TBE 35Perjalanan kembali ke Jakarta kali ini membuatku merasa sedikit sedih. Terutama setelah proses pemindahan kerangka ke bukit kecil tersebut, Viana memang tidak pernah lagi menampakkan diri di hadapanku. Mengenang masa-masa awal pertemuan kami membuatku sangat merindukannya dan masih berharap agar suatu saat nanti bisa bertemu kembali dengannya.Sepanjang perjalanan menuju Ibu Kota, pikiranku terbagi antara Viana dan Risty. Kedua sosok perempuan itu benar-benar telah membuatku bingung dengan perasaan sendiri yang menyayangi mereka secara bersamaan. Hal yang benar-benar aneh dan belum pernah dirasakan sebelumnya. Kala mobil yang dikemudikan Johan ini hendak lurus ke Ciawi, aku justru memintanya untuk berbelok ke Cijeruk. Entah kenapa aku seolah-olah tengah kembali menjelma sebagai Haryadi Atmaja yang tengah mengendarai motor bersama dengan Viana di malam yang membuat kisah cinta mereka bermula. Terbayang kembali perjalanan itu dan aku mengarahkan Johan ke tempat yang pernah menj
TBE 36Hiruk pikuk Kota Jakarta kembali membuatku pusing. Setahun tidak terjebak kemacetan menjadikan makian berulang kali terlontar dari mulut. Meskipun jarak tempuh dari rumah menuju kantor sebetulnya tidak terlalu jauh, tetapi karena kepadatan jalan raya membuat jaraknya seakan-akan ratusan kilometer. Setibanya di tempat parkir sebuah gedung perkantoran di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, aku turun dan menutup serta mengunci pintu Xpander putih yang sudah menemani sejak dua tahun silam, tetapi diistirahatkan ketika aku memutuskan untuk menyepi di Salabintana, Sukabumi. Sudut bibirku terangkat membingkai senyuman, merasa senang karena Dani dan pak Idim benar-benar menunaikan janji untuk merawat kendaraanku dengan baik. Setelah beberapa saat termenung, aku memutar tumit dan jalan menuju pintu masuk gedung. Dua petugas keamanan serentak menghormat, lalu menyalami dan menyapaku dengan ramah.Hal yang sama juga dilakukan beberapa karyawan lama yang pastinya mengenaliku, sedangk
TBE 37Angin yang bertiup kencang tidak menyurutkan niatku untuk terus bertahan duduk di kursi teras belakang bersama dengan Risty. Perempuan itu tampak sibuk merapikan catatannya yang berisi daftar barang-barang yang harus dipersiapkan untuk acara lamaran kami yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Sekaligus daftar barang-barang antaran pernikahan yang akan digelar satu bulan setelah lamaran. Ibunya Risty saat ini tinggal di Malang bersama dengan ayah tiri dan kedua adik lelakinya. Ayah kandung Risty yang merupakan anak bungsu Kakek Munir telah wafat saat Risty masih kecil. Kala Risty SMP, ibunya menikah kembali dan ikut pindah bersama suami barunya yang merupakan duda beranak satu. Sebab itulah semua urusan pembelian ditangani sendiri oleh Risty dan aku mendukung dengan menyediakan dana serta doa agar semuanya berjalan lancar.Aku baru dua kali melihat ibunya Risty yang bernama Rini, dan kedua adik lelaki kandungnya yang bernama Dirga dan Irfan, itu pun melalui sambungan video jar
TBE 38"Apa Viana menemui Mas?" tanya Risty, sesaat setelah kami berada di mobil.Aku tidak langsung menjawab, melainkan menekan pedal gas hingga mobil keluar dari pekarangan rumah. Setelah melewati depan blok barulah aku menoleh ke kiri dan mengamatinya sesaat, sebelum berkata, "Ya, tadi malam dia datang. Dan ... dia sekarang ada di kamar utama." "Sudah kuduga, karena sejak tadi ada hawa aneh di area depan kamar itu." Risty menyentuh bagian samping kiri rambutku dan berucap, "Ubanmu pun keluar lagi, bahkan lebih banyak." "Mukaku berubah nggak?" "Kayaknya nggak." Dia menunjuk ke punggung tangan. "Tapi yang itu udah kelihatan kerut," sambungnya. Aku mendengkus pelan, lalu bertanya, "Apakah akan begini terus sampai aku sepenuhnya tua?" "Mungkin begitu, kayak kata guru spiritualku." "Kapan aku bisa ketemu beliau?" "Nanti, Mas. Beliau harus melakukan sesuatu agar pada saat bertemu nanti bisa langsung membebaskanmu dari lingkaran pesona Viana.""Viana cuma ingin melindungiku, Ris."
TBE 39Aroma harum yang menguar mencapai hidungku yang sensitif. Aku membuka mata dan memindai sekitar, kemudian menyadari bila saat ini aku tengah menginap di rumah Kakek Munir. Aku bangkit dan duduk, mengumpulkan nyawa yang masih belum kembali sepenuhnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Setelahnya aku berdiri dan jalan gontai ke kamar mandi yang berada di sudut kiri ruangan ini. Saat aku keluar belasan menit berikutnya, kamar sudah dalam kondisi terang-benderang berkat gorden yang dibuka lebar-lebar hingga sinar sang surya menembus masuk melalui jendela yang juga telah terbuka. Aku melihat Risty tengah merapikan tempat tidur dengan sangat serius. Perlahan aku jalan menghampiri dan memeluk pinggangnya dari belakang. Gadis itu menjerit tertahan sebelum akhirnya diam dan mengusap dada sambil menoleh dan mendelik ke arahku. "Mas nih, ngagetin mulu," protesnya. "Masa kamu nggak lihat aku di depan pintu kamar mandi?" tanyaku tanpa menghiraukan omelannya. "Aku lagi serius, lagian jal
TBE 40Acara kencan yang tertunda dari minggu lalu akhirnya bisa terealisasi. Aku menggandeng tangan kanan Risty dengan rasa bangga yang tidak bisa ditutup-tutupi, terutama karena saat ini pendampingku itu tampil sangat memukau. Gaun panjang berbahan halus ungu muda itu membalut tubuh rampingnya dengan pas. Rambutnya diikat sedikit di bagian tengah sementara sisanya dibiarkan tergerai di punggung. Wajah aslinya yang sudah cantik itu kini didandani make up tipis yang kian memancarkan keelokan parasnya. Tas bahu putih kecil dan sepatu senada menyempurnakan penampilan gadis tersebut. Aku tahu Risty bukan tipe yang senang dengan gaun terbuka bagian atasnya, sehingga bila saat ini kami dipandangi banyak pengunjung restoran tidak membuatku khawatir bila aset keindahannya turut dinikmati banyak pria. Bahkan aku sangat bangga karena sebentar lagi dia akan menjadi milikku seutuhnya. "Dari tadi mandangin mulu, Mas," lirih Risty, beberapa saat setelah kami duduk di kursi yang sudah kupesan da
TBE 41Angin berembus lembut menerpa kulit. Daun-daun bergoyang dan beberapa helai terjatuh serta melayang ke tanah. Kicau burung-burung peliharaan Ayah di samping kanan rumah terdengar hingga ke teras di mana aku dan Risty alias Isti berada. Sejak aku keluar beberapa menit lalu, perempuan bergaun hijau panjang itu belum mengatakan apa-apa. Aku berusaha menahan pandangan agar tetap lurus ke depan meskipun sebenarnya ingin menoleh ke kanan dan memandanginya sampai puas. Aku lupa kapan terakhir kali kami bertemu. Ingatan sebelum berada di Salabintana masih belum kembali sepenuhnya dan itu membuatku gundah karena sangat ingin mengurai semuanya agar dapat menemukan Peter, sebab di masa Haryadi saat inilah ada petunjuk tentang pria tersebut. "Selamat atas pernikahannya, Mas," ucap Isti dengan suara pelan. "Dan ini ada kado dariku," sambungnya sambil mengangkat kotak berukuran cukup besar dari lantai dan meletakkannya di atas meja bulat yang berada di antara kedua kursi yang kami tempati
TBE 42Wajah pucat kesi Viana membuatku iba dan sangat menyesal telah melukai hatinya. Seharusnya semenjak akad, aku harus mengubur dalam-dalam nama Isti. Akan tetapi, semua telah terjadi, dan yang harus dilakukan sekarang adalah membantu Viana memulihkan diri. Perempuan berhidung mancung itu masih marah padaku, karena sejak bangun beberapa belas menit lalu dia sama sekali tidak mau melihatku. Hal itu membuatku merasa kian bersalah, terutama karena mengingat pengorbanannya yang kabur dari rumah hanya karena ingin terus bersamaku. "Vi, mau minum?" tanyaku untuk kesekian kalinya. Namun, dia bergeming. Jangankan untuk menjawab pertanyaan, menoleh pun tidak. "Kamu harus banyak minum, itu kata dokter," sambungku sembari mengangsurkan segelas air.Viana masih bungkam dan aku sudah kehabisan kata-kata untuk memujuknya. Merasa lelah untuk terus bertanya, akhirnya aku berdiri dan meletakkan gelas ke atas lemari kecil di samping kanan ranjang. Aku baru hendak membalikkan badan ketika mendenga