“I've found the love you were not able to give me with someone else. She makes me happy Flora. She tells me how much she adores me. How could I not fall for her?” ------------ On their third marriage anniversary, Flora's husband announces he's leaving her for another woman. At first, she's willing to let him off and end things quietly, but when she discovers his mysterious mistress is her stepsister who has bullied her since childhood, she decides to hurt them both the way they have hurt her. To do this, she decides she's going to team up with her ex's rival, Damien Hayes, to destroy him. But Damien doesn't only want to help Flora - he also wants her love, and he won't take no for an answer. In order to get what she wants, Flora is going to have to risk her heart falling in love again.
Lihat lebih banyakHari ini adalah hari yang sangat menyebalkan bagi gadis berwatak dingin tapi berparas manis ini, bagaimana tidak? Untuk ketiga kalinya dia harus pindah sekolah hanya karena urusan pekerjaan ayahnya yang seorang abdi negara. Ya! Tentara.
"Sial! Tiga kali gue pindah sekolah gimana mau adaptasi kalo pindah-pindah gini?" gumam gadis ini sambil menatap kosong kaca mobilnya.
"Mama tau kok kamu pasti kesel yang sabar ya, ini sudah menjadi keharusan. Papamu seorang tentara yang harus rela pindah-pindah demi urusan negara," ucap wanita ini sambil memegang pundak kepala putrinya, ia berusaha menenangkan pikiran gadis ini.
Suasana dalam mobil pun hening. Gadis itu tidak menjawab omongan Mamanya dia terus memandangi kaca mobilnya memperhatikan setiap kendaraan yang melewati di sebelah mobilnya, hanya ada suara klakson dan kecohan burung di pagi hari. Untung saja jalanan renggang tidak seperti pagi biasanya di ibukota berusaha berangkat pagi sekali agar tidak terjebak macet namun kalian pasti tau sendirilah keadaan jalanan pagi ibukota, tempat tinggal gadis ini sebelum ia pindah ke Bandung, sekarang.
Akhirnya sampai pada tujuan yaitu sekolah dengan almamater bertuliskan SMA ABDI BANGSA. Ya, sekolah baru Greesa yang bertempatkan di Bandung ini, setidaknya ada hal yang bisa ia syukuri atas pindahnya ia kesini yaitu udara yang sejuk walaupun matahari sudah terbit dan suasana yang tenang berbeda dengan riuhnya ibukota.
Greesa menyalami Mamanya lalu melangkahkan kakinya keluar dari mobil, "Mama nanti jemput ya, kan Gressa belum kenal sama siapa-siapa jadi gak bisa nebeng," ucap gadis ini seraya tersenyum kecut pada Mamanya, menutupi rasa kesalnya.
"Siap tuan putri!" tegas Devi, sembari hormat ke arah putrinya.
Greesa tidak langsung memasuki sekolah itu, justru terus menatap mobil putih milik Mamanya hingga hilang dari pandangannya, lalu ia membalikkan badan berhenti sejenak menatap almamater bertuliskan SMA ABDI BANGSA. Dari kejauhan ada yang berlari menuju gerbang sekolah, tanpa sengaja seseorang menabrak lengan kirinya. Ia terlihat buru-buru.
"Sorry!" ucapnya sembari menatap beberapa detik ke arah Greesa.
Tanpa rasa bersalah ia berlari masuk ke dalam sekolah tanpa menunggu jawaban dari gadis yang ditabraknya ini.
"Jalan seluas ini kok bisa-bisanya dia nabrak gue? Emang gue kasat mata gitu? Ya Tuhan help me! Ini hari pertama masuk jangan sial-sial amat dong," kata gadis ini meratapi nasibnya yang kurang beruntung di pagi hari, tidak lebih tepatnya disekolah barunya.
Dari kejauhan, di depan kelas tepatnya. Cowok yang menabrak lengan Greesa tadi menatap ke arah gadis ini tatapannya yang penuh rasa ingin tahu tentang siapa Greesa ini.
"Siapa dia? Kenapa gue gak kenal dia? Apa dia murid baru?" Monolog Raka.
***
Upacara bendera hari Senin akan dimulai dalam 5 menit.
