Ajun keluar dari kamarnya setelah siap dengan pakaian sekolah. Ia bangun telat karena semalam tidur terlalu larut. Sebab itu juga Ajun menelpon Arga untuk ikut kembali menebeng ke sekolah.
Pemuda itu pergi ke meja makan dan membuka tudung saji. Kosong. Hey, Jevran tidak masak? Dia belum sarapan. Kalau sudah jam segini mana sempat makan di luar.
"Kak Joko gimana, sih?" Dengan kesal Ajun kembali menaruh tudung saji itu di meja. Tak sengaja matanya melihat secarik kertas yang ditindih gelas.
(Kamu gak suka masakan aku, kan? Makan di luar aja sama Arga.)
Ajun mengepalnya dan melempar asal. Di luar sana terdengar suara klakson mobil. Dengan cepat Ajun keluar, itu pasti kak Arga, pikirnya.
******
"Joko, kamu teh datang jam berapa? Pagi banget datangnya." Ujang menghampiri Jevran yang sudah berada di loker. Yang datang baru beberapa orang.
"Takut telat lagi. Nanti dimarahi sama Pak Jerry," ucapnya asal.
"Bagus. Itu teh namanya motivasi. Jarang loh ada orang kayak kamu. Dimarahi sama atasan tapi gak baper. Malahan semakin semangat kerjanya."
Jevran tersenyum tipis. Mana ada dia di marahi Jerry? Memangnya orang itu berani?
"Yasudah, ayo mulai kerja."
Seperti hari-hari biasanya, mereka kembali ke tugas masing-masing. Jevran sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya sekarang. Dia tidak lagi mengeluh setiap disuruh-suruh karyawan. Dan bagian buruknya adalah di marahi sampai dicaci-maki. Itu sudah biasa di telinganya.
"Joko! Sini!" Salah seorang karyawan memanggil Jevran.
"Iya, Pak. Ada apa?"
"Pak Jerry minta diantarkan dua kopi ke atas. Ada Pak Wilan. Kamu tau kan kakeknya bos kita?"
Jevran meneguk ludahnya kasar. "Bukanya itu tugas Ujang?"
"Ujang saya suruh ke fotocopy. Kamu aja sana. Jangan lupa ya."
Mau tak mau Jevran mengangguk. Ia pergi ke pantry dan membuat dua cangkir kopi. Semoga saja kakeknya tidak sadar dengan Jevran.
Setelah selesai Jevran langsung membawanya ke atas. Pintu ruangannya dijaga dua bodyguard. Jevran menunduk saat keduanya menatap Jevran seolah menelisik.
Tok...tok...tok...
"Masuk!" Terdengar suara Jerry di dalam sana.
Jevran masuk ke dalam. Ia merasakan suasana hening saat dirinya masuk. Jevran juga sadar dengan tatapan kakeknya. Dengan cepat Jevran menaruh dua cangkir kopi itu di atas meja.
"Ini, Pak. kopinya."
"Terimakasih."
"Kalau begitu saya permisi dulu." Jevran sedikit membungkuk dan pergi dari ruangan tersebut.
Setalah memastikan OB itu keluar, Wilan menatap Jerry. "Itu OB baru? Bukannya Ujang yang biasa masuk ke sini?"
"Iya, Kek. Dia baru beberapa hari masuk. Mungkin Ujang lagi sibuk, jadi dia yang antar."
"Jerry, kamu tau Jevran gak suka orang masuk sembarangan ke ruangannya. Ujang itu udah dipercaya sama Jevran."
"Maaf, kek. Nanti saya awasin lagi."
Di dalam hati Jerry berkata, 'padahal itu Jevran, kek.'
"Ngomong-ngomong soal Jevran, kamu sudah tau dia di mana?" Wilan meneguk kopinya.
"Belum. Tapi saya masih cari, kok."
"Kalau ada informasi yang kamu tau, tolong kasih tau kakek. Kakek kangen sekali dengan anak itu."
"Iya, kek."
*****
Tanpa terasa, hari sudah kembali sore. Syukurlah hari ini tidak ada masalah apapun di pekerjaannya.
'Semoga besok juga seperti ini,' batin Jevran melangkah dengan sekantung kresek berisi makanan yaang sempat dibelinya tadi. Di dalam rumah tidak terlihat ada Ajun. Tapi karena tv menyala, Jevran yakin anak itu ada di kamarnya.
Jevran membuka kresek tersebut dan mulai menyantap makanan di ruang tv. Tak lama terdengar pintu kamar terbuka. Jevran melirik sekilas Ajun yang keluar kamar.
"Kamu belum makan?" tanya Jevran kemudian memasukan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
"Belum."
"Mau?"
Ajun berdecak dalam hati. Tega sekali dia tidak dibelikan. Seharusnya tidak usah bertanya, langsung saja berikan. "Engga."
"Yasudah. Padahal ini enak."
Dengan sengaja Jevran memakannya seolah menggoda. Biar anak ini tau rasa. Dikiranya Jevran ini mudah di bodohi.
Krukk...
Suara perut Ajun berbunyi. Ajun menahan malu saat ini, sementara Jevran mati-matian menahan tawa.
"Yah, udah habis." Jevran menunjukan kotak nasinya yang habis.
Ajun mendengus kesal. "Jahat! Jadi aku beneran gak dibeliin?"
Jevran tertawa lalu mengeluarkan kotak satunya. "Nih, makan."
Ajun berbinar. Dengan cepat ia merebut kotak nasi itu dan memakannya dengan lahap. Ah, enak. Jevran tak bisa menahan senyumnya.
Tak lama pintu rumah dibuka. Jevran menoleh. Ternyata itu Naura yang datang. Kenapa sudah datang? Bukankah seharusnya besok?
"Ajun!" Naura berteriak.
"Kak Naura? Udah pulang?" Ajun melirik dengan mulut penuh makanan.
"Iya. Lagian acaranya udah selesai siang tadi. Eh, Joko. Ajun nakal gak selama ditinggal aku? Dia ngerepotin kamu ya?"
Jevran menahan senyum, sementara Ajun hampir menyemburkan makanan di mulutnya. 'Jangan sampai Kak Jevran ngadu sama kak Naura.'
"Dia ..." gantung Jevran.
"Dia nurut, kok," ucap Jevran. Diliriknya bocah di samping yang langsung menghela napas."Bagus deh kalau begitu.""Yaudah, kalau kamu udah datang aku pulang lagi ya.""Iya. Makasih ya, Jo."Jevran mengangguk. Ia pergi ke kamar untuk mengambil barangnya ada di sana. Naura juga mengantar Jevran sampai ke luar. Ternyata Jevran ini bisa diandalkan."Sekali lagi makasih, ya.""Sama-sama Naura. Ngomong-ngomong besok weekend, kamu ada acara?"Naura berpikir sesaat kemudian menggeleng. "Gak ada. Kenapa?""Jalan-jalan, yuk."Jevran menatap dirinya di cermin. Celana hitam dengan kemeja panjang putih yang dimasukan ke celana. Ia menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya. Senyuman terukir begitu saja. Memang pada dasarnya tampan, mau penampilan seperti apapun pasti tampan. Ah, percaya diri sekali.Hari ini Jevran akan mengajak Naura pergi ke beberapa tempat. Awalnya hanya ingin membuat pria bernama Arga itu cemburu, tapi entah kenapa sekarang Jevran terlihat excited. Rasanya seperti akan b
Untungnya, dia dapat menormalkan ekspresi. Tak lama, Jevran dan Naura memutuskan untuk pergi ke rumah makan karena lelah berlarian. Kali ini Naura yang memilih menu makanannya. Sayur asem, ikan asin, sambal, tempe, tahu, dan itu semua tidak familiar di lidah Jevran."Ayo makan." Naura melirik Jevran yang hanya menatapnya tanpa berniat ikut makan."I-iya."Jevran mengambil satu tempe. Dengan ragu ia menatap sambal berwarna merah yang membuatnya menggigit bibir. Naura tau keraguan Jevran mungkin takut karena sambalnya pedas. Tapi, bukankah itu memang makanan orang kampung? Bukan mengatakan Jevran kampungan, tapi Jevran memang dari kampung."Sambalnya gak pedes, kok. Atau kamu emang gak suka makanan ini?""Suka kok, suka."Mau tak mau Jevran mulai memakannya. Tidak terlalu buruk."Oh iya, gimana kerjaan baru kamu? Lancar, kan?" tanya Naura."Lancar. Mereka juga baik sama aku.""Bagus, deh. Kalau ada yang berani sama kamu selama di Jakarta, jangan diem aja. Coba deh penampilan kamu dir
Untungnya tidak ada yang menyadarinya. Gadis bernama Aurel itu berani sekali berkata seperti itu, dengan mengatasnamakan Jevran sebagai bos.Dia pikir dia siapa?"Maaf, Pak. Ini teh ada apa?" tanya Ujang yang datang menghampiri mereka. Keributan itu mengundang beberapa para pekerjanya untuk menyaksikan hal tersebut. Sama dengan Ujang yang melihat teman kerjanya berurusan dengan orang penting."Ini, teman kamu tolong dikasih tau. Dia hampir buat Pak Wilan celaka," kata Lian.Ujang sedikit membungkuk. "Maafin Joko atuh, Pak. Dia teh OB baru, saya janji bakal awasi dia. Tapi tolong jangan dipecat ya.""Lain kali kerja yang bener. HRD di sini mana? Bisa-bisanya terima orang kerja kayak gini. Seenggaknya penampilan harus menarik, lah. Atau kerja yang bener."Kebetulan sekali HRD yang dimaksud juga ada di sana. Dia baru saja keluar dari pantry untuk membuat kopi. "Maaf sekali tapi Pak Jerry sendiri yang menyarankan, karena memang kami sedang butuh OB secepatnya.""Jerry lagi? Kayaknya dia
"Berarti benar itu ulahnya Pak Arga, bukan saya," kata Jevran."Tapi kenapa dia ngerjain kamu? Dulu yang masalah kopi itu, Pak Arga juga pelakunya. Memangnya kalian teh saling kenal? Sepertinya dia punya dendam sama kamu.""Mana saya tau Ujang. Saya baru di sini.""Iya, sih. Tapi lain kali hati-hati. Kamu teh sampe dimarahi tadi."Jevran menggaruk kepalanya. "Itu kan gak sengaja. Ngomong-ngomong, perempuan tadi tuh siapa? Galak banget.""Dia teh, neng Aurel. Anak dari pemilik perusahaan Wibisana. Emang orangnya teh galak, terus mulutnya pedes banget.""Katanya itu calon tunangannya Pak Jevran. Menurut kamu mereka cocok?" tanya Jevran lagi."Ih, kalau menurut saya mah engga. Yang satu galak, satunya lagi galak. Kalau bisa mah semoga istrinya Pak Jevran nanti orang baik. Bisa merubah sikap Pak Jevran yang kalo ngomong nyerocos."Jevran menahan tawanya. Apa selama ini dia terlihat galak di amata karyawan? Sepertinya banyak karyawan yang berpikir lebih tentang dirinya. Mungkin dengan ini
Jevran turun dari bus saat angkutan umum itu berhenti di halte bus yang dekat dengan rumahnya. Dengan langkah yang cepat Jevran melangkah pergi. Sesekali dia melirik ke belakang dengan cemas. Sejak pulang dari kantor, dia merasa diikuti. Tapi tak ada seorangpun yang terlihat mencurigakan.Lelaki itu mempercepat langkahnya. Takut jika ada orang yang memang menguntit, atau sudah mengetahui identitas Jevran. Saat berbicara dengan Jerry saja, Jevran merasa ada yang menguping di sana. Ini bahaya."Joko! Sini!" Naura yang berada di bawah pohon mangga berteriak dan melambaikan tangannya.Pria itu mengerutkan keningnya. Gadis itu sudah pulang bekerja? Tapi kenapa wajahnya terlihat murung? Tidak seperti biasanya yang selalu terlihat ceria. Karena rasa penasarannya Jevran menghampiri Naura yang duduk di rerumputan."Ada apa?""Duduk dulu!" Naura menarik Jevran duduk di sampingnya. Ikut bersandar di pohon mangga di pekarangan milik pria tersebut. "Kamu kenapa?""Aku dipecat," gumam Naura yang m
Ajun menunjuk keributan yang terjadi di sebrang jalan. Ada dua orang pria yang dikeroyok oleh 4 orang. Walaupun penerangan lampu jalan sedikit remang-remang, tapi Naura bisa lihat jika salah satu pria di sana ada seorang kakek-kakek."Ayo bantuin, Jun!""Tapi...""Buruan!" Naura menarik tangan sang adik.Mereka berdua berlari ke sebrang jalan. Jalanan di sini sepi, dan hanya satu dua kendaraan yang melewat. Kalaupun turun tidak mungkin, karena satu dari orang jahat itu memegang sebilah pisau. Naura menyimpan barang belanjaannya di tempat aman. Sebelumnya juga Naura mengantongi botol pepper spray yang selalu dibawa untuk jaga-jaga."Kalian beraninya main keroyok! Sini kalau berani!"Hening seketika. "Hei nona cantik, apa masalahmu? Daripada mengurusi kami, lebih baik bermain bersama kami nanti." Empat preman itu tertawa.Ajun yang tak terima kakaknya direndahkan, segar memukul orang yang mengatakan itu. "Jaga mulut lo!"Keributan itu kembali terjadi. Naura juga ikut menyerang salah sa
Jevran dengan cepat melihat ke tangannya yang memiliki luka. Ah, ini ternyata. Mau bagaimanapun juga lama-lama identitas aslinya akan ketahuan. Jevran tau itu. Tapi tak pernah mengira jika akan terjadi secepat ini."Okey aku nyerah. Ini emang aku." Jevran melepas kacamatanya dan duduk di samping sang kakek."Bagus.""Sekarang mau kakek apa? Aku balik lagi ke rumah? Gak akan. Kecuali kalau perjodohan itu batal."Wilan bersedekap dada. "Bukan itu. Kamu kalau mau pergi dari rumah, bisa pergi ke luar negeri atau kemana pun dengan uang kamu. Tapi kenapa harus jadi anak kampung seperti ini? Kamu bahkan bekerja sebagai OB di perusahaan mu sendiri. Untuk apa?""Emangnya kenapa kalau aku begini?""Kakek tau kalau kamu direndahkan orang-orang.""Tapi aku merasakan apa yang dirasakan para pekerja di sini. Aku bisa tau keluh kesah mereka selama kerja di sini. Aku gak masalah. Awalnya mungkin aku gak suka, tapi aku banyak belajar dari sini."Di tengah itu, Jerry hanya menyimak perdebatan kecil ant
Bjjnb"Papa?" Naura menghampiri pria yang dipanggilnya Papa itu dan memeluknya erat. Begitu juga dengan Ajun yang ikut memeluk."Kenapa kalian bisa datang samaan?" tanya Naura lagi."Papa sama Rival udah janjian untuk pulang sama-sama. Untungnya hari ini kita gak kena macet, jadi bisa datang lebih awal."Pria di samping itu terkekeh pelan. Dia adalah Rival, anak pertama di rumah ini. "Keliatan banget kalian berdua kangen sama Abang.""Idih, PD banget!"Ditengah pertemuan itu, Arga dan Jevran masih sama-sama berdiri di belakang. Arga memang sudah kenal dengan Ayah dan Kakaknya Naura. Namun, Jevran sendiri sudah bisa menebak ketika melihat kedekatan gadis itu dengan dua orang di depannya."Lo ngapain di sini? Masih berani deketin Naura?" tanya Rival melihat Arga. Jangan salah, dia sudah tau kalau Arga ini menyukai adiknya. Namun tetap saja Rival akan terus mengulang bahwa Naura tidak boleh pacaran. Meskipun dengan embel-embel sahabat seperti Arga sekarang."Cuma main, Bang. Lagian ini a