Jo membolak-balik kumpulan artikel milik Lysis. Ada banyak catatan dan coretan yang menyoroti satu dua kalimat di dalam berita yang berkaitan dengan gejala akibat serangan Draconian. Beberapa berita terlihat biasa, hal-hal sepele yang tidak dipedulikan orang. Hewan peliharaan yang hilang, kejadian supranatural aneh yang tak masuk akal. Bahkan Jo pun akan mengabaikan berita-berita seperti ini. Namun setelah membaca catatan yang Lysis berikan di samping berita itu, Jo menyadari ada fakta penting yang tersembunyi. Fakta tentang keberadaan Draconian.
Jo tak menyangka ada begitu banyak berita yang mengindikasikan keberadaan Draconian. Bagaimana mungkin, ia yang seorang Archturian tidak menyadari hal ini?
“Apa kalian sudah menceritakan hal ini kepada ayahku?”
“Tidak.”
“Belum.”
Gemma dan Lysis menjawab nyaris bersamaan. Mereka saling bertukar pandang. Gemma mengangkat kedua tangan dan meletakannya di pinggang sembari memberi tatapan membunuh pada Lysis.
“Belum? Apa maksudmu belum?” selidik Gemma. “Kau bermaksud memberitahu Paman Jonah?”
Lysis tergagap. Matanya melirik cemas ke segala arah. “Ak—bukan itu… maksudku—“
“Bukankah kita sudah sepakat?? Kita tidak akan memberitahukannya kepada siapapun, terutama kepada para Archturian!”
“Hey,” potong Jo, “kau baru saja memberitahu hal ini padaku.”
Gemma mengerling ke arah Jo dengan pandangan menusuk. “Aku memberitahumu sebagai seorang sahabat, bukan prajurit. Lagipula aku tak pernah benar-benar menganggapmu Arcthurian.” Gemma mengulum bibir. “Setidaknya setelah semua kejadian itu.”
Gemma melipat tangan di depan dada dan mulai mengomeli Lysis soal pelanggaran kesepakatan dan etika perjanjian.
Jo mengerti mengapa Gemma tidak mau berurusan lagi dengan Archturian. Ada banyak trauma yang Archturian tinggalkan untuknya. Soal Maya dan Michael. Rahasia-rahasia yang disembunyikan oleh Michael selama ini membuat Gemma mempertanyakan seluruh hidupnya. Walau Gemma kelihatan baik-baik saja, Lysis sering bercerita pada Jo bahwa dia beberapa kali mendapati Gemma melamun hingga berjam-jam sembari memandang ke jalan. Atau Gemma yang terbangun di tengah malam karena mimpi buruk.
Hubungan Gemma dengan Jonah, ayah Jo, juga tidak bisa dibilang baik-baik saja. Semenjak kejadian itu, di malam Michael meninggal, Jonah berada dalam posisi sulit. Ia harus menjelaskan apa yang terjadi kepada para petinggi Archturian, dan di saat bersamaan dia harus menyembunyikan fakta mengenai Gemma dan Lanaya. Jonah mempertimbangkan skenario terburuk jika Archturian sampai tahu bahwa tubuh Gemma pernah menjadi tempat tinggal jiwa alien.
Sikap melindunginya membuat Jonah menjaga jarak dengan Gemma. Jonah bahkan memutuskan untuk pindah dari sini, setelah belasan tahun mereka bertetangga. Sebelumnya Jonah memang sempat membantu mengajar di kelas persiapan milik Gemma, tetapi hanya satu kali. Setelah itu dia menolak untuk datang lagi.
Semua tindakan Jonah terdengar sangat mulia. Ya, memang. Dia melindungi anak dari almarhum sahabatnya. Hanya saja, Gemma tidak mengetahui semua itu. Yang Gemma tahu adalah Jonah menjaga jarak karena tidak mau berurusan dengan Gemma lagi. Gemma mengira bahwa Jonah tak mau direpotkan dengan keberadaannya.
Jonah sengaja tak mengatakan hal itu kepada Gemma. Dia juga tidak menceritakannya pada Jo. Jo mengetahui hal itu dari Sarah. Sarah yang tak bisa mengontrol mulutnya itu mencecar segala keputusan Jonah, membuat Jonah tersudut dan tak punya pilihan lain selain menceritakannya pada Sarah. Namun Jonah menyuruh Sarah bersumpah untuk tidak menceritakan hal itu pada Gemma.