Bunyi bel pertanda upacara bendera pun berkumandang di mana para siswa sibuk berlarian ke arah lapangan upacara dan sebagian lagi terlihat sibuk mencari dasi dan topi mereka masing-masing.
Sepasang sorot mata siswa-siswi SMA ABDI BANGSA ini tertuju pada gadis cantik berambut sepinggang dengan kuncir kuda. Ia terlihat sedang merapikan dasi yang terpakai di kerah seragam nya.
"Wihh! Murid baru kah cantik bener," seru Evan sambil menunjukkan jari ke arah gadis itu.
"Lebih tepatnya sasaran baru Raka ini mah!" sahut Deva tak kalah heboh.
Greesa bingung harus baris dimana sekarang, ia lupa tidak menemui ketua yayasan terlebih dahulu untuk menanyai masuk ke kelas apa dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Greesa berniat akan menemui ketua yayasan setelah upacara ini usai.
Sial banget sih! batin Greesa merutuki.
"Hei! Nak kamu murid baru kan tadi ketua yayasan nunggu kamu di ruangannya. Kata beliau mau ngantar kamu ke kelasnya, berhubung kamu tidak kesana tadi mungkin terburu-buru untuk upacara, jadi kamu bisa baris bareng anak-anak XI IPS A dulu ya." sahut Bu Gina melihat wajah Greesa yang asing.
"Eh iya, Buk. Maaf tadi udah ada bel upacara gak sempet," kata Greesa sopan sembari menundukkan kepalanya.
Bu Gina mangut-mangut sembari mengedikkan dagu ke jajaran anak kelas XI IPS A. "Silahkan baris,"
Greesa mengangguk, "iya, Buk."
***
"Woi, tolong nyet!" ucap Raka sambil menjulurkan tangan kanannya ke arah Deva.
"Cailahh, tinggal berdiri sendiri susah apa?!" balas Deva kesal namun tetap meraih tangan Raka.
Raka tak menjawab ocehan Deva, dia langsung berdiri tegap dengan sikap tangan istirahat.
"Hei, Rak. Coba lu liat tuh cewek yang baris paling belakang di pojok kiri kelas 11 IPS A," kata Deva sambil menunjuk ke arah barisan kelas Greesa.
Raka pun langsung mengalihkan pandangannya yang tadinya hanya menatap ke arah tiang bendera sekarang matanya mengikuti arah jari Deva.
Raka terdiam sejenak. Memandangi gadis itu dan sepertinya gadis yang ia lihat ini tidak menyadari kalau Raka sedang memandanginya dengan rasa penasaran.
"Cantik tapi gue gak kenal," ucap Raka lirih.
"Woi nyet! Betah banget kalo liat yang bening dikit!" bentak Deva sambil menepuk kasar pundak kanan Raka.
"Apa si gue dah tobat njir, gue cuma bingung dia siapa?" jawab Raka.
"Apa! Gak salah denger gue? Seorang Affandra Raka Praditya pensiun dari jabatannya sebagai playboy cap kapak!" kata Deva tanpa rasa berdosa.
"Inget noh tujuh pacar lo mau di kemana-in?!" sambung Evan
"Yaelah, Van. Dia kan cuma bacot doang, dari dulu bilang tobat tapi sehari udah dapet puluhan cewek!" ucap Deva enteng.
Raka tak terima di katakan playboy cap kapak oleh Deva, ya walaupun itulah faktanya.
"Mending lo tobat deh, Rak sepatu. Daripada lo dapet karma! Inget karma tak semanis kurma!" seru Deva sadis.
"Ye bacot lo anying, cari pacar sono gih jomblo mulu keburu dipinang sama ajal mampus lo!" timpal Raka tanpa dosa.
"Astagfirullahaladzim, itu mulut pedes banget habis makan berapa kilo boncabe lo hah?!" seru Deva tak terima.
"Hellaww, kalian pada ngapain woi upacara udah hampir mulai!" ucap Evan yang muak mendengar perdebatan mereka.
"Ssttt, rumpi no secret!" seru Raka dan Deva sambil menutup bibir mereka dengan jari telunjuk seolah mengikuti gaya salah satu acara tv show.
Seorang kepala sekolah keluar dari ruangannya menuju mimbar upacara yang tak lain dia akan memimpin upacara ini, suasana pun menjadi hening melihat akan di mulainya ritual hari Senin yang bisa di bilang sedikit membosankan bagi sebagian siswa-siswi.
"Upacara hari Senin siap dimulai!" seru lantang pemimpin upacara.
"Laksanakan!" jawab pembina upacara.
Upacara pun di mulai dengan khikmat seperti biasanya tidak terdengar kegaduhan dari siswa-siswi maupun terdapat masalah speaker mati saat pembina upacara menyampaikan amanatnya.
Suara amanat dari pembina dan tiupan angin menjadi sumber suara di tengah lapangan ini, dedaunan banyak yang berjatuhan dari pohon beringin di pojok lapangan.
"SAKIT BEGO!" teriak salah satu siswa.
Suara teriakan itu terdengar memancing seluruh peserta upacara di tengah lapangan ini untuk mengarahkan matanya pada dua siswa yang kini tertunduk malu karena kesalahannya. Pembina upacara menatap mereka dengan tajam.
"Kalian berdua maju ke depan!" seru pembina upacara.
Sepasang trouble maker ini langsung maju ke depan mematuhi perintah pembina dan berdiri di sebelah mimbar upacara mengikuti jalannya upacara di hadapan seluruh siswa.
Wajah mereka berdua tidak asing bagi semua siswa yang ada di tengah lapangan ini banyak yang mengenal mereka di sekolah ini tapi berbeda dengan Greesa yang sorot matanya kini tertuju pada Raka wajahnya memang tidak asing baginya tapi dia belum mengenalnya. Ya, dia lah sumber suara teriakan tadi dan yang berdiri di sampingnya tak lain adalah Deva.
Itu kan yang nabrak gue di depan tadi, sekarang dia di hukum, apa dia suka membuat masalah dengan orang lain bahkan guru? tanya Greesa dalam hati
Sepasang mata Raka menelusuri setiap barisan kelas di lapangan ini seperti layaknya sedang mencari seseorang. Memang benar dia sedang mencari cewek yang di tabraknya di depan gerbang tadi
Raka pun menemukan gadis itu di pandangannya, mata mereka saling bertemu hanya berseling beberapa detik saja Greesa sudah langsung mengalihkan pandangannya dari Raka seolah dia tak ingin matanya bertatapan dengan cowok itu.
"Upacara telah selesai semua pasukan dibubarkan!" seru pemimpin upacara.
Semua siswa terlihat ramai berhamburam menuju kelasnya masing-masing tak terkecuali dua siswa yang di hukum tadi mereka pun ikut bubar karena hukumannya hanya berdiri di depan sepanjang amanat dari pembina dan selesainya upacara.
Raka berlari menuju gadis itu lalu memperlambat langkah kakinya ia berusaha menyamai langkah gadis itu seolah-olah tak sengaja berada disebelahnya entah apa yang direncanakan Raka pada gadis itu.
Greesa hanya melirik ke arah Raka dia tidak berbicara apapun pada Raka ia terus berjalan sampai langkahnya kini terhenti karena tiba-tiba seseorang berjongkok di hadapanya mengikat tali sepatu milik Greesa yang lepas, Greesa terkejut ia tidak bisa melakukan apa-apa ia hanya menunggu cowok ini selesai mengikat tali sepatunya.
"Woi nyet masuk pak Budi otw kelas tuh!" teriak Deva dari depan kelas.
Raka pun langsung berdiri lantas tersenyum singkat pada Greesa, meninggalkannya begitu saja menuju Deva yang sudah berkacak pinggang di depan kelas. Tanpa menunggu gadis itu membuka suara.
Deva yang melihat Raka dari depan kelas pun heran apa yang dilakukan sahabat playboy cap kapaknya ini pada Greesa, apakah ini termasuk misi untuk PDKTnya? Mungkin.
"Itu anak aneh banget si tiba-tiba benerin tali sepatu gue, apa itu sebagai tanda ucapan maafnya? Maybe," ucap Greesa lirih, sambil mengingat kejadian di depan gerbang sekolah tadi.
Hello everyone, Ena here! Phew, this has been quite a journey. I can hardly believe that we've reached the end of this story together. What started as a simple idea has grown into something so much more, and that’s all thanks to you readers and your support. Thank you for sticking with me and I'm grateful to every single one of you. Though we’re closing this chapter, I hope this isn’t goodbye. I have more stories to tell, and I’d love to share them with you. I'll be back soon with an even better book. Until next time 💛 All my love, Ena Starr.
Two Weeks Later The evening had settled into a comfortable warmth as Flora parked her car in the driveway of Damien’s estate. The sky was a gentle gradient of fading sunset hues, a perfect close to what had been a long but fulfilling day with Eva. They had been going over the offers from several publishing houses and TV studios, that wanted to monetize Flora's experience with Alice and Janice. It had been exhausting, but there was a sense of peace that came with knowing everything with Alice was truly over. Justice had been served, and Flora was finally free. With a content sigh, she gathered her things, pushing open the front door. The house was unusually quiet, save for the faint rustle of the breeze outside and the distant clinking of glass from the kitchen. A cozy warmth greeted her, the familiar scent of home wrapping her in comfort as she stepped inside. "Hello?" she called out softly, slipping off her shoes and setting
Flora’s breath caught in her throat, but she held her composure, her hands clenched so tightly her knuckles turned white. She cast a glance across the courtroom and met Alice’s eyes. There was no fire in them, no anger or hatred. Only resignation. This was her fate, sealed and unchangeable. Alice would spend the rest of her life in jail. There would be no escape, no return to the life she once knew. She would die there, alone. The judge then turned her attention to Janice, who sat trembling in her seat. “As for Janice Holden,” the judge said, her tone unwavering, “for the charge of conspiracy to commit murder, and for the misuse of her professional authority as a nurse, resulting in the death of Vera Wicks, this court finds the defendant guilty.” Janice sobbed openly as the judge delivered her sentence: twenty-five years to life, with the possibility of parole only after serving the minimum term. But even with parole, Janice would never fully escape her crimes.
The next few days blurred together, filled with a whirlwind of action and emotion as Flora set the final stage for justice. Filing the formal report against Alice was both cathartic and devastating, but it was something Flora knew she had to do. This was the final step in a journey that had begun when her life was torn apart by betrayal, and now, she was finally fighting back. Alice was arrested almost immediately after Flora's report, and to everyone's surprise, she didn’t resist. For the first time in their long and painful history, she didn’t fight back. There were no screaming matches, no attempts to manipulate or twist the situation in her favor, no venomous remarks hurled in Flora’s direction. Instead, Alice turned herself over with an unsettling calm, submitting a written confession detailing her involvement in both the death of Flora’s mother and the accident that had left her father a prisoner in his own mind. Flora knew Alice’s cooperation wasn’t born
A chill ran down her spine, and she stammered out the first question that came to mind. “Olivia…are you—”Before she could finish, Olivia let out a bitter laugh, the sound filled with a weight of sorrow and exhaustion. It wasn’t a happy laugh, but one of disbelief at her own situation.“Yes, I’m pregnant,” Olivia confirmed softly, cutting off Flora’s stumbling attempt to find the right words. She rubbed her palm lightly over her stomach as if to comfort herself more than anything else. “And before you ask, it’s Cyprus’s.”Flora’s breath caught in her throat. Cyprus. Of course it was his. Her mind flew to that one disastrous night that Olivia had had with the arrogant vice president of Defendwise Ventures.“Olivia…” Flora whispered, her voice thick with disbelief. “What are you going to do?”The question hung in the air like a fragile thread, and for a moment, Olivia seemed lost, her gaze fixed on some distant point beyond the supermarket, beyond the immediate rea
Olivia’s face was puffy, her eyes rimmed red and swollen from crying. She looked utterly devastated, her usual composed demeanor shattered. Her bottom lip quivered as she attempted a smile, but it was weak, trembling at the edges. "Flora," Olivia whispered, her voice cracking. Flora stepped forward, unsure whether to close the distance between them or keep some space. She could see the exhaustion written across Olivia’s features, the turmoil swirling behind her eyes. For a moment, neither of them spoke, the weight of what had brought them here pressing down on both of them. Olivia broke the silence first, her voice barely above a whisper. “I—I didn’t know.” She choked on the words, shaking her head as fresh tears welled in her eyes. “I didn’t know what my mother was capable of. I swear to you, Flora, I didn’t know any of it.” Flora stood still, absorbing Olivia’s words. She wanted to believe her. Desperately. But the betrayal of the past day,
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen