Share

Pagar Gaib

TBE 05

Malam ini keluarga Pak Tono akhirnya memutuskan untuk menginap di kamar bagian depan villa, tepatnya di samping kiri ruang tamu. Sekali-sekali masih terdengar isakan Tari. Sepertinya dia masih syok setelah melihat penampakan Viana. 

Lagi-lagi aku tidak bisa langsung tertidur. Kegiatan menunggu Viana menjadi hal yang sangat melelahkan sekaligus mendebarkan. 

Di antara banyak pohon di halaman, tampak kelebatan dirinya beberapa kali. Akan tetapi, dia tetap tidak mau mendekatiku yang hanya bisa memandanginya dari jendela. Hingga akhirnya rasa kantuk menguasai, dan aku tertidur dengan jendela yang masih belum tertutup gordennya. 

Sinar matahari pagi yang menembus dari balik jendela, menyapa hari dan menyentuh kulit dengan lembut. Sesaat setelah terjaga aku bergegas jalan masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri secepat mungkin agar bisa segera menuntaskan misiku hari ini. 

"Mas, sarapan dulu," ajak Titin yang tengah menyapu ruang tengah. Wajahnya sudah tampak lebih segar dibandingkan dengan kemarin malam. 

Aku jalan mendekati meja makan. Menarik kursi dan duduk. Meraih cangkir berisi kopi dan menyesap perlahan. Rasa panas dari kopi yang mengaliri tenggorokan, menghadirkan sensasi hangat yang menenangkan. Tanganku terulur mengambil pisang goreng yang masih hangat dari piring di atas meja. Menyuapkannya ke mulut dan mengunyah dengan pelan. 

Bu Ismi masuk dari pintu samping rumah yang berhubungan langsung dengan kebun yang ditanami sayur mayur. Disusul dengan Tari yang membawa satu keranjang penuh berisi kacang sakti, alias kacang panjang.

"Mas Anto, mau makan karedok nggak?" tanya Bu Ismi sambil mencuci tangan di wastafel. 

"Mau, Bu. Buat makan siang, ya?" Aku balas bertanya. 

"Iya, ini barusan panen kacang panjang. Bingung mau dibuat apa karena banyak sekali," jelasnya. 

Beliau menarik kursi di seberang meja dan duduk sambil menyeka keringat di dahi dengan tisu. Sementara Tari tampak menyibukkan diri menyiangi sayuran.  Aku bilang menyibukkan diri, karena pada kenyataannya, dia masih mengamati sekeliling ruangan dengan sorot mata yang sepertinya masih takut-takut.

"Bu, apa Ibu nggak pernah dengar selentingan tentang kejadian lain di rumah ini?" tanyaku sambil berbisik. 

"Maksudnya gimana, Mas?" balas beliau dengan balik bertanya. 

"Ehm, apa betul Viana itu pergi dari sini, atau cuma kabar burung aja?" 

Bu Ismi terkesiap mendengar ucapanku. Dia menoleh ke kiri dan kanan, mungkin memastikan tidak terdengar oleh kedua putrinya. "Sebetulnya, bapak pernah cerita. Ada yang ngasih tahu, kalau sebetulnya noni Belanda itu memang tidak pergi. Dia tiba-tiba menghilang," bisiknya. 

Aku menunggu Bu Ismi melanjutkan cerita, tetapi ternyata beliau lebih memilih pergi ke dapur dan melanjutkan pekerjaan. Setelah menghabiskan sarapan, aku berpamitan pada ketiga perempuan yang memandangi dengan bingung. Terutama setelah aku mengatakan tempat yang akan dituju.

***

Kegiatan mendaki bukit yang becek dan licin benar-benar sangat melelahkan. Setelah berusaha keras untuk mencapai puncak, akhirnya aku tiba dengan selamat. Keringat membasahi tubuh dan napas pun terengah-engah.

Angin menderu menampar pipi dan memberantakkan rambut yang mulai panjang. Kurapatkan jaket hingga batas leher, dan melepaskan tali ransel serta menurunkannya dari punggung. 

Aku menghempaskan bokong di atas rimbunan rumput. Mengangkat kedua kaki dan melipatnya dengan tangan terjuntai tepat di atas lutut. Menikmati pemandangan alam yang sangat indah. Menghidu udara bersih dan segar dengan sedikit rakus. 

Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang melenakan. Hal inilah yang membuatku senang tinggal di sini. Aku memang benar-benar membutuhkan ketenangan, dan tempat ini mampu menciptakan hal tersebut.

Satu titik di kejauhan menarik perhatian. Aku menajamkan mata untuk memastikan sosok itu yang kian mendekat. Sudut bibirku terangkat membingkai senyuman kala mengenali sosok itu. Kala dia mendekat, hatiku menghangat seiring dengan senyumannya yang memikat.

Perempuan muda itu berhenti tepat di sebelah kanan dan ikut duduk bersama. Dia meletakkan ransel dan membukanya. Mengeluarkan satu tempat makanan berbahan plastik tebal berwarna biru. "Mau?" tanyanya sambil membuka tutup tempat itu. 

Aku mengangguk semangat. Mengambil satu tangkup roti sandwich. Menggigit ujungnya dan terbeliak saat merasakan sensasi pedas di ujung lidah. "Ini, enak banget," pujiku tulus. 

"Makasih," jawabnya dengan seulas senyuman memikat. 

"Kamu kok tahu kalau aku suka yang pedas-pedas?" tanyaku sambil terus mengunyah. 

"Aku ini cenayang. Apa Mas lupa?" Dia balas bertanya, kemudian terkekeh. Tanpa sadar aku ikut tertawa pelan. Teringat obrolan kami tempo hari di teras rumah kakeknya. 

Selanjutnya pembicaraan kami terjalin tanpa jeda. Saat aku bercerita tentang kejadian kemarin malam, Risty mendengarkan dengan saksama. Sekali-sekali dia mengangguk tanda paham dengan isi cerita, sembari menatapku nyaris tanpa berkedip. Entah kenapa ada desiran aneh dalam dada, dipandangi dengan lekat seperti itu. 

"Kemarin, saat kakek kembali, aku menanyakan hal yang Mas omongin tempo hari," ujarnya menyahut omonganku. 

"Terus, gimana?" tanyaku dengan antusias. 

"Kata kakek, beliau pernah mendengar kisah tentang keluarga Hans itu dari almarhum ayahnya. Karena kakek lebih banyak berada di asrama sekolah, jadi beliau tidak terlalu paham dengan cerita yang beredar."

"Namun, ada satu hal yang pasti. Beliau pernah melihat beberapa orang bolak balik ke rumah itu, sebelum tersiar kabar bahwa noni Belanda itu pindah ke kota lain."

"Almarhum ayahnya kakek pernah mengatakan, bahwa beliau tidak mempercayai berita itu. Terutama setelah sering melihat penampakan noni Belanda itu, melintasi rumah ini hingga menembus tembok."

Aku mencerna setiap informasi itu dengan pelan. Berusaha menyatukan setiap kepingan puzzle yang sangat menarik. Kami melanjutkan obrolan hingga sedikit lupa akan waktu. Sayup-sayup suara azan dari masjid terdekat, menjadi pemutus pembicaraan. 

Selanjutnya kami menuruni bukit bersama. Sekali-sekali aku memegangi tangannya saat membantu Risty turun. Kemudian, kami jalan melintasi area yang teduh karena rimbunan dedaunan dari dua pohon besar, di sisi kanan villa. 

Langkah kaki kami terhenti saat menyadari sesosok samar makhluk tampak berdiri di ujung jalan. Viana sepertinya memang sedang menunggu. Dia melayang mendekat dan berhenti dengan jarak sekitar tiga meter dari tempat kami berdiri. 

Penampilannya hari ini tampak berbeda. Mengenakan gaun selutut ungu muda dengan aksen renda hitam di sekeliling bagian bawah gaun. Secarik senyuman tercetak di wajahnya yang sangat cantik. Sedikit pun tidak terlihat bila dia adalah makhluk tak kasatmata. 

"Aku menunggumu semalaman," ujarku membuka pembicaraan. 

"Aku tidak bisa masuk ke rumah," sahutnya dengan suara berdengung. 

"Kenapa? Biasanya kamu langsung hadir tanpa perlu dipanggil." Aku merasa sedikit bingung dengan omongannya barusan. 

"Tanyakan ke gadis ini. Dia pasti tahu jawabannya," tukas Viana sambil membalikkan tubuh dan perlahan menghilang. 

Aku menoleh pada Risty yang masih memandangi tempat Viana berdiri tadi. "Apa maksudnya, Ris? Aku benar-benar bingung," tanyaku pada Risty yang menoleh ke arahku. 

"Ada kekuatan lain yang menghalanginya untuk bisa menembus rumah. Jadinya dia hanya bisa berkeliling di halaman," jawab Risty. 

"Kekuatan? Pagar gaib?"

Risty mengangguk. "Seperti itu, Mas. Apa kamu bisa membuat pagar gaib?" Dia balik bertanya. 

Aku menggeleng. "Nggak bisa. Aku cuma bisa merasakan, melihat dan berbicara dengan sosok astral. Tetapi aku tidak mempunyai kemampuan lebih dari itu," jawabku sembari mulai melangkah lagi. Kami berjalan dalam diam. Hingga akhirnya sampai di teras villa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status