Share

Ingin Bertemu

TBE 04

Ucapan Viana kemarin sore kembali terngiang. Hal itu membuatku sangat penasaran dan ingin mengorek keterangan lebih dalam. Akan tetapi, sebelum Viana melanjutkan omongan, azan Magrib telah berkumandang. Dia tiba-tiba menghilang dan tidak muncul kembali sampai detik ini. 

Kemarin malam, aku sengaja tidur lebih larut dari biasanya. Menunggu dirinya hadir di jam-jam biasa. Berulang kali aku melongok ke jendela ataupun ujung koridor, tempat di mana biasanya dia akan hadir, tetapi tetap saja dia tidak muncul.

Radar penasaran yang meningkat tajam, membuatku memasang alarm di ponsel agar bisa bangun lebih awal. Niatku cuma satu, ingin mengobrol lebih banyak dengan penghuni rumah sebelah. 

Tuk, tuk, tuk! 

Bunyi ketukan di pintu kamar diiringi dengan suara panggilan Bu Ismi, membuatku bergegas berpakaian dan keluar dari kamar. Melangkah menuju ruang makan yang ditingkahi suara televisi yang tengah menayangkan berita infotainment.

"Tumben, keluarnya cepat, Mas? Biasanya ibu ngetuk sampai tiga kali balikan, baru Mas bangun," celoteh Bu Ismi yang menyambutku di meja makan. 

"Udah bangun dari tadi, Bu. Habis ini mau keluar," jawabku sambil mengambil cangkir kopi yang masih mengepul dan meniup uapnya sebelum menyesap minuman hitam beraroma harum tersebut. 

Bu Ismi menuangkan nasi kuning ke atas piring besar. Menambahkan irisan telur dadar, tempe orek, bihun bumbu kecap, dan menaburkan bawang goreng di atasnya. 

"Ini, Mas. Silakan dicoba. Bikinan Titin," ucap perempuan paruh baya itu dengan sorot mata berbinar-binar.

Aku menyendok nasi dan lauk sampai penuh, menyuapkannya ke mulut dan mengunyah dengan pelan. Menikmati setiap gigitan yang ternyata sangat enak. Mengacungkan ibu jari yang membuat senyuman ibunya Titin itu merekah sempurna. 

Setelah sarapan, aku melangkah ke depan rumah. Tak lupa menyapa Pak Tono yang sedang merapikan aneka tanaman di sisi pekarangan. Menyusuri area jalan seukuran satu mobil yang merupakan penghubung antara vila dengan jalan raya, kemudian berbelok ke kiri dan mengayunkan tungkai lebih cepat.

Sesampainya di rumah yang dituju, suasana tampak sangat sepi. Pintu pagar yang tidak terkunci, membuatku memberanikan diri untuk melangkah memasuki pekarangan luas dan dipenuhi bunga berwarna-warni yang indah.

Teras depan rumah ini tampak bersih. Aku membuka sandal dan meninggalkannya di undakan tangga, sebelum maju beberapa langkah menuju pintu. Saat tangan hendak menekan bel di dekat benda besar bercat putih itu, tiba-tiba saja gorden tersibak. Tampak seraut wajah mengintip ke arahku dari balik jendela.

"Assalamualaikum. Punten, Bu," sapaku seraya tersenyum dan menundukkan kepala sedikit. (permisi) 

"Waalaikumsalam. Cari siapa, ya, Kang?" tanya pemilik suara lembut yang kupastikan adalah perempuan. 

"Saya mau ketemu dengan pemilik rumah," jawabku. 

Perempuan itu terdiam, sebelum akhirnya bergerak membuka pintu. Seraut wajah rupawan muncul dari balik pintu sambil menatapku dengan saksama. Aku pun melakukan hal yang sama. 

"Maaf, kakek saya lagi tidak berada di rumah. Kalau boleh tahu, Mas ini namanya siapa dan ada keperluan apa?" tanyanya. 

"Nama saya, Ferdianto. Saya sementara ini tinggal di villa sebelah. Keperluan ke sini, hendak bersilaturahmi sekaligus hendak menanyakan tentang penghuni villa itu, sebelum dibeli oleh orang tuanya Farid, teman saya," jawabku dengan suara yang diharap meyakinkan. "Kalau boleh tahu, Mbak ini namanya siapa?" Aku balas bertanya. 

"Nama saya, Risty," sahutnya seraya mengulaskan senyuman tipis.

***

Sejak petang tadi aku sudah duduk menunggu kedatangan Viana. Hujan gerimis yang turun sejak siang hari, membuatku enggan untuk menaiki bukit tempat makam ibunya Viana. 

Kemarin saja, tanpa ada hujan, jalanan di situ sudah licin. Apalagi sekarang, aku pasti akan kerepotan untuk bisa menggapai tempat tujuan. 

Tepat pukul 7 malam, Titin dan Tari-- kedua anak perempuan Pak Tono-- datang dan menyiapkan makan malam untukku. Mereka masih berdiri di ujung kiri meja saat aku menarik kursi dan mendudukkan diri.

