TBE 07
Suara mobil yang memasuki pekarangan siang ini sontak membuatku mengintip dari balik gorden kamar yang tersibak. Secarik senyuman terukir di wajah saat melihat Farid dan Johan--adiknya-- turun dari mobil dan disambut hangat oleh Pak Tono dan Bu Ismi. Aku bergegas ke luar dan menghampiri kedua bersaudara itu. Menyalami dan memeluk mereka dengan setitik rasa rindu. Kami bertegur sapa selama beberapa detik, sebelum aku mengajak mereka memasuki ruang tamu."Ini, barang-barang yang kamu minta bawakan tempo hari," ujar Farid sambil mengulurkan sebuah tas travel biru tua yang cukup berat. "Thanks, Far. Ini akan sangat membantu," sahutku sembari membuka tas dan memeriksa isinya. "Lidya titip salam, To. Dia nggak bisa ikut ke sini. Maklum, bawaan bayi, masih mabuk," jelas Farid seraya mengulaskan senyuman lebar. Lidya adalah saudara sepupu, sekaligus satu-satunya kerabat yang terdekat denganku saat ini. Ayahnya merupakan adik kandung dari almarhumah ibuku. Sejak ibuku berpulang sepuluh tahun silam, orang tua Lidyalah yang mengambil alih tanggung jawab untuk merawatku. Mereka terpaksa harus melakukan itu, karena ayahku sudah menghilang sejak lama dan tidak tentu rimbanya. Entah masih hidup atau sudah tiada, aku sama sekali tidak pernah tahu keberadaannya. Aku pernah menanyakan hal itu pada Paman Rasyid, ayahnya Lidya saat baru pertama kali ikut bersama beliau. Namun, sampai detik ini Paman Rasyid dan istrinya tidak pernah memberikan satu informasi pun tentang ayahku. Satu hal yang aku ketahui hanyalah Ayah telah pergi meninggalkan Ibu, saat aku berusia lima tahun. Sejak saat itu, Ibu pontang panting bekerja sebagai asisten rumah tangga, agar bisa merawat dan membesarkanku dengan baik. "Obat mabuk buat Lidya itu gampang, Far," ujarku, yang dibalas Farid dengan alis berkerut. "Tinggal ajak dia makan bakso yang pedas. Pasti mabuknya hilang," selorohku yang disambut tawa kedua bersaudara itu."Aku tuh takjub sama kak Lidya. Bisa-bisanya dia makan sambal yang full cabai rawit dengan wajah santai," sela Johan yang kubalas dengan anggukan. "Kalau bahasa sundanya mah, dibilang merak. Konon katanya, merak itu doyan cabai rawit," timpal Farid yang membuat tawa kami pecah. "Udah, jangan dibicarakan lagi. Lidya itu indra keenamnya lebih tajam dari aku. Mungkin dia bisa tahu saat ini sedang digosipin," imbuhku."Nah, ini. Ngomongin indra keenam. Lidya juga pernah cerita. Dia mimpiin kamu lagi jalan ke bukit sama noni Belanda itu." Farid sontak menoleh ke belakang. Mungkin takut bila Viana muncul tiba-tiba. Selanjutnya, aku menceritakan semua peristiwa di sini pada kedua pria itu. Termasuk tentang kejadian kemarin malam. Keduanya terdiam dan saling beradu pandang sesaat setelah aku selesai bercerita. Kemudian Farid berdiri dan menelepon Lidya. Menceritakan semuanya pada sang istri, yang menanggapinya dengan meminta berbicara langsung denganku."Udah kubilang agar Mas itu belajar ilmu kanuragan lebih tinggi lagi. Ngeyel pisan!" Omelan Lidya terdengar nyaring dari seberang telepon. "Nggak sanggup tirakatnya, Lid. Aku kan nggak serajin kamu," balasku seraya menyunggingkan senyuman miring. "Sekarang, nurut sama aku, ya! Jangan keluyuran sendirian. Mas minta dipagarin gaib sama pak Tono. Dan, jangan jauh-jauh dari gadis berkepang dua yang berwajah cantik itu. Cuma dia, yang bisa membantu melindungi Mas saat ini," titah Lidya yang membuatku tertegun. Saling beradu pandang dengan Farid yang tersenyum lebar, saat sosok Risty terlihat berjalan mendekati villa dengan rambut yang dikepang dua. ***Sinar surya yang mulai melembut, menandakan hari mulai beranjak sore. Embusan angin yang makin dingin, memaksa kami untuk merapatkan jaket serta mengenakan topi. Dengan perbekalan lengkap kami mulai berjalan menuju bukit. Aku dan Risty berjalan terlebih dahulu. Farid dan Johan mengekor di belakang. Perjalanan kali ini terasa lebih mudah daripada sebelumnya. Mungkin karena tanah yang becek sudah padat dan mengeras kembali. Memudahkan kami untuk melangkah dan tiba lebih cepat dari perkiraan. Sesampainya di atas bukit, kami mulai bekerja mengatur beberapa peralatan yang sudah dipersiapkan. Beberapa lampu darurat juga sudah terpasang rapi. Demikian pula dengan tenda. Risty masuk ke bagian dalam tenda. Menyusun berbagai peralatan fotografi dengan cepat. Kemudian, memasang benda-benda itu, dan memintaku untuk meletakkannya di dekat makam ibunya Viana. Langit perlahan mulai menggelap. Sayup-sayup suara azan membuat kami bergegas mengambil wudu, dari pancuran air yang ditempatkan di bagian kanan bukit, yang terletak tidak jauh dari makam. Dilanjutkan dengan menunaikan salat tiga rakaat secara bergantian di dalam tenda. Kemudian, kami mengambil posisi paling enak untuk mengamati sekeliling sambil memakan bekal yang tadi telah disiapkan oleh Bu Ismi. "Mana hantunya?" tanya Farid dari dalam tenda. Sifat penakutnya itu sering menjadi perdebatan antara dirinya dan sang istri. Bertolak belakang dengan Lidya yang sangat pemberani. Hal itu juga sering menjadi bahan ledekan bila kami berkumpul. "Belum muncul," jawabku. Sementara itu di samping kananku, Johan sedang menatap layar laptop nyaris tidak berkedip, untuk menangkap gerakan sekecil apa pun. Anak kedua keluarga Mulyana itu memang lebih pemberani dibandingkan sang kakak. Johan juga lebih cerdas dan sangat gesit. Pembawaannya yang sedikit pendiam, membuat dirinya menjadi buah bibir para perempuan yang tertarik pada dirinya. Namun, entah kenapa. Sampai dia berusia dua puluh tiga tahun ini, tidak pernah sekali pun dia membawa perempuan bertandang ke rumah orang tuanya di Bogor. Risty memandangi sudut kanan bukit yang ditumbuhi pohon rindang. Dia berdiri dan mulai mencari dua titik itu dari kamera. Merekam semua kegiatan ini dengan antusias. Makin lama dua titik itu tampak semakin membesar. Farid masuk lebih dalam ke tenda, dan hanya sesekali mengintip ke arah kami yang berada di depan.Detik-detik mendebarkan itu benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra dan juga ketajaman mata. Sosok Viana yang sedang berjalan bersama seseorang, tampak kian dekat. Perlahan tetapi pasti, aku mulai mengenali sosok yang bersamanya. Menatap pria itu nyaris tanpa kedip. Mengatur napas agar tetap terjaga sambil menjalankan petuah Lidya. Johan yang berdiri di sebelah kiriku, sesekali melirik untuk memastikan bahwa aku tetap tenang. Sedangkan Risty tampak fokus memperhatikan kamera. Kedua makhluk tak kasatmata itu berhenti tidak jauh dari posisi kami. Keduanya tampak saling beradu pandang, sebelum akhirnya Viana mendekat dan berhenti tepat beberapa langkah di depanku. "Apa kamu betul-betul sudah siap, Anto?" tanyanya dengan suara berdengung."Siap untuk apa, Vi?" balasku dengan bertanya balik. "Siap untuk mendengarkan penuturan kami, dan membantu menguak tentang misteri tempat ini," sahutnya seraya mengulaskan senyuman menawan. Aku menoleh pada Risty yang membalasnya dengan anggukan. Demikian pula dengan Johan. Tangannya bergerak menepuk pundakku untuk memberikan kekuatan. "Aku siap. Tapi, sebelum memulainya aku ingin menanyakan sesuatu."Viana menoleh ke belakang selama beberapa detik, sebelum kembali menatapku dan berkata, "Oke, apa yang mau kamu tanyakan?""Siapa pria itu dan kenapa wajahnya sangat mirip denganku?"TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu
TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar
TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec
TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi
TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen
TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru