“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”
Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.
“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.
“Jawabannya tetap tidak.”
“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”
“Tidak, James.”
“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”
“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”
“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Tanda tangani dokumennya sekarang,” suara bariton milik Adam itu terasa meluruhkan segenap tulang dalam tubuh Angelina—wanita berkulit putih gading—yang baru selesai menyeka air mata di kedua pipinya.“Dokumen?”“You know what they say, nothing in the world is free.”Kedua kaki Angelina bergetar sesaat setelah Adam mengucapkan kalimat yang membuatnya bingung, “Aku tahu, Tuan Ford. Maksudku, dokumen apa yang sedang kau bicarakan?”“Aku sudah membantu Rupert yang payah itu dari sem
Angelina pulang dengan kondisi linglung. Setelah melempar tubuh ringkih Rupert ke sofa double seater yang ada di ruang tamu flat sempit mereka, dia pun masuk ke dalam kamarnya—mengunci diri di sana—hingga matahari kembali tergelincir di ujung horizon dan menyisakan rasa sesak yang lagi-lagi memadati dadanya. Wanita itu terus terjaga sepanjang malam. Pikirannya kacau sekarang—lebih dari kacau malah, ayah sialannya itulah yang jadi penyebab atas semua kekalutannya.Angelina menengok sekali lagi ke arah jam dinding. Peranti penunjuk waktu itu berhenti di angka lima, tetapi warna kuning gading sudah muncul dan mencair di ufuk timur langit. Musim panas di San Francisco memang selalu menyenangkan. Namun, kini perasaan Angelina justru berbeda.
Kediaman Adam sukses membuat mulut Angelina melongo lebar. Bibirnya terbuka sejak tadi, seolah-olah dia kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara tiba-tiba. Kawasan Bittersweet Valley merupakan area wastu yang megah—mansion—yang hanya pernah dia lihat di kolom tabloid properti. Desainnya mengusung tema klasik modern. Halamannya dilengkapi taman luas dengan aneka ragam pepohonan yang ditata simetris serta helipad dan kolam renang yang ukurannya empat kali lipat lebih besar daripada kolam renang umum yang biasa wanita itu kunjungi di libur musim panas sewaktu sekolah.Angelina seketika disambut oleh sepuluh orang pelayan berseragam ala maid di depan gerbang. Mereka setengah membungkuk, lantas seseo
Angelina merupakan salah satu saksi bahwa sifat serakah dapat menyengsarakan siapa saja. Kini dia berjalan dalam lingkaran takdir yang diciptakan oleh Adam—bundaran tiada berujung yang memerangkapnya—hingga hari-hari ke depan. Wanita itu hanya tertidur selama tiga jam dengan antrean mimpi buruk yang selalu menghampirinya. Dia terbangun setelah meneriakkan nama Hannah—ibunya, lantas menangis di bawah lindungan selimut berbahan katun yang menutupi sekujur tubuhnya.Bulan Juli menjadi bulan terburuk sekaligus titik terendah dari hidup Angelina; bulan kelahirannya sendiri. Kadang-kadang dia bahkan berharap jika usianya akan memendek dari yang seharusnya dan menemui Hannah dengan cepat. Namun, kadang-kadang wanita itu juga berharap dia sanggup melalui segenap problematik yang melintang di hadapannya.Angelina duduk di pi
“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”