"Kalian sudah makan?" tanyaku basa basi. 

"Sudah, Mas," jawab keduanya nyaris bersamaan. "Silakan dinikmati, Mas. Kalau udah nanti panggil aku," tukas Titin sambil mengangguk kecil, kemudian menarik tangan adiknya menuju ruang tengah.

Tak berselang lama terdengar suara televisi yang menayangkan sinema elektronik yang bisa kupastikan merupakan tayangan dari saluran televisi ikan mengambang. Tontonan wajib kebanyakan orang Indonesia, kecuali aku tentunya.

Aku menikmati makan malam sambil sekali-sekali melihat sekeliling. Sangat berharap sosok Viana akan muncul di tempat biasa dan menemaniku bersantap. Namun, sampai aku selesai makan dan kedua bersaudara itu sudah membereskan sisanya, Viana tetap tidak muncul. 

"Mas, kami pamit, ya," ucap Titin yang membuatku tersadar dari lamunan. 

"Oh, iya. Terima kasih dan hati-hati," sahutku sambil mengikuti langkah mereka ke luar rumah. 

Hujan ternyata telah berhenti. Kabut pekat yang menyelimuti sekitar vila membuat jarak pandang makin terbatas. Tubuh kedua perempuan itu dengan cepat tertutup oleh kabut. Aku berdiri sejenak di teras, sebelum akhirnya membalikkan badan dan jalan memasuki ruang tamu. 

"Aaarrrgghh!" 

Brrruuukkk! 

Brrruuukkk!

Suara teriakan perempuan disusul dengan bunyi benda jatuh, sontak membuatku kembali ke teras dan lari ke asal suara. Tubuhku yang hanya mengenakan pakaian berbahan tipis, sedikit menggigil saat bersentuhan dengan dinginnya malam. 

"Titin! Tari!" teriakku saat menyadari kedua sosok yang terbaring di tengah halaman itu, ternyata adalah kedua perempuan tadi. 

Dengan hati-hati kugoyangkan pundak keduanya. Mencoba menyadarkan mereka dengan guncangan yang semakin kencang. 

Sorot lampu dari seberang sana perlahan kian mendekat. Tak lama kemudian tampaklah sosok Pak Tono dan Bu Ismi yang bergegas lari ke arah kami. 

"Astagfirullah! Kunaon ini anak?" jerit Bu Ismi sambil mengangkat kepala Tari yang terkulai. 

Sementara Pak Tono berjongkok di sebelah kiriku dan meraih kepala Titin yang juga lemas. "Kenapa kalian jadi begini, Tin, Tari?" tanya sang Ayah sambil mencoba mengangkat tubuh sang putri pertama. 

"Sini, Pak. Biar Anto aja yang gendong," pintaku sambil mengalungkan lengan Titin ke leher, kemudian mengangkat tubuhnya yang tidak terlalu berat itu dan jalan kembali ke rumah. 

Dari posisi kami saat ini, jarak ke vila lebih dekat bila dibandingkan dengan jarak ke rumah Pak Tono. Kedua pasangan suami istri itu mengangkat tubuh Tari dan menyusulku ke dalam rumah. Aku membaringkan tubuh Titin ke atas sofa panjang. Sedangkan Pak Tono membaringkan tubuh Tari di atas sofa tunggal dengan kaki terjulur ke lantai. 

Bu Ismi bergegas lari ke ruang tengah. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sebotol minyak kayu putih. Dengan cepat beliau mengoleskan benda cair berbau menyengat itu di dekat telinga dan hidung kedua anaknya. Kemudian, tak lupa menggosok kedua kaki Titin dengan minyak yang sama. Sedangkan Pak Tono menggosok kaki Tari. 

Aku beranjak masuk ke dapur. Mengambil gelas besar dan menuangkan air dari dalam teko, dan mencampurnya dengan air panas dari dalam termos. Kemudian, membawa gelas tersebut ke depan dan meletakkannya di atas meja. 

Suara lirih Titin yang sudah terjaga, mengalihkan pandangan kami bertiga ke arahnya. Perempuan muda itu perlahan membuka mata dan memandangi wajah kami bergantian. Kemudian, dia bangkit dan duduk tegak, menggosok pipi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. 

"Bapak, Ibu," ucap Titin setelah sepenuhnya tersadar. 

Aku memberikan gelas tadi, Titin menyambutnya dengan tangan gemetaran. Meminum beberapa teguk sebelum mengembalikan gelas itu padaku. 

"Ada apa, Teh? Kenapa kalian tadi bisa pingsan?" tanya Pak Tono sesaat setelah Titin terlihat lebih tenang. Sementara itu Tari juga akhirnya tersadar dan sekarang sedang memeluk ibunya dengan erat. 

"Tadi ... ada hantu Noni Belanda itu, Pak," jawab Titin dengan suara bergetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status