Share

6. Si Jambul

Author: Donat Mblondo
last update Last Updated: 2024-05-01 08:46:11

"Akhirnya ... ada yang datang setelah 8 tahun aku terkurung!" ucap seorang pria paruh baya berwajah hancur yang terbelenggu rantai emas di dalam sebuah jeruji.

"Suara itu, berasal dari Anda?" tanya Qu Cing kepada orang itu. Ia menggenggam erat tongkat saktinya dan melangkah mendekati jeruji. Saat Qu Cing menggerakkan tangannya hendak menyentuh jeruji, pria itu melarangnya.

"Jangan sentuh! Jeruji itu diselimuti oleh kekuatan spiritual api. Tanganmu akan terbakar jika menyentuhnya dengan tangan kosong!"

Seketika, Qu Cing menarik kembali tangannya dan berkata, "siapa Anda sebenarnya?"

"Aku adalah pemimpin Perguruan Long Ji, Nie Lee Phi. Kau bisa memanggilku Nie Lee," balas pria itu.

"Ti-tidak mungkin!" Wajah Qu Cing berkerut. Anak itu merasa bahwa ia tidak boleh gegabah dan percaya begitu saja kepada seseorang yang baru dikenalnya.

Pria berwajah hancur itu tampak menghembuskan napas berat. "Aku tau. Tidak mudah untuk percaya!" Suara pria itu menjadi pelan dan sangat lembut.

"Delapan tahun yang lalu, aku ikut hadir untuk mempertahankan wilayah inti dari jajahan ras iblis dan ras siluman. Aku kembali dengan luka yang cukup parah. Di tengah perjalanan sebelum aku sampai di Perguruan Long Ji, aku bertemu dengan wakil perguruan, Ben Cong. Aku tidak menyangka, bahwa Wakil begitu picik." Sejenak, pria itu terdiam dan menarik napas.

Setelah aliran napas terhembus, pria itu melanjutkan obrolannya. "Wakil Ben Cong berselisih denganku. Dia billang, tidak seharusnya aku mencampurkan adukan murid-murid yang terbelakang dengan murid-murid berbakat. Dia sangat bertentangan denganku. Moment itu adalah keuntungan baginya karena aku masih dalam keadaan terluka parah. Dia menyerangku, menghancurkan seluruh tubuhku hingga sendi-sendi spiritualku terputus. Kemudian, dia mengurungku di tempat ini. Dan kau adalah orang pertama yang berhasil menemukanku setelah delapan tahun ini."

Qu Cing masih terdiam mendengar cerita orang itu. Dia berpikir dan menganalisa bahwa apa yang diucapkannya bukanlah suatu kebohongan. "Jika sendi-sendi spiritual Anda telah terputus, bagaimana Anda bisa menggemakan suara hingga dapat menuntunku sampai ke hadapan Anda?"

"Haha. Tidak hanya berbakat, ternyata kau sangat cerdik dan juga teliti! Aku memanfaatkan ilusi mantra angin yang dibuat oleh wakil perguruan pada tiang bendera putih gubuk ini, untuk mengelabui orang-orang perguruan. Aku juga memiliki cermin kecil ajaib yang terbuat batu spiritual putih. Cermin ini bisa memperlihatkan keadaan sekitar dengan batasan tertentu. Kecerdikanmu lah yang telah membawamu ke sini. Jika kamu anak yang bodoh, kamu pasti akan pergi ketakutan dan mengabaikan suara ini," jelas pria itu.

"Tidak. Itu karena aku terlalu pasrah dengan diriku sendiri. Aku adalah murid paling terbelakang di Perguruan Long Ji yang sering ditindas dan diperlakukan dengan sangat buruk. Aku tidak peduli meskipun aku akan mati karena mengikuti suara yang Anda buat. Semalam, aku hanya beruntung karena mendapatkan benda pusaka, sehingga bisa mencapai titik ini," sanggah Qu Cing.

"Benda pusaka? Apakah yang kau maksud adalah tongkat sakti milik Sun Ji Gong?"

"Oh, Anda tau itu?!"

Pria itu tersenyum. "Tongkat itu tidak akan memilih tuan dari seorang pecundang yang tidak memiliki dedikasi. Itu artinya, tongkat itu mengetahui bakat terpendam dalam dirimu yang bahkan kau sendiri tidak mengetahuinya. Kau benar-benar anak berbakat yang dipilih secara khusus olehnya."

"Hah!" Lanjutnya mendengus. "Kalau saja sendi-sendi spiritualku tidak terputus, aku akan menjadikanmu sebagai muridku satu-satunya."

Dahi Qu Cing mengernyit. Matanya menatap serius pria itu. "Anda memiliki pengetahuan yang luas. Itu adalah ide yang bagus. Meskipun Anda tidak bisa menggunakan kekuatan spiritual saat ini, aku akan berusaha mempelajari suatu herbal dan ramuan yang bisa memulihkan sendi-sendi spiritual Anda untuk balas budi atas pengajaran Anda."

Qu Cing menunjukkan buku yang ia bawa dari perpustakaan. "Seperti halnya dengan saat ini, beri tahu apa yang harus aku lakukan dan aku akan melakukannya!"

Sungguh Nie Lee Phi seperti menemukan sebuah harta karun senilai berlian. Dia merasa sangat beruntung bertemu dengan bocah itu. Tampak suatu ketulusan dari dalam hatinya untuk saling membantu.

Tiba-tiba, datang seekor burung kakak tua putih jambul kuning. "Ben Cong datang! Ben Cong datang!" ucapnya hinggap di sebuah meja kayu tua yang rapuh.

Nie Lee menyebut burung kakak tua itu si jambul. Burung itu adalah penyelamat dirinya dari kelaparan selama delapan tahun terkurung dalam gubuk. Setiap hari, si jambul datang membawakannya makanan, walau hanya sepotong apel atau sepotong pisang.

Setiap sepekan sekali, biasanya akan datang hujan. Air hujan tersebut meresap dan menetes pada atap tanah tempat Nie Lee berada sampai membentuk genangan air di hadapannya.

"Celaka! Dia pasti sadar karena pembatasnya telah dihancurkan! Jika dia menemukanmu bersamaku, dia pasti akan membunuhmu! Cepat sembunyi!" desak Nie Lee kepada Qu Cing karena khawatir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   126. Laron api

    “Sekarang! Tye, sendi! Jing, belenggu! Pien, tahan tanah!” teriak Qu Cing.Dalam beberapa detik, sisa jangkrik kristal satu per satu tumbang. Tak ada sorak. Hanya hembusan napas panjang serentak.“Suara mereka… seperti memukul otak,” keluh Jien Jing, memijit pelipis.“Jangan dengarkan,” sahut Qu Cing pendek. “Kerjakan tanganmu.”Ia jongkok. Dengan ujung tongkat, ia membelah dada salah satu jangkrik. Di dalamnya, berkilau butiran kristal merah kecil. Mirip pecahan batu dari serigala batu. Saat ia mendekatkan kantong berisi pecahan itu, kristal di tubuh jangkrik bergetar. Pecahan di kantong ikut bergetar.‘Dipanggil oleh pola yang sama,’ batin Qu Cing. ‘Ini bukan makhluk liar. Ada yang memainkan hutan.’Suasana kembali hening. Tapi hening itu tidak seperti istirahat, melainkan menunggu sesuatu. Pohon-pohon pinus berderak pelan, seolah angin tak lagi bertiup dari luar, melainkan dari dalam hutan sendiri. Kabut yang biasanya dingin perlahan berubah, membawa hawa hangat samar, seperti uap d

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   125. Jejak dalam kabut

    Hutan kembali tenang. Tenang yang membuat bulu kuduk berdiri.Asap tipis dari bangkai serigala batu merayap rendah, bercampur dengan kabut yang makin turun. Bau besi, tanah basah, dan getah pinus bersatu, menusuk hidung.“Bangun!” ucap Qu Cing pelan pada timnya. “Jangan duduk terlalu lama!”Mereka berdiri perlahan.Jien Jing masih menggenggam gulungan tanda, ujung kertasnya bergetar.Pien Duu mengatur napas dengan mulut setengah terbuka.Phi San memijit telinganya, berusaha meredakan denging yang belum hilang.Tye Luu menatap sekeliling tajam, hidungnya kembang-kempis membaca arah angin.Di seberang, murid kelas 4A ikut bangkit. Dua di antaranya masih limbung. Han Thu terdiam, menegakkan bahu yang sempat jatuh. Bara api kecil menari di ujung jarinya, seolah ia takut terlihat lemah jika memadamkannya.“Posisi tetap,” kata Qu Cing. “Kita bertahan sampai matahari turun.”“Jangan memerintah kami!” dengus Han Thu. Tapi ia juga tidak bergerak pergi.‘Bagus. Diamlah di sana!’ batin Qu Cing. I

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   124. Sesosok berjubah

    Serigala batu itu akhirnya roboh dengan auman terakhir. Tubuh hitam kelamnya retak, pecah jadi puluhan bongkahan yang menyebar ke tanah. Cairan hitam yang menetes dari mulutnya mengalir, membakar rumput liar hingga layu seketika. Hutan mendadak hening.Asap tipis naik perlahan di antara pohon pinus, melayang bersama kabut pagi yang semakin menebal.Murid-murid kelas 4F jatuh terengah. Jien Jing terperosok ke tanah, tangannya gemetar. Pien Duu menahan lutut, napasnya berat. Phi San langsung rebahan, menepuk dadanya keras-keras.“Kalau satu serangan lagi…” Jien Jing bersuara lirih, “kita pasti habis.”Phi San mencoba bercanda meski wajahnya pucat. “Untung cairannya baunya kayak kotoran busuk. Kalau tidak, aku sudah pingsan sejak tadi.”Yang lain mendecak kesal, tapi sedikit lega.Tye Luu menarik napas panjang. Suaranya pelan, hampir berbisik, “Kita masih hidup. Itu yang penting.”Di depan mereka, Qu Cing tetap berdiri tegak. Tongkat sakti tertancap di tanah. Ia tidak bicara, hanya menata

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   123. Serigala batu

    Dari balik kabut, suara tawa pelan terdengar. “Kelas F… kalau tidak punya perisai, bagaimana caranya pulang?”Han Thu muncul di antara dua batang pinus. Tiga murid kelas 4A berdiri di sisinya. Api kecil menari di sekeliling tubuh mereka, membuat udara panas bergetar. Daun-daun kering di tanah meretak dan menjauh sebelum sempat menyentuh bara.Jien Jing maju setengah langkah, wajahnya merah padam. “Kau—”“Diam,” potong Qu Cing datar. Ia melangkah ke depan, berdiri di barisan terdepan. Tongkat saktinya miring di samping tubuh, tampak seperti kayu biasa.Han Thu tersenyum, tatapannya tajam. “Aku hanya ingin membantu. Ujian bertahan hidup itu berat. Bagaimana kalau kubantu kalian pulang lebih cepat?”Di ujung jarinya, bola api kecil berputar, menyala merah menyilaukan. Panasnya membuat udara di sekitar bergelombang.Tanda Penjejak Getar di kaki Qu Cing berpendar samar. Ada dua langkah berputar dari kiri, satu lagi mendekat dari kanan. Mereka mengepung.‘Api di depan, tebasan dari samping,

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   122. Hutan Pelatihan

    Mereka pun tiba di Hutan Latihan. Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan tinggi. Suara burung bercampur dengan desiran angin pagi. Bau tanah basah naik dari akar-akar yang mencuat, menyatu dengan aroma daun pinus yang tajam.Murid-murid kelas 4F berdiri dengan wajah tegang. Jia Gong An menatap mereka satu per satu.“Hari ini kalian akan membentuk tim. Setiap tim harus bertahan sampai matahari terbenam. Aturannya sederhana: gunakan tanda untuk bertahan hidup. Kalau tidak… ya, terserah nasib kalian.”Nada suaranya tegas, namun ada jeda tipis di antara kata-katanya. Seolah ia menahan sesuatu di dalam hati. Matanya beralih dari wajah pucat Tye Luu, tangan gemetar Jien Jing, hingga Phi San yang pura-pura tersenyum.Dalam tatapan dinginnya tersimpan bayangan rasa khawatir. ‘Anak-anak ini… jika mereka hanya dianggap murid gagal oleh dunia luar, maka akulah satu-satunya yang harus memastikan mereka pulang dengan selamat.’Sesaat, jemarinya yang menggenggam gulungan bambu bergetar ringan.

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   121. Riak dalam perguruan

    Malam berakhir…Setelah tubuh bayangan terakhir membeku di genteng, Nie Lee menepuk pundak muridnya.“Cukup untuk malam ini. Kau butuh istirahat, Qu Cing.”Qu Cing mengangguk pendek. Tatapannya masih dingin, namun langkahnya ringan saat ia kembali ke asrama.Di kamar yang sepi, ia merebahkan diri di atas dipan kayu yang dingin. Langit-langit kusam menatapnya kosong, sementara pikirannya berputar: wajah Jun Jung, tongkat sakti yang memilihnya, dan bayangan hitam yang mati tanpa sempat bicara.Matanya akhirnya terpejam. Tidurnya tidak tenang, bayangan cahaya dan kegelapan saling berbenturan di kepalanya. Seolah dunia tengah menyiapkan beban baru di pundaknya.Pagi tiba…Mentari terbit perlahan di balik timur. Sinarnya menyusup lewat celah pepohonan rindang yang mengelilingi Perguruan Long Ji. Embun masih menempel di dedaunan, menetes ke tanah basah, menebarkan aroma segar.Qu Cing berdiri di pelataran barat. Tongkat sakti tertancap di tanah di sampingnya. Matanya terpejam, napasnya tera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status