“Jo tidak pernah merahasiakan apapun dariku!” teriakan Gemma membuat Jo tersentak dan sadar dari lamunan. Jo mengerjap dan memandang bingung ke arah Gemma.
“Ya kan?” tanya Gemma, setengah mendesak. “Kau tak pernah merahasiakan apapun dariku, kan?”
Jo menelan ludah. Ia baru saja memikirkan soal rahasia yang Jonah simpan. “Ya,” jawab Jo ragu. Suaranya bergetar dan ia tidak memandang Gemma saat mengatakan ‘ya’.
Gemma mengerenyit. Tentu saja dia curiga.
Jo menahan napas dan menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Jadi, apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Dia duduk di lantai sembari menyilangkan kaki, lalu kembali membolak-balik kumpulan artikel itu, mencoba mencari sesuatu yang bisa menarik perhatian Gemma.
“Awalnya kami berpikir untuk memulai penyelidikan sendiri,” kata Lysis.
“Tapi kami tidak punya uang untuk melakukan itu,” lanjut Gemma.
Jo menahan tawa. Tentu saja. Untuk pergi menjelajahi tempat-tempat yang disebutkan dalam berita ini, mereka membutuhkan uang. Dan hal itulah yang menjadi masalah utama hidup mereka sekarang. Mereka tidak punya uang.
Jo menutup buku itu dan memutar tubuh agar bisa melihat Gemma yang berdiri di sampingnya. “Bagaimana jika aku membantumu?” tawar Jo. “Kebetulan mulai lusa aku akan pergi ke beberapa tempat yang disebutkan dalam artikel. Aku bisa menggunakan waktu kosong untuk pergi menyelidikinya.”
Gemma merengut. Dia kelihatan tak setuju. “Aku tidak mau ada Archturian yang terlibat.”
Jo mengangkat satu tangan dan mengacungkan jari telunjuk serta jari tengah. “Aku berjanji tak akan mengatakannya pada siapapun.”
Gemma menatap Jo untuk sejurus lamanya, ketidakpercayaan masih bergelanyut di matanya. Kemudian dia berbalik menuju ke sofa dan menghempaskan tubuhnya di sana. Gemma kembali menatap Jo sembari memiringkan kepala dan melipat tangan di depan dada.
“Apa kau yakin tidak akan ada Archturian yang tahu?”
“Tentu saja. Aku sudah biasa berpergian sendiri. Tidak akan ada yang curiga.”
Gemma mengembuskan napas panjang. “Baiklah,” katanya kemudian. “Tapi—“ Gemma menunjuk Jo dan menyipitkan mata, “kau harus memberi laporan secara rutin padaku.”
“Dan aku,” sahut Lysis.
Gemma dan Jo mengalihkan pandangan pada Lysis. Dia balas menatap mereka dengan bingung. “Hey! Aku yang mengumpulkan artikel-artikel itu! Aku berhak tahu!”
Gemma menarik napas, bersiap mengatakan sesuatu, tetapi mengurungkan niatnya. Dia hanya memutar mata lalu memejamkannya sembari memijat pelipis dengan satu tangan.
Jo ingin menjelaskan pada Lysis bahwa memberi laporan pada Gemma sama saja dengan memberi laporan padanya. Namun Jo enggan unutuk menjelaskan hal sederhana seperti itu pada seorang alien, jadi dia memilih diam dan membiarkan Lysis dengan asumsinya sendiri. Jo mengerling ke arah jendela dan menyadari kalau malam semakin larut. Dia lalu melihat ke arlojinya dan berkata, “Aku harus pergi. Kereta terakhir berangkat setengah jam lagi.”
Gemma membuka mata dan kini pandangannya berubah sedih. Matanya menatap nanar pada Jo. “Kau… kau bisa tidur di kamarmu yang dulu. Belum ada orang yang menyewa lantai atas.”
Jo menggeleng. “Aku ada apel pagi besok.”
“Baiklah,” sahut Gemma lemah.
Gemma mengantarkan Jo sampai ke pintu depan, sementara Lysis menyimpan buku kumpulan artikel miliknya.
“Hey,” panggil Gemma saat mereka berdiri di ambang pintu. “Soal… ehm… perubahanmu,” ucap Gemma hati-hati. “Apa kau merasakan sesuatu yang aneh? Maksudku… mungkin saja Anugerah dari Lanaya membuatmu berubah atau kau jadi memiliki kekuatan sepertiku dulu—“
Jo menggeleng. “Tidak ada apa-apa.” Dia mengangkat tangan dan mengacak-acak puncak kepala Gemma. “Bukankah kau sudah menanyakannya berulang kali?”
Gemma menepis tangan Jo dan mencengkeramnya kuat-kuat hingga Jo mengaduh. “Aku hanya khawatir padamu,” tukas Gemma. “Kau harus berjanji padaku. Jika terjadi sesuatu, aku adalah orang pertama yang harus kau beritahu. Oke?”
Jo menatap Gemma dengan penuh rasa sayang. Dia ingin sekali membawa Gemma pergi dari sini, membiayai hidupnya dan mencarikannya pekerjaan di Ayria atau Meubena. Namun Gemma menolak. Dia berkata kalau dia tak mau merepotkan Jo. Dia juga mempertimbangkan nasib Lysis. Tidak mungkin Gemma meninggalkannya seorang diri.
“Aku pergi dulu,” ucap Jo. “Jaga dirimu.”
“Jaga dirimu,” balas Gemma, sembari menepuk lengan Jo kuat-kuat.
Jo menuruni tangga dan melangkahkan kaki di sepanjang trotoar rusak. Dia menembus malam menuju ke stasiun, dengan pikiran yang penuh oleh berbagai masalah.
*
Pengejaran yang Gemma dan Lysis lakukan membawa mereka ke pusat keramaian Ulyos. Sebelum terjadi serangan Draconian, sepertinya tempat ini dipadati oleh penduduk Ulyos yang ingin menghabiskan malam hari di ruang terbuka.Jajaran kios penjual makanan memenuhi sisi jalan. Banyak kendaraan terparkir di beberapa titik dan sampah dari bungkus makanan, yang masih terdapat makanan di dalamnya, berserakan di atas aspal. Masih ada orang-orang yang berlari menuju ke tempat evakuasi. Mereka berteriak histeris ketika melihat Pelayan terbang ke arah mereka dengan pedang di tangan.Gemma mengangkat tangan dan menembakkan energinya kepada Pelayan, yang berhasil ia hindari dengan mudah.Pelayan pun berbalik dan turun. Ia berjalan cepat ke arah Gemma lalu mengayunkan pedangnya, tetapi Lysis dengan sigap menangkisnya dengan tombak.“Hentikan!” bentak Lysis. “Kami bukan musuh!”Pelayan tersenyum mengejek. “Pengkhianat,” katanya. &l
Ulyos dalam keadaan kacau balau ketika Gemma dan yang lainnya tiba. Mobil Jo hanya bisa melaju sampai di pinggir kota. Jembatan yang menuju ke Ulyos nyaris hancur dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. “Seperti menyaksikan hari kiamat,” gumam Jo ketika mereka bertiga turun dari mobil dan berdiri di tepi jembatan yang separuh runtuh. Ada keheningan yang ganjil di tengah kota yang porak poranda itu. Padahal Gemma baru mendatangi kota ini beberapa jam yang lalu, tetapi apa yang ia saksikan sekarang sama sekali berbeda dari ingatannya tentang tempat ini. Saat mereka bertiga berjalan lebih jauh ke pusat kota, Gemma menyadari keanehan apa yang sedari tadi ia rasakan. Kota ini terlalu sunyi. Dengan kehancuran di sana-sini, mayat-mayat kering yang menghitam bergelimpangan di tepi jalan, dan aura gelap yang pekat dan menyesakkan. Tak ada pertempuran. Tak ada Draconian melawan Archturian. Lysis berlutut di satu kaki untuk mengambil sesuatu dari jalanan. Serpih-serpih hitam yang sek
Setelah memerintahkan para prajurit Alkalurops untuk membereskan kekacauan dan memastikan semua orang yang terluka mendapat pertolongan medis, Nero menemui Chastity di kantornya. Ketika Nero masuk, wanita itu sedang menelepon seseorang.Sepertinya dia tengah melaporkan kejadian ini ke para petinggi Archturian.Chastity langsung mengakhiri panggilannya begitu melihat Nero.“Kau memperbolehkan seorang pelaku kriminal pergi,” tudingnya. “Bersiaplah karena sebentar lagi para petinggi akan memanggilmu. Jangan salahkan aku jika kau kehilangan pekerjaan.”Ancaman dengan membawa-bawa nama-nama penting itu terasa kosong di telinga Nero.Gemma tidak mungkin mengamuk tanpa sebab.Sebenarnya Nero sudah merasa ada yang tidak beres semenjak kedatangannya semalam. Cara Chastity memperlakukan Gemma dan pandangan para prajurit lain terhadapnya.Terlebih setelah pembagian tugas kemarin, Nero semakin merasa tidak tenang.Meski begitu, Nero tak mungkin mengikuti Gemma di dalam misinya karena dia tidak ma
“Gemma, hentikan!” Teriakan dari suara yang begitu Gemma kenal menyentaknya. Masih dengan tangan teracung ke arah Chastity, Gemma menoleh dan melihat Jo berdiri beberapa meter darinya. Jo tidak terlihat marah padanya, dia justru… khawatir. Seperti yang selalu dia lakukan setiap kali Gemma terlibat dalam masalah. Melihat Jo membuat tangis Gemma nyaris meledak, tetapi dia tak akan menangis di depan orang-orang brengsek ini. Gemma menurunkan tangannya dan mematung. “Jonathan,” katanya lirih. Gemma sangat jarang memanggil Jo dengan nama Jonathan. Jika sampai dia melakukan itu, berarti situasinya sangat serius. Jo menghampirinya dengan langkah panjang dan mencengkeram pergelangan tangannya begitu ia sampai di dekat Gemma. “Ayo pergi,” ajaknya. Dia tidak menanyakan apa yang terjadi, tidak memarahi Gemma, tidak menceramahi Gemma soal tindakan sembrono dan perkelahian yang tidak perlu. Jo tahu Gemma tidak membutuhkan itu semua. Memang Jonathan yang paling mengerti Gemma. Gemma mengang
Tidak. Dia bukan Lanaya. Itu seorang laki-laki. Sesuatu bergerak di belakang laki-laki itu dan tampaklah seorang perempuan dengan rambut hitam yang menjuntai hingga ke bawah pinggang. Laki-laki itu menatap Gemma sejenak dengan mata peraknya yang tajam sebelum berkata, “Habisi dia.” Wanita di belakangnya mengangguk. Sekonyong-konyong munculah pedang di tangan wanita itu. Cahaya dan cara pedang itu menjelma dari udara mengingatkan Gemma akan tombak milik Lysis. “Tunggu sebentar—“ Namun kata-kata Gemma tenggelam dalam serangan yang wanita itu luncurkan dengan secepat kilat. Tak ada belas kasihan atau keraguan sedikitpun di kedua matanya yang berwarna merah seperti bintang yang terbakar. Pedang bercahaya emas itu hampir saja menembus jantung Gemma jika ia tidak segera menghindar. Gemma berkelit ke samping, menarik bahunya hingga ia berada dalam posisi miring dan tatapannya dengan wanita itu bertemu. “Aku tahu siapa kalian! Hentikan!” Gemma membentak, tetapi nada bicaranya yang kasa
Jantung Gemma berdegup kencang. Paru-parunya seperti mau meledak. Tangannya panas hingga mati rasa, dan kakinya kesemutan. Dia tak punya alasan yang bagus untuk meledakkan energinya sehingga dia tak punya pilihan lain selain menahannya dan membiarkan tekanan energi itu menghilang dengan sendirinya.Proses yang sangat menyiksa.Orang-orang yang tadi bersembunyi di bawah meja mulai keluar. Mereka tampak ketakutan dan sebagian besar dari mereka langsung meninggalkan tempat setelah memastikan keadaan telah aman.Sepertinya si bartender menelepon polisi karena tak lama kemudian Gemma mendengar suara sirene di kejauhan.Gemma berbalik untuk mencari bartender itu. Dia ada di sudut bar, dekat pesawat telepon. Gemma menghampirinya dan saat ia membuka mulut untuk berbicara, sesuatu mengalir keluar dari sudut bibirnya.“Miss,” sang bartender memanggilnya dengan raut wajah cemas. “Ada darah di mulutmu.”Gemma tak menjawab, hanya menyeka darah yang kini mengalir di dagunya dengan punggung tangan.