Beranda / Horor / The Blue Eyes / Jangan Pura-pura!

Share

Jangan Pura-pura!

Penulis: Olivia Yoyet
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-05 17:17:12

TBE 03

Pagi hari menyapa dengan dinginnya udara yang menusuk. Embusan angin seolah-olah menerobos masuk lapisan kaus lengan panjang dan sweater rajut yang kukenakan.

Makin mendekati pergantian musim, maka cuaca pun menjadi tidak menentu. Sering kali, paginya dingin menggigit, tetapi siang sampai sore matahari bersinar dengan teriknya. Malam harinya kembali lagi ke udara sejuk, yang akan bertambah dingin seiring dengan pergantian jam. 

Bu Ismi sudah datang ke villa sebelum jarum jam dinding menunjuk ke angka tujuh. Suara senandung lagu khas Sunda terdengar dari bibirnya. Ibarat radio, mengalun tanpa henti dan cukup merdu di telinga. Hari ini, Titin---anak pertama Bu Ismi dan Pak Tono--- ikut membantu sang Ibu membersihkan rumah dan berbagai barang antik milik keluarganya Farid. 

Perempuan muda yang kali ini mengenakan jilbab merah muda dan blus senada itu, tampak sekali-sekali mencuri-curi pandang ke arahku yang sedang duduk di kursi putar dekat meja besar yang ada di ruang perpustakaan, yang berada tepat di belakang ruang tamu dan bersebelahan dengan kamar utama yang kutempati.

"Tin," panggilku sembari menengadah.

"Y-ya, Mas?" sahutnya dengan sedikit terbata. Mungkin dia terkejut karena tidak menyangka bahwa aku akan tiba-tiba memanggilnya. 

"Bisa tolong buatin teh manis? Kopiku udah tinggal ampasnya," pintaku sembari mengacungkan cangkir kopi yang memang sudah kosong.

Titin mengangguk dan bergegas ke luar. Aku kembali melanjutkan mengetik di laptop, dan baru berhenti saat melihat pantulan wajah Viana di layar benda elektronik tersebut.

"Kamu tuh, Mas. Sama aja dengan pria lainnya," ucapnya pelan sembari menggeleng.

Aku menoleh dan sedikit mengerutkan dahi. Bingung dengan maksud perkataannya dan sangat menunggu hantu berparas cantik itu melanjutkan ucapan.

"Jangan pura-pura!" desisnya sembari berpindah tempat dan duduk di samping kanan meja. 

Ujung gaun panjang hijau bercampur putih itu melambai menyentuh lantai. Kalau saja ada menyaksikan Viana berpenampilan seperti itu di malam hari, mungkin akan sedikit ngeri melihatnya yang seolah-olah tidak menapak.

"Apaan sih?" tanyaku sambil mengangkat alis.

Viana mendengkus. Kemudian, menunjuk ke arah pintu di mana Titin sedang melangkah masuk ke ruangan sambil membawa nampan. Perempuan bertubuh mungil itu meletakkan satu gelas berisi air teh dan sepiring peuyeum goreng ke atas meja. (tape goreng) 

"Makasih," ucapku sambil meraih gelas dan menyesap teh yang rasa manisnya sangat pas dengan selera.

Titin memperhatikanku sekilas sebelum membalikkan tubuh dan jalan menjauh dengan mengepit nampan di depan dada. Sepertinya dia tidak menyadari bila Viana sejak tadi memperhatikan gerak'geriknya. 

"Tadi, maksud kamu apa, Vi?" tanyaku pelan. Berusaha berhati-hati agar tidak terdengar ke luar. 

"Kamu itu, sama aja dengan pria lain. Senengnya memanfaatkan perempuan!" jelasnya dengan suara yang ketus. 

"Memanfaatkan?" Aku kembali menaikkan alis, karena makin tidak mengerti dengan maksud omongan hantu berparas cantik ini. 

"Iya. Memanfaatkan! Tahu aja kalau perempuan itu sejak tadi melirik, langsung deh main perintah!" sergahnya. 

Sejenak hening, kemudian tawaku pecah. Baru paham maksud sikap Viana yang aneh sejak tadi. "Nggak apa-apalah. Sekali-sekali ini minta tolong sama dia," timpalku setelah tawa usai. 

Viana hanya diam dan menatapku dengan sorot mata yang sangat dingin. Tangannya dilipat di depan dada. Dagu terangkat dan makin memperjelas lekukan lehernya yang jenjang dan mulus.

"Ehm, Vi, kenapa kamu nakut-nakutin pak Iman?" tanyaku sambil bertopang dagu. Berusaha mengalihkan pembicaraan agar dia lupa bila tengah kesal denganku.

"Nggak nakutin kok. Aku cuma ngasih pelajaran aja sama orang yang suka buang hajat di sembarang tempat. Jorok!" jawabnya dengan hidung yang mengerut. 

"Ngasih pelajaran boleh. Tetapi jangan bikin orang sampai demam begitu," balasku. 

"Itu bukan salahku. Dia aja yang lemah hati."

Tawaku kembali pecah. Tak peduli bila hal ini akan memancing tanya Bu Ismi dan Titin. Viana tampak mengulum senyum, kemudian perlahan sosoknya memudar dan akhirnya benar-benar lenyap.

***

Senja yang indah menggantikan teriknya matahari siang tadi. Angin yang berembus ringan membuat udara terasa sedikit sejuk. 

Dedaunan di dahan pohon-pohon di pekarangan itu turut melambai, seakan-akan tengah menari terdorong angin sebelum tiba saatnya mereka gugur ke bumi.

Aku melangkah hati-hati menaiki bukit di sebelah kanan villa. Beratnya ransel yang disampirkan di punggung, membuat gravitasi bumi menguat untuk menarikku ke bawah. Sepatu boot cokelat yang digunakan juga sudah terbenam beberapa kali di berbagai titik lumpur, dan memaksaku untuk mengingat bila nanti harus membeli sepatu karet, seperti yang biasanya dipakai pak Tono bila tengah berkebun.

Setelah berjuang selama beberapa menit, akhirnya aku sampai di atas bukit. Berdiri tegak di depan sebuah makam lama yang nisannya terbuat dari marmer yang sangat indah. Di bagian tengah nisan tertulis nama pemilik makam ini. Yaitu Siti Mariam. Kelahiran tahun 1912, dan wafat pada tahun 1970. 

Aku duduk bersila di sebelah kanan makam. Memandangi sekeliling yang terasa sangat sunyi. Beberapa titik kendaraan yang banyak melintas di jalan raya depan villa, menandakan bahwa hari ini merupakan penghujung minggu. 

Seperti halnya daerah pegunungan lainnya, di sini banyak terdapat villa milik pribadi yang terkadang disewakan ke para pelancong. 

Walaupun daerah ini tidak sepopuler Puncak atau Lembang, tetapi dengan bertaburnya hotel kecil dan villa, menandakan daerah ini cukup banyak pengunjung. Ditambah lagi dengan dibangunnya sebuah waterpark di ujung jalan utama, menjadikan tempat ini makin ramai dikunjungi di penghujung minggu. 

Hawa dingin di bagian lengan kiri sontak membuatku menoleh. Viana telah hadir kembali dengan seulas senyuman indah di bibirnya. Aku seolah terhipnotis dan tidak sanggup mengalihkan perhatian. Terus saja memandangi wajahnya yang sangat menawan. 

"Aku, boleh minta tolong?" tanyanya dengan suara pelan.

"Kalau bisa, akan kutolong. Kalau nggak, cuma bisa bantu agar ada yang mau menolongmu," jawabku seraya tersenyum lebar. 

"Hmmm," sahutnya sambil memicingkan sebelah mata. 

"Minta tolong apa? Buruan ngomongnya. Bentar lagi aku mau turun," pintaku.

"Tolong bantu menyempurnakan jasadku," jawabnya. 

Aku terperangah dengan mata yang sedikit membola. Seolah tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Sepersekian detik berikutnya aku terdiam, berusaha mencerna perkataannya. "Bagaimana caranya?" tanyaku setelah bisa menguasai diri. 

"Ambil jasadku dari kuburan lama, dan pindahkan ke sini. Aku ingin dikuburkan dengan layak di sebelah makam ibu," jawabnya dengan suara yang bergetar. Jemari lentiknya mengusap marmer dengan pelan dengan diiringi sorot mata sendu.

Aku mengalihkan pandangan kembali ke jalan. Otak berpikir keras mencari cara agar bisa memenuhi permintaan Viana yang benar-benar unik. "Makammu saja aku tidak tahu, Vi. Bagaimana hendak memindahkannya?" tanyaku. 

Viana menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Kemudian, tiba-tiba dia sudah berpindah duduk di hadapanku. "Makamku tidak jauh dari sini. Bahkan, kamu sering melewatinya," ujarnya sembari menatapku dengan sepasang mata berembun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Blue Eyes    We Zien Elkaar Weer

    TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu

  • The Blue Eyes    Serang Lagi! Cepat!

    TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar

  • The Blue Eyes    Pertempuran Terakhir

    TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec

  • The Blue Eyes    Rumah Kebun

    TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi

  • The Blue Eyes    Firasat Tidak Enak

    TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen

  • The Blue Eyes    Stop! Jangan Disebut!

    TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status