“Bagaimana masa residensimu?” Tania memotong wagyu steak-nya, sesekali mencuri pandang ke arah Ken, menikmati berapa indah siluet wajah yang berpadu sempurna dengan tubuh menjulang tinggi dan kulit bersih.
Mimpi apa Tania semalam hendak diperisteri sosok setampan ini?
“Ya, sejauh ini sih baik-baik saja, kau sudah berhasil melewatinya, bukan? Tentu kamu tahu betul bagaimana keadaanya.” Ken tersenyum, fokusnya hanya pada makanan yang ada di depannya, ditambah fokus mengingat kenangan bersama orang yang begitu dia cintai.
“Tapi spesialis yang kita ambil beda, Ken. Tentu pengalamannya lain, benar bukan?” Tania tersenyum, jujur ia lebih menikmati wajah di hadapannya daripada makanan lezat yang dia pesan ini.
Ken hanya tersenyum tipis, jujur ia jenuh, bosan dan sama sekali tidak tertarik dengan segala macam obrolan basa-basi yang sejak tadi diajukan sosok itu. Ternyata dia tidak hanya kurang pandai mer
Ken dengan gusar melangkah menuju ruangan sang papa, tangannya mengepal kuat, mata dan wajahnya memerah, tampak sangat jelas terlihat bahwa dia sangat marah sekarang.Begitu sampai di depan pintu itu, ia mengetuk pintu dengan sedikit keras, hingga terdengar suara jawaban yang Ken tahu betul itu suara papanya. Tanpa buang waktu lagi, Ken menekan knop pintu, tampak sosok itu tengah sibuk dengan laptop yang terbuka di depannya."Masuk Ken, ada angin apa yang membuat kamu datang menemui papamu?" Darmawan bergeming, tanpa menoleh dari depan layar dan tidak menyadari perubahan wajah sang anak."Apa yang sudah Papa lakukan?" Tanya Ken dengan suara meninggi, sebuah interupsi yang membuat Darmawan akhirnya mengangkat wajah guna membalas tatapan tajam Sang Putera."Tunggu, kamu tanya apa yang sudah Papa lakukan? Memangnya apa yang sudah Papa lakukan?" Darmawan tahu ini pasti ada hubungannya dengan gadis itu, bukan?"Kemana Elsa?
Elsa berdiri di depan gerbang rumah sakit sambil sesekali celingak-celinguk mencari keberadaan mobil Yosua. Laki-laki itu ternyata masih mau repot-repot mengantar dan menjemput dia dari rumah sakit, meksipun beberapa kali Elsa harus berangkat sendiri karena kedapatan shift mereka tidak bebarengan dan itu tidak menjadi masalah.Senyum Elsa merekah ketika mendapati Xpander silver itu berhenti tepat di depannya. Itu mobil Yosua! Elsa segera membuka pintu mobil dan duduk di jok bagian depan.Elsa benar-benar terkejut ketika sore itu ia mendapati wajah itu tampak lain dari biasanya. Elsa mengabaikan seat belt yang biasanya selalu Elsa raih pertama ketika masuk ke dalam mobil. Fokusnya tertuju pada memar biru keunguan di sudut bibir Yosua."Kenapa sampai begini?" Elsa memeriksa memar yang ada di sudut bibir Yosua, matanya memerah menatap bekas biru keunguan itu.Yosua tersenyum, meraih tangan Elsa dan meremasnya lembut, "Sudah lah, janga
Tania mengelus bibirnya perlahan-lahan, ingatan bagaimana tadi Ken mencium bibirnya dengan begitu lembut masih terngiang di dalam benak Tania. Ia sontak bersandar di jok mobil, tersenyum sambil memejamkan mata dengan wajah memerah.Jadi rasanya ciuman itu seperti tadi? Begitu lembut, manis dan begitu memabukkan!Tania membuka matanya, wajahnya memanas. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan yang terus menerus menganggu dirinya sejak tadi ia mengunjungi Ken di ruang residen laki-laki itu."Aku makin cinta sama kamu, Sayang!" Desis Tania lantas memasang seat belt-nya, menghidupkan mesin mobil dan langsung membawa mobilnya pergi dari halaman parkir.Kekecewaan Tania akan morbiditas yang Ken dapatkan menjelang pernikahan mereka sontak lenyap. Awalnya Tania ingin merajuk, di saat mereka tengah sibuk-sibuknya dan begitu repot mempersiapkan segala macam perintilan untuk rencana pernikahan mereka, Ken malah harus mende
Ken melepas handscoon-nya, ia baru saja beres mengasisteni dokter Anwar melakukan sectio caesarea. Ia melemparkan handscoon itu ke tempat sampah dan mendorong pintu dengan bahu. Matanya membulat ketika mendapati sosok itu tengah mencuci tangan, sebuah kebetulan, bukan? Yosua residen bedah, tentu akan sering sekali mereka saling bertatap muka seperti ini. Dan Ken rasa, ia harus memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Mencari tahu keberadaan Elsa, itu yang dia inginkan. “Mau masuk atau sudah selesai?” tanya Ken mencoba ramah kepada Yosua. Yosua mengangkat wajahnya, menatap Ken sekilas kemudian mengibaskan tangannya yang penuh air itu di wastafel. “Saya baru mau masuk, Dok.” Ken menatap sosok itu, bekas biru keunguan itu masih nampak, itu tanda bogem yang kemarin Ken layangkan pada Yosua, sebuah tindakan yang kemudian membuat dia terkurung selama tiga bulan di rumah sakit. “Saya minta maaf atas kejadian kemarin, Dok.” Ujar Ken lirih dan tulus.
Ken menghela nafas panjang, ia akhirnya sampai di depan pintu kamar apartemen miliknya. Morbiditasnya sudah usai dan kini dia sudah bebas dari kewajiban selalu stand by di rumah sakit tanpa pergi kemana pun. Ken menempelkan kartu akses kamarnya, menekan knop pintu dan masuk ke dalam. Unit apartemennya sudah begitu rapi, dan dia tahu betul siapa yang melakukan semua ini. Tania, bukan? Dia yang memegang kartu akses cadangan unit ini setelah Elsa melemparkan kartu itu pada Ken setelah kejadian malam itu. “Astaga,” Ken mendesis, ia menjatuhkan tubuh ke sofa, memijit keningnya perlahan-lahan. Elsa sama sekali tidak bisa dia enyahkan dari dalam pikiran dan hati Ken. Sama sekali tidak bisa meskipun sebulan lagi dia sudah harus menikah dengan Tania. Ken menghirup udara banyak-banyak, meratapi nasib yang selama ini selalu dia ratapi namun semuanya tetap saja tidak merubah apa-apa. Ken hendak bangkit ketika kamar itu terbuka, nampak Tania tersenyum manis dengan
Tania mengernyit pedih ketika hendak turun dari mobilnya. Area sensitifnya terasa begitu pedih efek pergumulan yang tadi dia dan Ken lakukan. Pernikahan mereka memang masih bulan depan, namun agaknya rayuan dan sentuhan Ken tadi benar-benar membuat Tania lupa diri. "Shit! Sakit banget!" Tania menyenderkan tubuhnya di jok mobil, memijit perlahan pelipisnya sambil memejamkan mata. Bayangan pergumulan mereka tadi kembali terlintas dalam benak Tania. Betapa lembut dan perlahan Ken menyentuhnya, betapa nikmat sensasi itu dia rasakan berpadu dengan pedih dan perih yang membelenggu dirinya. Dan sebuah fakta yang dia dapatkan bahwa ternyata dia bukan lah wanita pertama yang Ken sentuh dengan begitu indah. "Siapa wanita-wanita itu?" Mendadak Tania begitu penasaran. Seperti apa wanita yang sudah calon suaminya jelajahi, seperti apa mereka? Pasti lebih cantik dan menggoda, tidak seperti dirinya ini yang... Ahh! Tania benar-benar heran, kapan ji
Ken mencoba menjernihkan pikirannya. Sejak tadi hati kecilnya terus memaksanya untuk melarikan diri. Bahkan sejak kemarin sesuatu dari dalam dirinya itu terus berbisik menyuruhnya pergi dari kenyataan yang harus dia hadapi pagi ini.Ia sejak pukul enam pagi tadi sudah begitu rapi dengan setelan jas dan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Sepatunya kinclong sampai bisa ia gunakan untuk memantut diri. Sungguh semuanya sangat sempurna kalau saja wanita yang akan dia ajak berikrar di depan altar suci pernikahan nanti adalah Elsa Belvania Setiawan.Tampak Linda tersenyum, menempuk lembut pundak Ken yang sangat begitu gagah dengan kemejanya. Matanya berkaca-kaca menahan haru. Akhirnya Ken, anak nomor duanya ituk akan menikah juga.“Ma, Ken boleh kabur?” bisik Ken sambil menatap mata sang mama dengan seksama.Linda sontak melotot tajam mendengar apa yang keluar dari mulut Ken, ia sontak menimpuk punggung Ken dengan gemas.“Jangan macam-macam,
Tania meremas benda itu dengan ekspresi kecewa, sudah yang entah keberapa kali dia melakukan ini dan hasilnya benar-benar mengguncangnya begitu luar biasa. Apa yang salah? Dia merasa bahwa selama ini baik-baik saja dan tidak pernah menemukan ada yang aneh pada dirinya. Semuanya normal! Sebagai seorang dokter, walapun dia seorang radilog, tapi Tania tahu betul bahwa dia tidak memiliki masalah atau keluhan apapun pada organ reproduksinya.Sudah dua tahun dia resmi menikahi Ken, laki-laki yang kini sudah menjadi sah pula menyandang gelar spesialis kandungan. Sebagai isteri seorang dokter kandungan tentu sang suami memperhatikan dan memantau betul kesehatan organ reproduksinya, dan selama ini Ken bilang semua baik-baik saja, lantas kenapa garis ini tidak pernah bertambah? Kenapa selalu satu?“Sayang, kamu belum selesai?”Pintu kamar mandi terhempas, nampak Ken sudah berdiri dengan handuk yang melingkar di lehernya. Seperti biasa, sebelum berangkat prakte