TBE 08
Senyuman di wajah Viana melebar. Kemudian, dia menoleh ke belakang, seakan-akan memberi kode kepada pria itu untuk maju dan lebih dekat dengan kami."Sudah kuduga bahwa dia akan bertanya seperti ini, Sayang," ucap pria itu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Viana.Terdengar suara tawa yang berdengung dari Viana. Perempuan berwajah blasteran dengan iris mata biru itu, tampak sedikit berbeda. Ada rona kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya yang berseri-seri."Baiklah, Anak muda, aku akan mulai bercerita tentang diriku dan Viana. Jangan ada yang menyela sebelum aku selesai bercerita. Paham?" ujar pria itu yang langsung mendapatkan anggukan persetujuan dari kami bertiga. Farid sih tidak perlu ditanya, karena saat ini dia sedang mematikan diri. Bersembunyi di dalam tenda dan tidak mau keluar."Namaku, Haryadi Atmaja. Aku adalah suami dari perempuan cantik ini," ujar pria itu sambil menoleh pada Viana. SejeTBE 09"Siap?" tanya Johan. Aku mengangguk. Menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan degup jantung yang mulai turun naik secara ekstrim. Johan mencoba membuka gagang pintu, tetapi ternyata benda itu terkunci. Dia mencoba lagi dengan mendorong sedikit, tetap saja pintu tidak bergerak. "Sssttt. Lewat sini," panggil Risty dari arah samping kiri. Aku dan Johan bergegas menghampiri. Saat kami tiba, ternyata Risty telah berhasil membuka satu jendela berbahan kayu dengan lubang angin garis-garis khas rumah zaman dulu, dan kini gadis itu tengah melongok ke dalam. "Kok kamu tahu jendela ini nggak kekunci?" tanyaku sambil menatapnya penuh tanya. "Kan udah dibilang, Mas. Aku ini cenayang," jawabnya seraya tersenyum dan mengedipkan mata kiri yang membuat tampilannya makin menggemaskan. Aku menggeleng seraya tersenyum. Menaiki batas jendela yang kayunya masih bagus. Mengernyitkan
TBE 10"Ke mana?" tanyaku. "Tempat rahasia," jawab Viana, kembali dia mengedipkan sebelah mata dan merapikan rambut yang beterbangan oleh angin yang selalu muncul bersamaan dengan kehadirannya."Masih hujan, Vi." "Bukan ragamu yang akan ikut, tapi jiwamu." Kami saling berpandangan. Aku mencoba memahami maksud perkataannya, dan menggeleng setelah beberapa saat berpikir. "Tidak, aku tidak mau ikut," jawabku. "Apa kamu tidak ingin tahu tentang diriku?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kiri dan mengusap pipiku dengan sentuhan yang lembut. "Cukup kamu cerita aja. Aku nggak perlu ikut denganmu."Tiba-tiba Viana tertawa dengan suara berdengung. Menarik tanganku dan menggenggam jemari dengan erat. "Apa kamu takut tidak akan kembali?" tanyanya selesai tertawa. Aku sepersekian detik berpikir, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaannya. Perempuan berparas blasteran itu tertawa k
TBE 11Tubuh Risty yang semula menegang, perlahan berubah sedikit relaks. Dia melepaskan diri sambil mendorong tubuhku menjauh. Manik mata cokelat tua itu memandangiku dengan lekat. Seulas senyuman memikat dihadiahkannya padaku. "Mas, kita bicarakan nanti, ya. Sekarang, ayo, masuk. Kita bahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menolongmu," ucapnya pelan. "Jawab dulu, kamu cinta sama aku atau nggak?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi. Risty tidak menjawab, dia hanya menyentuhkan tangan ke pipi kananku. Kemudian, membalikkan badan dan berlalu untuk kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas dengan cepat, berusaha mengusir rasa tidak enak di dalam hati. Tadinya aku sangat berharap agar dia juga membalas perasaanku. Akan tetapi, sepertinya aku harus bisa lebih lama untuk bersabar. Menunggu itu adalah hal yang paling tidak kusukai, tetapi aku bisa apa? Tidak mungkin juga memaksakan kehendak. Mungkin pernyataan c
TBE 12Kami terperangkap di dalam rumah. Berbagai usaha dilakukan Farid dan Johan untuk membuka pintu depan, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Aku bangkit berdiri dan melangkah pelan, berpegangan pada meja dan kursi agar bisa mencapai satu-satunya tempat yang mungkin bisa dibuka. "Jo, angkat kursi itu dan hantamkan ke sini!" seruku.Pria bertubuh tinggi itu segera mengangkat kursi kayu di ujung sofa. Sekuat tenaga menghantamkannya ke jendela yang tidak berteralis. Kaca jendela yang tebal itu hanya terlihat retak. Johan mengangkat lagi kursi dan melakukan hantaman kedua. Prrraaannnggg! Kaca pecah dan berhamburan ke mana-mana. Farid menarik taplak meja dan meletakkan benda itu di pinggir jendela. "Jo, kamu duluan keluar!" titahnya. Johan bergerak ke luar dengan hati-hati, agar kakinya tidak menginjak pecahan kaca. "Sekarang giliran kamu, To," ujar Farid sambil menarik tanganku. Pria bertubuh agak tambun itu membant
TBE 13Di sebelah kananku, Opick tampak menggerak-gerakkan tangan sambil mengatur napas. Sesekali dia menyentuh kepala hingga pundak, seolah-olah sedang menyelubungiku dengan selimut gaib. Sosok di luar itu memandangi kami dengan raut wajah yang sangat dingin. Mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu yang terdengar sangat jauh. "Anto, ikutlah denganku," ucap Viana berkali-kali. Opick menarik kepalaku agar berhenti memandangi Viana. Dia juga menepuk-nepuk pundak Johan yang tampak panik karena mesin mobil mati dan tidak bisa dinyalakan. "Tenang, Jo. Istigfar, kamu pasti bisa," ujar Opick. Aku sempat memajukan tubuh untuk memastikan kondisi Farid. Sahabatku itu sepertinya sudah pingsan. Dia tidak bergerak sama sekali dengan kondisi mata yang tertutup. Bug! Bug! Bug! Suara benda yang dibenturkan ke belakang mobil, membuat aku dan Opick sontak menoleh. Terkesiap saat melihat beberapa makhluk tak ka
TBE 14Gelap! Semuanya tampak pekat. Aku hanya bisa menghirup bau apek khas tempat lembap. Aku mencoba mengubah posisi tubuh agar bisa mencari udara segar, tetapi semuanya sia-sia. Tubuhku seolah-olah membeku dan sulit untuk digerakkan, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memutar bola mata untuk mencoba mengira-ngira tempat ini. Setelah beberapa saat membiasakan diri dalam kegelapan, akhirnya aku bisa melihat bentuk tempat dan beberapa benda di sekitar.Mataku membeliak sempurna saat menyadari telah berada di dalam rumah tempat Viana dikurung atau diasingkan oleh kakaknya.Bagaimana mungkin aku bisa berada di sini? Bukankah saat ini seharusnya aku sedang berada di rumah Lidya dan Farid? Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam hati. Aku mencoba merunut peristiwa satu hari sebelumnya hingga saat terakhir, di mana aku sedang bersiap untuk tidur di kasur lipat. Nah, betul! Berarti sekarang aku sedan
TBE 15Langit seolah-olah tidak mendukung kami untuk bisa sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Hujan deras disertai angin kencang menderu dan menjadi badai kecil di sepanjang jalan menuju Salabintana.Johan mengumpat beberapa kali saat harus bermanuver untuk menghindari dahan pohon yang berjatuhan. Di sebelah kiriku, Risty tak henti-henti-hentinya melafazkan doa. Sekali-sekali dia menelepon lagi ke nomor ponsel Kakek dan Gantala. Akan tetapi, tidak ada dari mereka yang bisa dihubungi. Opick yang duduk di kursi depan terus mencoba menelepon rumah Kakek Munir, berharap Bi Ipah segera mengangkat telepon. "Apa kalian tidak ada yang punya nomor ponsel Pak Rohim?" tanyaku."Pak Rohim nggak punya ponsel, Mas. Kalau ada juga pasti dari tadi sudah kutelepon," jawab Risty. Aku mengalihkan perhatian ke luar mobil. Hujan angin yang menampar kaca perlahan mulai menurun kekuatannya. Hal itu pertanda bahwa kami sudah keluar dari Kota
TBE 16Degup jantungku berdetak lebih kencang saat orang tersebut jalan memutar ke belakang bangunan tersebut. Dia berhenti saat jarak kami tersisa sekitar lima meter. Bila salah satu dari kami bergerak, orang itu pasti tahu. Genggaman tanganku semakin mengencang. Risty memegang pundakku dan menempelkan kepala di punggung. Aku menghela napas lega saat pria itu membalikkan tubuh dan kembali jalan ke posisi semula. Brrruuukkk! "Arghh!" jeritannya tertahan saat Opick bergerak menerpa dan menimpa tubuhnya. Disusul Johan yang menarik tangan pria itu ke belakang dan memitingnya dengan keras. Pak Rohim bergerak maju dan menarik orang itu hingga berdiri dengan paksa. Pria bertubuh gemuk tersebut tidak bisa lagi bersuara karena mulutnya telah dibekap oleh Opick dengan menggunakan topi yang tadi dikenakan Opick."Di mana kalian menyekap warga yang hilang?" tanya Pak Rohim setelah pria itu diseret ke tempat kami.