~HIATUS~ BUKU KEDUA DARI SERI THE ARC Buku pertama: The Arc: Elenio Dua tahun berlalu semenjak tragedi yang terjadi di Elenio. Gemma yang hidup di ambang kebangkrutan menerima tawaran dari Archturian untuk bergabung dalam divisi tak resmi mereka: Alkalurops. Alih-alih mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya, Gemma mengalami hal yang tidak terduga semenjak bergabung dengan Alkalurops; ia berulangkali melakukan kesalahan dan kehilangan kemampuannya dalam bertarung. Hal ini membuatnya mendapatkan hukuman dan harus kembali ke Fiend. Situasi semakin parah saat terungkap bahwa Draconian tidak benar-benar musnah dari Elenio… dan ternyata kekuatan Lanaya yang ada dalam diri Gemma tak sepenuhnya hilang. Mampukah Gemma mengatasi kekuatan yang perlahan menghancurkan dirinya? Dan bagaimana masa depan Elenio di tengah serangan Draconian yang semakin ganas?
View More“Selamat datang di dunia orang dewasa, Gemma.”
“Yeah… menyebalkan.”
Gemma dan Jo menempelkan botol bir satu sama lain, menimbulkan suara denting yang memecah kesunyian malam. Mereka duduk di tangga depan rumah sembari menyesap bir dan menikmati udara malam yang dingin.
Gemma menenggak birnya sementara Jo meletakkan botol dan meraup setangkup keripik kentang dari mangkuk.
“Jadi… usahamu tidak berhasil?” tanya Jo, sebelum memasukkan keripik-keripik itu ke dalam mulutnya.
Gemma sebenarnya enggan untuk membahas soal ini. Namun Jo sudah meluangkan waktunya yang padat untuk menemani Gemma melewati keterpurukan, jadi Gemma tak punya pilihan lain selain menceritakan kegagalannya.
Setelah sekitar satu tahun mencoba mendirikan kelas pelatihan untuk anak-anak yang ingin menjadi Archturian, Gemma gagal karena kebanyakan dari mereka tidak kembali setelah waktu percobaan gratisnya habis. Pemasukan yang ia peroleh tidak sebanding dengan biaya hidupnya dan Lysis. Ya, Lysis tidak bisa bekerja di tempat lain dengan wajah kriminalnya, kecuali dia melakukan operasi plastik. Dan itu butuh biaya besar.
“Ya,” jawab Gemma sembari memandangi label yang menempel pada botol bir. Dia mengulurkan tangan dan mengayun-ayunkan botol sementara dirinya memeluk lutut dan menyandarkan dagu di situ. “Ini tidak semudah kelihatannya. Menjalani hidup seperti ini.”
“Apa Michael tidak meninggalkan apapun padamu?”
Gemma menggeleng. “Setidaknya dia tidak meninggalkan hutang.”
Mengucapkan kata hutang membuat Gemma kembali teringat pada masa lalunya, dan apa yang sudah ia lakukan untuk melunasi hutang-hutangnya. Dengan menjual temannya sendiri. Gemma rasa dia tak akan pernah bisa menyingkirkan perasaan bersalah itu sampai kapanpun.
Seandainya ia bisa memutar waktu, dia akan menolak tawaran itu. Mungkin dengan begitu, Maya akan tetap hidup.
Gemma menyandarkan kepala menyamping agar bisa melihat Jo, kemudian dia tersenyum masam. “Pasti ada jalan keluar,” kata Gemma. “Ini bukan pertama kalinya aku hidup susah.”
Jo membalas senyuman Gemma dan menepuk punggungnya pelan. “Yeah,” katanya. “Kau pasti bisa.”
Namun Jo terdengar tak yakin dengan kata-katanya sendiri... dan Gemma pun begitu.
Dia tak punya keahlian selain bertarung dan suaranya yang lumayan. Gemma mencoba peruntungan dengan kembali menjadi penyanyi, tetapi tidak ada tempat di Fiend yang bisa menyalurkan bakatnya. Dengan kondisi keuangannya sekarang, Gemma tak mungkin kembali ke Ayria. Dia tak punya tempat tinggal di sana dan biaya hidup di ibukota jauh lebih tinggi ketimbang di kota menyedihkan seperti Fiend.
“Apa kau tahu sekarang perpustakaan daerah digunakan untuk apa?” tanya Gemma.
“Mereka menghancurkannya lalu membangun gedung baru. Tetapi aku belum mengetahui gedung itu akan digunakan untuk apa.”
Gemma mengembuskan udara melalui mulut, membuat rambut yang menutupi keningnya berterbangan. Setelah itu dia berdiri dan membersihkan bagian belakang celana pendeknya.
“Aku akan tidur. Dan mungkin besok, saat aku bangun, akan ada sebuah keajaiban,” ucap Gemma, sembari mencoba untuk tersenyum, membesarkan hatinya sendiri.
Namun tentu saja, Jo tidak mudah dibohongi. Dia telah mengenal Gemma hampir seumur hidupnya. Ada sengatan air mata yang mengancam keluar dari balik mata Gemma dan ia mati-matian menahannya agar tidak mengalir keluar.
Jo menatap Gemma untuk sejurus lamanya, kemudian menghela napas. “Yah… semoga saja.”
Gemma masuk ke rumah, lalu Jo menyusulnya dengan membawa botol bir dan mangkuk keripik.
Lysis tengah tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala.
Gemma mengambil remote dan hendak mematikan televisi saat judul berita yang tertulis di situ menarik perhatiannya.
PENEMUAN MAYAT YANG MENGERING SEPERTI MUMI DI ULYOS
Ulyos adalah nama kota yang terletak di daerah utara Elenio. Tempatnya berlawanan dengan Fiend.
Gemma terpaku ketika melihat sepotong tangan yang tidak tertutup sensor. Kulit tangan itu kering dan keriput, memang terlihat seperti mumi. Terdapat alur-alur hitam di sepanjang tangan itu, bagaikan pembuluh darah yang dialiri tinta. Jo yang menyusul Gemma tak lama kemudian, ikut terdiam melihat berita itu.
“Apakah kau punya pemikiran yang sama denganku?” tanya Gemma, setelah topik berita berganti.
Gemma mendongak dan memandang Jo, yang balas memandangnya.
“Ya,” kata Jo. “Tapi… apa itu mungkin? Bukankah Lanaya sudah memusnahkan semuanya?”
“Ya, aku pikir juga begitu,” Gemma menelan ludah lalu mengerling ke arah Lysis yang sedang tertidur, “aku berpikir begitu sampai Lysis mengatakan sesuatu… dan menunjukkan sesuatu.”
Kedua alis Jo mengerut hingga ujung-ujungnya nyaris bertaut. “Mengatakan dan menunjukkan apa?”
“Lebih baik kita bangunkan dia.”
Gemma meletakkan botol birnya ke atas konter dapur lalu menghampiri sofa tempat Lysis tidur dan menendangnya sekuat tenaga. Sofa itu bergeser, menimbulkan derit yang memekakkan telinga, dan membuat Lysis terlonjak. Dia berguling hingga terjatuh ke lantai dengan bunyi debam yang menyakitkan.
“Wow, wow, wow! Gemma! Tidak bisakah kau membangunkannya dengan cara yang lebih manusiawi?!” seru Jo. Dia memegang kepala dengan dua tangan karena terlalu terkejut.
“Aku sudah pernah mencobanya, Jo. Tidak berhasil,” sahut Gemma seraya melipat tangan di depan dada, menunggu Lysis berdiri. “Ini cara paling ampuh untuk membuatnya bangun.”
“Tuan Putri!” pekik Lysis, yang langsung berdiri. Kedua kakinya goyah dan kepalanya berputar seperti orang mabuk. “Tuan Putri! Saya tahu Anda akan kembali!”
Gemma menghampiri Lysis dan menamparnya. “Sadarlah, Lysis!” seru Gemma. “Lanaya sudah mati!”
Lysis mengerjap-ngerjapkan mata, nampak bingung dengan keadaan sekitar. Kemudian pandangannya berfokus pada Gemma dan bibirnya mencebik sedih. “Tuan Putri!” dia mengerang.
Gemma muak karena harus melihat rengekan Lysis setiap kali dia bangun tidur. Seolah ingatannya kembali ke masa dimana Lanaya masih hidup.
“Cuci mukamu dan kembali kemari,” perintah Gemma. “Aku tidak mau mendengar rengekan apapun saat kau kembali ke hadapanku.”
Dengan langkah gontai, Lysis menyeret kakinya menuju ke kamar mandi. Sekitar satu menit kemudian, dia kembali dengan wajah segar dan kedua mata yang sudah fokus sepenuhnya.
“Jonathan,” sapanya pada Jo.
Jo mengangguk, mengerling ke arah Gemma dan mengatakan ‘kau tinggal dengan orang aneh’ tanpa suara, lalu kembali memandang Lysis.
Gemma mengedikkan kepala ke arah Jo sembari berbicara kepada Lysis. “Tunjukkan padanya apa saja hal yang sudah kau temukan.”
Lysis terdiam dan berkacak pinggang. “Ini hanya dugaanku saja,” katanya. “Aku tidak ingin menimbulkan keributan atau—“
Gemma melotot dan berdecak kesal. “Bisa tidak, kau tidak banyak bicara dan tunjukkan saja padanya?”
Lysis mengangguk dan menghilang ke balik pintu yang menuju ke kamar Michael. Semenjak tinggal di sini, dia menempati kamar Michael. Gemma senang karena Lysis tidak mencoba mengubah atau menyingkirkan barang-barang ayahnya.
“Bagaimana bisa kau hidup satu atap dengan manusia seperti dia?” desis Jo, sembari menunggu Lysis keluar dari kamar.
Terdengar suara-suara gaduh dari dalam kamar, kemudian teriakan Lysis yang berkata, “Aku baik-baik saja!”
Gemma menghela napas panjang. “Dia bukan manusia,” balas Gemma. “Aku berpegang teguh pada kenyataan itu. Dia bukan manusia. Jadi aku bisa memaklumi semua tingkah bodohnya.”
Tepat setelah Gemma selesai mengatakannya, Lysis keluar dengan sebuah buku besar dan tebal. Beberapa kertas koran mencuat dari tepi-tepi buku itu. Dia melewati Gemma dan Jo, menuju ke meja di depan sofa dan meletakkan buku itu di sana.
Gemma dan Jo mendekat. Jo mencondongkan tubuh agar bisa melihat isi dari buku yang Lysis bawa, sementara Gemma hanya berdiri di dekat mereka sembari melipat kedua tangan.
“Ini,” kata Lysis, “adalah artikel yang aku kumpulkan semenjak kejadian itu.”
“Ini—“ Jo tidak meneruskan kata-katanya. Matanya sibuk menelusuri setiap judul berita yang ada di situ.
“Menurut Lysis,” kata Gemma, “Draconian belum musnah dari Elenio.”
*
Pengejaran yang Gemma dan Lysis lakukan membawa mereka ke pusat keramaian Ulyos. Sebelum terjadi serangan Draconian, sepertinya tempat ini dipadati oleh penduduk Ulyos yang ingin menghabiskan malam hari di ruang terbuka.Jajaran kios penjual makanan memenuhi sisi jalan. Banyak kendaraan terparkir di beberapa titik dan sampah dari bungkus makanan, yang masih terdapat makanan di dalamnya, berserakan di atas aspal. Masih ada orang-orang yang berlari menuju ke tempat evakuasi. Mereka berteriak histeris ketika melihat Pelayan terbang ke arah mereka dengan pedang di tangan.Gemma mengangkat tangan dan menembakkan energinya kepada Pelayan, yang berhasil ia hindari dengan mudah.Pelayan pun berbalik dan turun. Ia berjalan cepat ke arah Gemma lalu mengayunkan pedangnya, tetapi Lysis dengan sigap menangkisnya dengan tombak.“Hentikan!” bentak Lysis. “Kami bukan musuh!”Pelayan tersenyum mengejek. “Pengkhianat,” katanya. &l
Ulyos dalam keadaan kacau balau ketika Gemma dan yang lainnya tiba. Mobil Jo hanya bisa melaju sampai di pinggir kota. Jembatan yang menuju ke Ulyos nyaris hancur dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. “Seperti menyaksikan hari kiamat,” gumam Jo ketika mereka bertiga turun dari mobil dan berdiri di tepi jembatan yang separuh runtuh. Ada keheningan yang ganjil di tengah kota yang porak poranda itu. Padahal Gemma baru mendatangi kota ini beberapa jam yang lalu, tetapi apa yang ia saksikan sekarang sama sekali berbeda dari ingatannya tentang tempat ini. Saat mereka bertiga berjalan lebih jauh ke pusat kota, Gemma menyadari keanehan apa yang sedari tadi ia rasakan. Kota ini terlalu sunyi. Dengan kehancuran di sana-sini, mayat-mayat kering yang menghitam bergelimpangan di tepi jalan, dan aura gelap yang pekat dan menyesakkan. Tak ada pertempuran. Tak ada Draconian melawan Archturian. Lysis berlutut di satu kaki untuk mengambil sesuatu dari jalanan. Serpih-serpih hitam yang sek
Setelah memerintahkan para prajurit Alkalurops untuk membereskan kekacauan dan memastikan semua orang yang terluka mendapat pertolongan medis, Nero menemui Chastity di kantornya. Ketika Nero masuk, wanita itu sedang menelepon seseorang.Sepertinya dia tengah melaporkan kejadian ini ke para petinggi Archturian.Chastity langsung mengakhiri panggilannya begitu melihat Nero.“Kau memperbolehkan seorang pelaku kriminal pergi,” tudingnya. “Bersiaplah karena sebentar lagi para petinggi akan memanggilmu. Jangan salahkan aku jika kau kehilangan pekerjaan.”Ancaman dengan membawa-bawa nama-nama penting itu terasa kosong di telinga Nero.Gemma tidak mungkin mengamuk tanpa sebab.Sebenarnya Nero sudah merasa ada yang tidak beres semenjak kedatangannya semalam. Cara Chastity memperlakukan Gemma dan pandangan para prajurit lain terhadapnya.Terlebih setelah pembagian tugas kemarin, Nero semakin merasa tidak tenang.Meski begitu, Nero tak mungkin mengikuti Gemma di dalam misinya karena dia tidak ma
“Gemma, hentikan!” Teriakan dari suara yang begitu Gemma kenal menyentaknya. Masih dengan tangan teracung ke arah Chastity, Gemma menoleh dan melihat Jo berdiri beberapa meter darinya. Jo tidak terlihat marah padanya, dia justru… khawatir. Seperti yang selalu dia lakukan setiap kali Gemma terlibat dalam masalah. Melihat Jo membuat tangis Gemma nyaris meledak, tetapi dia tak akan menangis di depan orang-orang brengsek ini. Gemma menurunkan tangannya dan mematung. “Jonathan,” katanya lirih. Gemma sangat jarang memanggil Jo dengan nama Jonathan. Jika sampai dia melakukan itu, berarti situasinya sangat serius. Jo menghampirinya dengan langkah panjang dan mencengkeram pergelangan tangannya begitu ia sampai di dekat Gemma. “Ayo pergi,” ajaknya. Dia tidak menanyakan apa yang terjadi, tidak memarahi Gemma, tidak menceramahi Gemma soal tindakan sembrono dan perkelahian yang tidak perlu. Jo tahu Gemma tidak membutuhkan itu semua. Memang Jonathan yang paling mengerti Gemma. Gemma mengang
Tidak. Dia bukan Lanaya. Itu seorang laki-laki. Sesuatu bergerak di belakang laki-laki itu dan tampaklah seorang perempuan dengan rambut hitam yang menjuntai hingga ke bawah pinggang. Laki-laki itu menatap Gemma sejenak dengan mata peraknya yang tajam sebelum berkata, “Habisi dia.” Wanita di belakangnya mengangguk. Sekonyong-konyong munculah pedang di tangan wanita itu. Cahaya dan cara pedang itu menjelma dari udara mengingatkan Gemma akan tombak milik Lysis. “Tunggu sebentar—“ Namun kata-kata Gemma tenggelam dalam serangan yang wanita itu luncurkan dengan secepat kilat. Tak ada belas kasihan atau keraguan sedikitpun di kedua matanya yang berwarna merah seperti bintang yang terbakar. Pedang bercahaya emas itu hampir saja menembus jantung Gemma jika ia tidak segera menghindar. Gemma berkelit ke samping, menarik bahunya hingga ia berada dalam posisi miring dan tatapannya dengan wanita itu bertemu. “Aku tahu siapa kalian! Hentikan!” Gemma membentak, tetapi nada bicaranya yang kasa
Jantung Gemma berdegup kencang. Paru-parunya seperti mau meledak. Tangannya panas hingga mati rasa, dan kakinya kesemutan. Dia tak punya alasan yang bagus untuk meledakkan energinya sehingga dia tak punya pilihan lain selain menahannya dan membiarkan tekanan energi itu menghilang dengan sendirinya.Proses yang sangat menyiksa.Orang-orang yang tadi bersembunyi di bawah meja mulai keluar. Mereka tampak ketakutan dan sebagian besar dari mereka langsung meninggalkan tempat setelah memastikan keadaan telah aman.Sepertinya si bartender menelepon polisi karena tak lama kemudian Gemma mendengar suara sirene di kejauhan.Gemma berbalik untuk mencari bartender itu. Dia ada di sudut bar, dekat pesawat telepon. Gemma menghampirinya dan saat ia membuka mulut untuk berbicara, sesuatu mengalir keluar dari sudut bibirnya.“Miss,” sang bartender memanggilnya dengan raut wajah cemas. “Ada darah di mulutmu.”Gemma tak menjawab, hanya menyeka darah yang kini mengalir di dagunya dengan punggung tangan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments