Madeline menatap keluar jendela rumah kecil dan sederhana, milik neneknya dulu. Dirinya menghela napas dengan berat, meratapi kehidupannya yang berubah 360°. Pernikahannya selama 5 tahun, akhirnya kandas. Itu karena emosi sesaat, di mana dirinya menuntut cerai tanpa pikir panjang dan menolak semua kompensasi dari mantan suaminya itu.
Saat ini, barulah dirinya menyesal. Benar, bukan menyesal karena perceraian, tetapi karena bodoh menolak harta dari suaminya. Madeline Lu adalah menantu keluarga Kang, keluarga kaya yang memiliki bisnis travel. Suaminya, tepatnya mantan suaminya adalah putra tunggal dan pewaris bisnis keluarga itu. Namun, mantan suaminya itu sangat penurut kepada sang ibu, sebenarnya itu bukanlah hal yang buruk. Namun, mantan suaminya adalah anak mami tulen. Semua hal yang berhubungan dengan mantan suaminya diatur oleh sang ibu, bahkan setelah mereka menikah.
Dulu, Madeline mengenal suaminya saat dirinya bekerja di salah satu Bank swasta ternama di kota. Saat itu, dirinya menjabat sebagai Regional Manager. Memiliki wajah cantik dan badan proporsional, layaknya seorang model. Orang tuanya meninggal saat dirinya berusia 5 tahun, semenjak saat itu dirinya diasuh oleh kakek dan neneknya di rumah ini. Kakek meninggal saat Madeline berusia 20 tahun dan sejak saat itu kesehatan nenek mulai memburuk.
Beruntung, Madeline adalah murid teladan dan setelah tamat sekolah, dirinya langsung bekerja sambil kuliah. Berkarir mulai dari posisi paling bawah dan dengan pasti merangkak naik. Di usia 25 tahun, Madeline mendapat promosi jabatan sebagai Regional Manager dan tepat saat itulah dirinya bertemu dengan mantan suaminya itu.
Banyak orang yang iri terhadap dirinya, selain cantik dirinya juga memiliki otak brilian serta calon suami kaya raya. Mereka berkencan hanya 3 bulan dan setelah itu langsung melangkah ke jenjang pernikahan. Madeline berhenti bekerja dan mendedikasikan hidupnya untuk suami tercinta.
Setelah menyaksikan Madeline menikah, satu minggu setelahnya nenek meninggal dunia dengan tersenyum. Saat itulah dirinya menjadi sebatang kara, hanya tinggal suaminya keluarga yang dimiliki.
Namun, pernikahan tidak sesuai dengan yang dibayangkan. Ibu mertua sangat suka mencampuri urusan keluarga mereka dan suaminya sama sekali tidak keberatan. Madeline berusaha mengalah dan mengalah, itu yang dapat dilakukannya saat itu. Memasuki usia empat tahun usia pernikahan, Madeline belum kunjung hamil dan hal itu membuat mertuanya murka serta mulai mencarikan wanita lain untuk suaminya. Bayangkan betapa buruknya itu dan sangat menyakiti perasaannya. Dirinya juga tahu, diam-diam suaminya itu mengikuti kencan yang telah diatur oleh mertuanya itu.
Akhirnya, beberapa bulan kemudian Madeline hamil dan itu membuat suami serta mertuanya memujanya setengah mati. Memperlakukannya seperti keramik antik yang seakan dapat pecah kapan saja. Masuk tahun kelima pernikahan mereka, Madeline melahirkan. Tubuhnya yang semula hanya berbobot 45 kg, naik menjadi 75 kg selama masa kehamilan. Itu tentu saja dapat terjadi, karena suami dan mertuanya memberinya makan paling sedikit 5 kali dalam satu hari.
Namun, kehidupannya kembali terpuruk saat bayi yang dilahirkannya tidak sempurna. Bayi mungil itu terlahir menderita cacat otak karena kurangnya asupan oksigen saat berada di dalam kandungan, selain itu juga memiliki masalah jantung. Suami dan mertua menyalahkan dirinya yang dianggap tidak menjaga kandungan dengan baik. Madeline sendirian di kamar rumah sakit yang dingin, sedangkan bayinya yang lemah masih berada di dalam ruang NICU.
Saat itulah, kehidupan Madeline bagaikan di neraka. Dirinya pulang ke rumah dalam waktu 5 hari, sedangkan bayinya tetap tinggal di rumah sakit sampai satu bulan berikutnya. Pada saat bayinya diijinkan pulang, di saat itulah Madeline bertengkar hebat dengan suami serta mertuanya yang tidak ingin bayi malang itu masuk ke dalam kediaman mereka. Madeline bagaikan gila dan berteriak serta memaki untuk pertama kalinya. Akhirnya setelah pertengkaran yang alot, Tuan Kang ayah suaminya buka suara dan mengijinkan cucunya pulang. Madeline lega dan berterima kasih kepada ayah mertuanya itu.
Namun, semenjak saat itu dirinya dimusuhi oleh suami dan ibu mertuanya. Madeline tidak peduli, dirinya menjaga bayinya yang sulit dirawat. Entah berapa kali, tengah malam dirinya mengendarai mobil sendiri membawa bayinya ke rumah sakit. Kembali bayinya dirawat intensif, bahkan tidak ada yang memberikan nama untuk bayi tercintanya. Madeline memberi bayinya nama Sonya, sama seperti nama nenek yang begitu dicintainya.
Kehidupan Madeline selama tiga bulan setelah melahirkan adalah bolak-balik rumah sakit untuk menemani Sonya. Namun, komplikasi dan Yang Maha Kuasa memiliki kehendak lain, yaitu memanggil Sonya. Bayinya meninggal di usia tiga bulan dan di saat itulah Madeline merasa separuh jiwanya turut melayang pergi. Pemakaman diurus dan dihadiri olehnya sendirian, benar sendirian.
Satu minggu setelah kepergian bayinya, suami dan ibu mertuanya memasuki kamarnya. Madeline menempati kamar tamu, semenjak dirinya pulang bersama bayinya waktu itu. Suaminya tidak ingin terganggu oleh tangisan bayi yang tidak pernah berhenti.
"Tanda tangani itu!" ujar ibu mertuanya sambil melemparkan sebuah dokumen di hadapan Madeline.
Madeline yang masih berduka menatap nanar ke dokumen itu dan bertanya lirih, "Apa itu?"
"Kontrak yang harus kamu penuhi jika ingin tetap menjadi istriku!" ujar suaminya.
Dengan tangan gemetar, Madeline memungut dokumen itu dan membacanya. Amarah menguasai hatinya, saat membaca isi kontrak itu. Mereka ingin dirinya disterilkan agar tidak dapat hamil lagi, serta dirinya juga harus bersedia jika suatu hari suaminya membawa wanita lain masuk ke dalam kediaman ini untuk melanjutkan garis keturunan Keluarga Kang.
Kedua tangannya meremas kertas dokumen itu dan melemparkannya tepat ke wajah suaminya itu.
"Itu bukan kesalahanku! Wanita hamil karena sel telur yang dibuahi! Apakah kamu tidak belajar biologi?" teriak Madeline di hadapan suaminya itu.
"Jadi kamu menyalahkan diriku?" tanya suaminya penuh amarah.
"Apakah hal tersebut masih penting? Anak kita sudah berpulang, bahkan dirimu tidak mengantar kepergiannya!" ujar Madeline penuh kepedihan.
"Aku tidak akan menandatangani dokumen itu!" ujar Madeline dingin.
"Kau, kau wanita tidak tahu malu! Jangan harap kamu dapat hidup santai menikmati kemewahan keluarga Kang!" teriak ibu mertuanya.
"Tidak sudi! Aku tidak sudi! Kirim surat cerai ke alamat rumahku! Aku tidak butuh satu sen pun kekayaan kalian. Hanya bercerai!" teriak Madeline. Seketika hatinya terasa ringan, seakan belenggu yang mengikat dan membuatnya kesulitan bernapas telah terlepas.
Setelah itu, Madeline mengemas pakaian dan keluar dari rumah besar keluarga Kang tanpa uang sepeserpun.
Dan disinilah dirinya berakhir. Satu minggu setelah keluar dari rumah besar keluarga Kang, dirinya sadar akan kesulitan tanpa uang yang mana selama ini tidak pernah dirasakan olehnya. Tabungannya tidak seberapa dan rumah mungil milik neneknya ini harus diperbaiki. Dirinya harus kembali mencari kerja dan Madeline berjalan ke lemari tua ruang tamu. Tangannya mulai sibuk mencari dokumen pendidikannya. Benar dirinya akan kembali bekerja.
Ah, apa yang dicarinya ditemukan dengan mudah dan itu membuat Madeline yakin ini adalah pertanda yang baik. Beruntung, ponsel canggih yang dibelikan suaminya, dibawanya. Jika tidak, Madeline akan kesulitan mencari lowongan pekerjaan.
Namun, Madeline tidak tahu, saat ini tengah terjadi keributan di kediaman Kang. Keributan itu akan segera menyeretnya kembali sebagai menantu keluarga Kang, karena dirinya bahkan belum menerima surat cerai yang dinantikannya.
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak