TBE 02
Semenjak saat itu Viana selalu hadir setiap hari. Terkadang dia muncul di waktu petang. Duduk manis di seberang meja makan sambil menemaniku bersantap. Kadang pula dia hanya muncul selintas di halaman, bolak-balik dari ujung kiri ke kanan sambil memegangi payung berenda khas Noni Belanda.Malam ini, seperti hari-hari sebelumnya Viana.sudah duduk di kursi seberang meja. Memandangiku seraya mengulaskan senyuman sambil merapikan rambut panjangnya yang tergerai, dengan jemari lentik berpoles pewarna merah.Kali ini Viana mengenakan pakaian yang bagus. Bila biasanya dia akan menggunakan gaun panjang dengan warna-warna cerah, tetapi kali ini berbeda. Gaun biru tua itu tidak terlalu panjang dan kuperkirakan hanya sebatas betis. Aksen renda putih di bagian bawah dada dan tiga buah kancing mutiara sebagai aksesori tambahan, menjadikan tampilannya sangat anggun.Saat Bu Ismi, istrinya Pak Tono meletakkan minuman hangat untukku di atas meja, tiba-tiba saja Viana memunculkan diri dengan seringai jahil di wajahnya. "Astagfirullah!" seru perempuan paruh baya itu."Kenapa, Bu?" tanyaku sembari menghentikan gerakan menyuap. "Itu ... hantu itu ...." lirihnya sambil menutup wajah dengan tangan kiri. Tatapannya mengarah lurus ke seberang meja, tempat di mana sosok Viana balas menatap sembari menaikkan alis.Aku berdehem untuk mengalihkan perhatian Viana, dan saat dia menoleh aku langsung menggerakkan dagu untuk memberikan kode agar dia segera pergi. Viana mengerucutkan bibir dan melipat tangan di depan dada. Mengangkat hidung bangirnya tinggi-tinggi sebelum sosoknya perlahan menghilang. "Hantu yang mana?" tanyaku pura-pura lugu. Padahal dalam hati aku ingin tertawa. Bu Ismi membuka separuh tangan kanan untuk mengintip. Kemudian, menurunkan tangan dan mengusap dada beberapa kali. "Hantu cewek bule. Berbaju biru. Rambutnya panjang," jelas Bu Ismi. Matanya berputar ke sekeliling ruangan untuk memastikan Viana telah tidak ada. "Emang, dia sering muncul?" "Iya. Konon katanya, rumah ini dulu adalah rumah orang tuanya," jawab Bu Ismi sembari menarik kursi di sebelahku. Beliau duduk dan menuangkan air ke dalam gelas, kemudian meminumnya hingga habis. Aku memandangi Bu Ismi dan menunggunya melanjutkan cerita. Cerita awal mula vila ini memang sangat ingin kuketahui. Terutama karena kemunculan Viana, dan beberapa makhluk tak kasatmata lainnya yang beberapa kali tertangkap mata tengah melintas di halaman depan ataupun belakang."Ibunya dulu nyai Belanda, istri simpanan gitu. Saat ayahnya kembali ke Belanda, Viana dan ibunya tidak diajak serta. Mereka tetap tinggal di sini sampai ibunya wafat. Makamnya ada di bukit itu," terang Bu Ismi sambil menunjuk bukit di samping kanan villa. "Terus, Viana gimana?" tanyaku. Sangat penasaran dengan lanjutan ceritanya. "Viana menjual rumah ini dan pindah ke kota. Lama tidak terdengar kabar beritanya. Ada kali puluhan tahun," jelas Bu Ismi. "Pembeli villa pertama, pak Dirga menjual villa ini ke pak Ridwan, orang tuanya mas Farid. Terus ibu dan keluarga diajak tinggal di sini untuk mengurus villa," sambungnya. Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Kemudian, melanjutkan makan malam yang tertunda sambil mendengarkan dongeng Bu Ismi dengan saksama, berharap ada setitik informasi yang bisa membuka tabir tempat tersebut.Berbelas menit berikutnya, Bu Ismi pamit pulang ke rumahnya. Aku memandangi punggung perempuan paruh baya itu hingga sosoknya menghilang di balik kabut tebal yang menyelimuti area sekitar vila.Udara yang sudah dingin makin membekukan tubuh. Aku merapatkan jaket berbahan babytery yang cukup mampu melindungi dari dinginnya malam. Meraih topi rajut dari atas meja bufet ruang tamu dan mengenakannya hingga menutupi tengkuk. Kemudian, menarik senter yang digantung di dinding belakang pintu, menyalakan benda itu hingga sinarnya cukup terang. Menutup dan mengunci pintu depan, lalu jalan ke luar. Menyusuri jalan di depan villa hingga sampai di pagar yang sudah terkunci. Membuka gembok dan mengangkat ujung pintu yang sedikit macet, sebelum membuka pagar dan menutupnya kembali. Melangayunkan langkah melalui jalan sepi. Melewati dinding berlumut dari tembok pembatas dengan rumah sebelah. Penghuni rumah di sebelah kanan ini adalah seorang pria tua yang ditemani seorang asisten rumah tangga dan dua orang satpam, yang merupakan warga dari kampung sekitar tempat ini. Selama hampir satu bulan tinggal di sini, hanya sesekali aku bertemu dengan penghuni rumah. Selain karena aku yang keluarnya tidak tentu, mereka juga memang jarang keluar bila tidak ada keperluan. "Mau ke mana, Mas Anto?" tanya Pak Rohim, satpam rumah sebelah, sesaat setelah aku tiba di dekat pagar."Mau ke warung, Pak. Pengen ikutan ngobrol sama warga yang suka nongkrong di sana," jawabku seraya menyunggingkan senyuman."Nongkrong di sini aja, bareng bapak. Kita ngopi sambil ngemil ini," tukas Pak Rohim sambil mengangkat piring berisi makanan yang masih mengepul. Aku terdiam sesaat, kemudian melangkah mendekati beliau dan mendudukkan diri di samping kanan. Pak Rohim dengan cekatan menuangkan kopi hitam dari termos kecil yang selalu beliau bawa. Memberikan gelas itu padaku, serta menggeser piring berisi singkong ke tengah-tengah bangku panjang yang kami duduki. "Pak Iman, ke mana? Tumben Bapak cuma jaga sendirian?" cecarku basa basi memecah kesunyian. "Iman lagi sakit. Demam turun naik dari kemarin," jawabnya. "Kayaknya sih karena sawan, ketempelan hantu cewek itu," lanjutnya yang membuatku terkesiap. "Ketempelan?""Iya, dia bilangnya sih gitu, Mas. Dua malam yang lalu, dia kebelet buang air. Udah nggak kuat nahan, mau ke kamar mandi di dalam rumah juga udah nggak sanggup, katanya. Akhirnya dia pipis di bawah pohon itu," terangnya sambil menunjuk ke pohon jambu air yang rimbun. Sebagian batang pohon itu menjorok ke arah halaman villa yang kutempati. "Terus, habis itu dia kayak melihat hantu noni Belanda itu lagi duduk di batang pohon yang ke arah villa. Langsung lari tunggang langgang si Iman. Ngebangunin bapak yang lagi tidur di kursi," ungkapnya sembari mengarahkan jari telunjuk pada kursi berbahan kulit yang sudah pudar warnanya yang berada di sudut kanan."Pulangnya dia mengeluh nggak enak badan. Ehh, demamnya jadi keterusan sampai sekarang," sambung Pak Rohim sambil memperhatikan sekeliling. Mungkin beliau takut obrolan kami ini didengar oleh orang lain. Aku hanya bisa manggut-manggut mendengarkan beliau terus berbicara. Hal seperti ini baru pertama kalinya aku dengar. Sementara keluarga Pak Tono mengaku hanya beberapa kali melihat kelebatan makhluk astral di sekitar vila, tetapi mereka tidak pernah ditakut-takuti.Kabut kian tebal dan suhu udara makin menurun drastis. Kendatipun sudah mengenakan jaket tebal dan kepala tertutup, tetap saja aku kedinginan. Pak Rohim yang melihatku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan mengajakku pindah ke ruangan kecil yang merupakan tempatnya beristirahat yang letaknya tepat di samping kiri garasi.Kami melanjutkan pembicaraan sambil menikmati cangkir kopi kedua. Sekali-sekali aku memindai sekitar, dan menuruti intuisi kali ini aku memandangi pohon jambu air di bagian atas. Tatapanku bersirobok dengan sepasang mata beriris biru di salah satu dahan.TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu
TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar
TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec
TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi
TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen
TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru