TBE 15
Langit seolah-olah tidak mendukung kami untuk bisa sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Hujan deras disertai angin kencang menderu dan menjadi badai kecil di sepanjang jalan menuju Salabintana.Johan mengumpat beberapa kali saat harus bermanuver untuk menghindari dahan pohon yang berjatuhan. Di sebelah kiriku, Risty tak henti-henti-hentinya melafazkan doa. Sekali-sekali dia menelepon lagi ke nomor ponsel Kakek dan Gantala. Akan tetapi, tidak ada dari mereka yang bisa dihubungi. Opick yang duduk di kursi depan terus mencoba menelepon rumah Kakek Munir, berharap Bi Ipah segera mengangkat telepon."Apa kalian tidak ada yang punya nomor ponsel Pak Rohim?" tanyaku."Pak Rohim nggak punya ponsel, Mas. Kalau ada juga pasti dari tadi sudah kutelepon," jawab Risty.Aku mengalihkan perhatian ke luar mobil. Hujan angin yang menampar kaca perlahan mulai menurun kekuatannya. Hal itu pertanda bahwa kami sudah keluar dari KotaTBE 16Degup jantungku berdetak lebih kencang saat orang tersebut jalan memutar ke belakang bangunan tersebut. Dia berhenti saat jarak kami tersisa sekitar lima meter. Bila salah satu dari kami bergerak, orang itu pasti tahu. Genggaman tanganku semakin mengencang. Risty memegang pundakku dan menempelkan kepala di punggung. Aku menghela napas lega saat pria itu membalikkan tubuh dan kembali jalan ke posisi semula. Brrruuukkk! "Arghh!" jeritannya tertahan saat Opick bergerak menerpa dan menimpa tubuhnya. Disusul Johan yang menarik tangan pria itu ke belakang dan memitingnya dengan keras. Pak Rohim bergerak maju dan menarik orang itu hingga berdiri dengan paksa. Pria bertubuh gemuk tersebut tidak bisa lagi bersuara karena mulutnya telah dibekap oleh Opick dengan menggunakan topi yang tadi dikenakan Opick."Di mana kalian menyekap warga yang hilang?" tanya Pak Rohim setelah pria itu diseret ke tempat kami.
TBE 17Suara orang mengobrol dalam bahasa Belanda bercampur dengan bahasa pribumi membuatku tersadar dari tidur. Mata mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar terang dari jendela. Setelah nyawa terkumpul sepenuhnya, aku tertegun saat menyadari bahwa aku sedang berada di dalam sebuah kamar. Susah payah aku mencoba untuk bangun dengan bertumpu pada kedua siku dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang sepertinya cukup dikenal. Aku beringsut ke pinggir kasur yang lebih dekat dengan jendela yang dalam kondisi terbuka. Mengintip dari celah dan terperangah saat melihat suasana di luar. Mengerjapkan mata beberapa kali. Menepuk-nepuk pipi untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku kembali mengintip ke luar, menyadari bahwa aku tidak salah lihat. Benar-benar telah kembali ke villa, dan sekarang sedang berada di kamar paling depan. Bunyi pintu yang terbuka sontak membuatku menoleh. Seraut wajah perem
TBE 18Tuk, tuk, tuk, tuk. Tuk, tuk, tuk, tuk. Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu siapa yang telah mengetuk pintu. "Masuk," ucapku. Tak lama kemudian gagang pintu bergerak maju, seraut wajah menawan muncul dengan senyuman mengembang. "Mari, kita sarapan dulu, Tuan Haryadi," ajaknya dengan ramah. Aku mengangguk dan jalan mendekat. "Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan," pintaku. "Panggil saja mas Adi," sambungku yang membuatnya tersenyum. "Kalau begitu, baiklah. Mari, Mas, kita sarapan dulu," ulangnya dengan suara lembut. Aku jalan mengikutinya sampai ke meja makan. Menarikkan kursi dan mempersilakannya untuk duduk. Entah kenapa, berlakon sebagai Haryadi Atmaja ini membuat sisi romantisku meningkat dan harus mengakui bila pria yang wajahnya mirip denganku itu adalah sosok yang piawai menghadapi perempuan."Terima kasih," ucapnya. "Sama-sama," jawabku sambil menarik kursi di sebelahny
TBE 19Aroma petrikor yang mengambang di udara, membawa keteduhan dan kenyamanan suasana. Suasana tempat ini sangat sepi dan hening, hanya suara bintang-bintang di pekarangan yang terdengar, selebihnya sunyi.Aku menghidu aroma khas tanah terkena air hujan itu dalam-dalam dan menyimpannya di rongga dada. Menatap langit yang sedang mengeluarkan tangisan yang cukup deras sejak tadi sore.Udara dingin yang makin menggigit, tidak menyurutkan niatku untuk terus bertahan di teras. Duduk dengan mengangkat kaki kiri dan ditumpangkan ke kaki kanan. Mata beralih memandangi sekeliling. Pemandangan alam yang berbeda dari masa depan ini ternyata lebih melenakan. Sudah tujuh hari aku tinggal di sini. Mengelilingi area rumah dan berjalan-jalan ke tempat lainnya. Sudah cukup mengenal beberapa pekerja di kebun, juga tetangga di sekitar sini.Rumah Kakek Munir di sebelah memang hanya menjadi tempat beristirahat bagi keluarganya. Baru tadi pagi a
TBE 20Langit malam yang gelap menggantikan sore hari yang hangat. Rembulan bersembunyi di balik awan. Bintang seolah-olah tengah malas untuk bersinar. Aku mendorong motor melewati gerbang rumah. Viana mengikuti di belakang dengan berjalan cepat. Sesampainya di kebun kosong yang berjarak sekitar sepuluh meter dari pintu gerbang rumah, barulah aku menyalakan mesin dan memacunya dengan hati-hati. Viana berpegangan dengan erat, melingkarkan tangannya ke pinggang dan menempelkan tubuhnya ke punggungku. Angin malam yang menerpa tidak kami hiraukan. Terus melaju menembus pekatnya malam. Setelah melewati daerah Salabintana barulah aku bisa bernapas lega. Menurunkan kecepatan saat melewati jalan raya Siliwangi yang cukup sepi. Di sisi kanan dan kiri, hanya ada segelintir manusia yang masih beraktivitas di malam yang mulai merangkak naik. Selebihnya mungkin telah terlelap di alam mimpi. "Mas, apa kita bisa berhenti sebentar?" pinta Viana.
TBE 21Arunika menyapa hari dengan lembut. Angin sejuk sisa hujan kemarin masih cukup menusuk kulit. Dedaunan di atas pohon masih meneteskan sisa air. Perpaduan cantik di pagi hari yang baru. Aku sudah duduk di kursi meja makan sejak pukul 7 pagi. Menyesap kopi bikinan Bi Euis yang sangat hafal dengan seleraku. Ditemani sepiring singkong goreng beraroma bawang putih yang nikmat. Memanjakan lidah dan perut yang mulai bernyanyi sejak Subuh tadi.Viana keluar dari kamar tamu dengan tampilan yang menawan. Mengenakan blus kuning bermotif bunga-bunga kecil beraneka warna dan jalan mendekat. Dia menarik kursi di sebelah kiri dan duduk dengan tubuh tegak. "Goedemorgen, Mas," sapa Viana dengan lembut. (Selamat pagi)"Goedemorgen, Vi. hoe heb je geslapen afgelopen nacht?" tanyaku. (Bagaimana tidurmu semalam?)"Degelijk, hoe zit het met jou?" (Nyenyak, bagaimana denganmu?)"Redelijk goed." (lumayan nyenyak)Ses
TBE 22Acara makan siang berlangsung dalam diam. Pikiran yang penuh membuatku kehilangan selera dan hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk pauk. Sekali-sekali napas panjang kuhela dan diembuskan perlahan, berharap hal itu bisa mengangkat beban berat di pundak sekaligus menenangkan hati. Enggan untuk menghabiskan isi piring akhirnya aku menyudahi santap siang. Mengatur sendok garpu dengan rapi dan mengambil gelas berisi air teh hangat serta meneguknya beberapa kali. Aku memegangi benda kaca bening itu sejenak, lalu meletakkannya ke tempat semula. "Mau ke mana, Di?" tanya Bu Surti yang duduk di kursi seberang. "Ke kamar, Bu. Mau istirahat sebentar," jawabku. "Ibu mau bicara sebentar, kita ke ruang kerja, yuk," ajaknya sambil berdiri dan menjauh. "Vi, aku tinggal dulu, ya. Kamu nanti istirahat aja di kamar," tukasku pada gadis berparas separuh luar negeri yang masih menyantap hidangan dengan santai. "Aku mau ke t
TBE 23Dewi malam kembali bersembunyi. Bintang pun ikut berselimut pekatnya langit. Suasana hening di sekitar menambah sepinya waktu, yang terdengar hanya bunyi hewan-hewan dan air mancur di sudut halaman. Semenjak selesai salat Isya, aku menghabiskan waktu di teras samping sambil membaca buku tentang agro wisata. Ayah mendapat tawaran dari rekan bisnisnya untuk ikut bergabung dalam pembukaan tempat wisata di kawasan sekitar kaki Gunung Salak. Ini merupakan hal baru bagi perusahaan yang selama ini bergelut di bidang percetakan serta perdagangan ekspor impor. Tentu saja kami harus berhati-hati karena bisnis ini membutuhkan modal besar. "Mas, dipanggil Ayah," ujar Bu Surti yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. "Iya, Bu, sebentar," jawabku sambil menandai buku dengan bulu ayam, kemudian berdiri dan jalan menuju ruang tamu, tempat di mana Ayah sudah menunggu. Aku terkesiap ketika melihat Viana yang ternyata sudah ikut