kalau dia sudah berada di tempat tinggal Bram.“Cepet keluar, Seruni. Saya tidak punya banyak waktu.” Bram berseru tak sabar.Seruni melongok hingga wajahnya tepat menghadap Bram. Kenapa dia selalu marah-ma
Pandangan Seruni terkunci pada layar ponsel, memastikan apa yang dilihatnya memang anggota komplotan si tato kalajengking. “Sa-saya pernah ketemu dia, Mbak.” Seruni berkata dengan suara bergetar. Mendadak tubuhnya gemetar. Wajah lelaki itu masih tersimpan di kepala Seruni. Begitu juga saat ia mabuk dan hampir menubruk dan mencium Seruni. Kenangan pahit, tetapi enggan pergi dari ingatan. “Makasih Seruni. Maaf aku sudah membuatmu tidak nyaman,” ujar Kanaya penuh sesal. “Habiskan tehmu dan istirahatlah.” Kanaya tersenyum iba. Seruni bisa menjadi saksi dan salah satu kunci untuk membongkar sindikat prostitusi terbesar di Yogyakarta, tetapi Kanaya tidak boleh memaksanya. Ia harus berhati-hati dan pelan-pelan mengorek keterangan gadis itu. Seruni mengosongkan cangkir. Rasa teh yang sudah dingin itu semakin aneh, sangat berbeda dengan teh buatan almarhum Ibu atau Bibi. Dua perempuan itu selalu bisa menghasilkan seduhan teh dengan rasa dan aroma yang pas. Satu hal yang belum bisa diwarisi Se
“Ceroboh!” Bram berdecak. Ditatapnya Seruni sekilas lalu mendekati kotak obat.. Kotak bercat putih dengan tanda tambah merah di kedua pintunya itu menggantung di dinding sebelah kiri. Lirikan kesal Seruni bertemu dengan raut muka acuh Bram. Diabaikannya cemoohan lelaki itu. Ia berjongkok kemudian mengusap dan meniup punggung kaki yang terkena bagian atas pisau. Beruntung, kakinya terkena sisi tumpul pisau, bukan sisi tajam sehingga hanya mengakibatkan nyeri. “Kasih ini.” Bram mengulurkan sebuah botol dengan berisi cairan cokelat. Minyak zaitun. Seruni membaca tulisan yang tertempel di bagian depan botol. Ujung alis Seruni sedikit berkerut. Seingatnya, harga minyak zaitun cukup mahal dan biasa digunakan untuk campuran salad atau menumis bumbu. Kenapa bisa di keluarga Bram minyak ini ada di kotak obat? “Dioleskan saja sedikit, biar tidak terlalu nyeri,” lanjut Bram dengan mata tertuju ke kaki Seruni. Nada bicaranya tidak lagi ketus. “Terima kasih, Pak.” Tanpa melihat wajah Bram,
“Maaf, Mbak, Pak, saya berangkat sendiri saja. Saya sudah tahu jalur Trans Jogja. Saya akan sampai hotel tepat waktu.”Andai hubungannya dengan Bram layaknya teman dan awal pertemuan dengan pria itu bukan karena sebuah insiden, tentu Seruni akan menerima tawaran untuk berangkat bersama. Selain hemat waktu dan biaya, kapan lagi bisa merasakan naik mobil mewah di samping laki-laki ganteng. Ya, ampun, Seruni, kamu mikir apaan, sih? “Gimana, Mas? Mau kamu anter atau biar dia berangkat sendiri?”“Terserah dia saja.” Bram menjawab acuh tanpa melihat pada Seruni. Lelaki itu sibuk menyuapi dan mendengar celoteh bocah di pangkuannya.Ucapan Bram melegakan Seruni. Kalau sampai karyawan lain tahu dia datang ke La Luna bersama bos La Luna itu, gosip tentangnya akan semakin santer dan dia akan kesulitan berkelit.“Ya, sudah terserah kamu saja.” Kanaya menghentikan perdebatan. Ia khawatir, membujuk Seruni akan membuatnya kembali lapar. Lebih baik membiarkan gadis itu dengan keputusannya. Kanaya ti