Share

Marlo dan Damar

last update Last Updated: 2021-03-20 13:58:23

            “Mama sudah bisa melihat. Kamu tertarik dengan Kania, benar?” Clarissa menyesap secangkir teh dalam cangkir keramik bermotif klasik. Teh Earl Grey kesukaannya itu disajikan dengan racikan yang pas. Barry membawakan untuknya beberapa waktu yang lalu dari London.

            Wanita paruh baya itu tak juga mendapat respons dari pemuda tampan, putra kesayangannya, aset besarnya.

            Barry masih asyik dengan gawai, sesekali tersenyum menanggapi ocehan beberapa sahabat di media sosial. Ibu jarinya terus berputar di layar ponsel pintar.

            “Barry, Sayang, kamu dengar Mama?”

Barry mendongak, memandang sang ibu yang tersenyum hangat padanya. Ia meletakkan ponsel pintarnya di meja rendah.

“Kamu tertarik pada gadis itu, kan? Kania, he?” Lelaki itu menatap sang Ibu, mencoba mencari tahu maksud dari pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya.

“Apakah Mama keberatan?”

Clarissa tersenyum, wajahnya yang cantik tampak semakin elok, tak menunjukkan satu kerutan pun di usia akhir lima puluhan. Tentu saja Clarissa sudah terkenal sebagai wanita yang sangat cantik pada masa mudanya. Kini, sisa kecantikan itu tak pernah berkurang.

“Untuk sekarang ini, Mama mendukungmu mendekati Kania.” Ia melirik sang putra, sebelum melanjutkan. “Mama yakin kamu akan segera melupakannya jika tujuan Mama sudah selesai. Mama tidak peduli ke mana kamu akan mencampakkan kelak.”

Barry tahu, selera ibunya sangat tinggi. Kania memang cantik, tetapi bukan hanya kecantikan yang diincar oleh ibunda. Wanita itu tidak akan pernah mengizinkan dirinya mendekati wanita biasa.

“Mama berpikir aku akan mencampakkannya?” tanyanya dengan nada manis.

“Tentu, Mama paham sekali sifatmu, Nak. Gampang bosan.” Clarissa tersenyum sinis.

Barry mengembuskan napas, cukup kesal karena sang Ibu selalu merasa tahu betul siapa dirinya.

“Bisa saja aku berubah, Ma. Saat aku bertemu dengan orang yang tepat. Bisa saja orang itu Kania.”

Non sense!” kata Clarissa tegas. Clarissa tidak akan mempercayai Barry bisa berubah.

Selama putranya tinggal di London, Clarissa tidak pernah melepasnya begitu saja. Tentu saja ia selalu mengirim orang untuk melaporkan seluruh aktivitas Barry, setiap hari. Ia tahu siapa saja orang yang dekat dengan putranya, bahkan ia tahu semua kisah cinta sang putra. Ia tidak akan membiarkan Barry berhubungan dengan wanita biasa-biasa saja. Hanya kali ini saja ia berniat mendekatkan Barry dan Kania. Hanya demi satu tujuan. Setelah tujuannya berhasil, ia tak memerlukan Kania lagi. Ia akan segera membuang gadis itu, membuatnya jauh dari Barry.

***

Marlo meminta pelayannya untuk memanggil seseorang yang sedari tadi menunggu di ruang tamu. Pelayan pria paruh baya itu segera melaksanakan perintah sang tuan, menemui lelaki muda berbaju rapi yang sudah menunggu tuannya.

“Ditunggu di ruang kerja Pak Marlo, mari silakan,” ujar Berto, pelayan setia Marlo.

Lelaki muda itu mengekor sang pelayan, masuk melalui pintu kayu kokoh di lantai bawah bangunan besar bergaya Amerika. Beberapa tahun setelah mengenal Marlo, baru kali ini pemuda itu bisa singgah ke kediamannya. Rumah besar berlantai dua dengan pilar-pilar beton menunjukkan kelas soisal yang jauh di atas. Berto membukakan pintu untuknya.

“Damar, ayo kemari.” Marlo meminta lelaki muda itu mendekat. “Duduk!” perintahnya.

Lelaki muda yang dipanggil Damar itu patuh, segera duduk di kursi berlengan, seberang meja Marlo.

“Bagaimana, bisa menyesuaikan diri? Sudah belajar banyak?” tanya Marlo, seolah-olah tak sabar mendengar jawaban lelaki muda berparas tampan di hadapannya.

“Saya sudah berusaha sebaik mungkin. Sejauh ini saya bisa menyerap banyak ilmu. Kania mentor yang hebat.”

[Kania lagi, selalu wanita itu,] batin Marlo.

“Saya enggak bilang semua hal harus belajar dari Kania, kan?” katanya jengkel. “Masih banyak mentor yang lain juga.”

Damar tersenyum malu-malu. “Cuma Kania yang saya rasa paling tulus membimbing saya. Dia wanita jenius, tetapi rendah hati.”

Marlo tersenyum kecut. Ia pun teringat Barry. Kemarin di rapat direksi keponakannya seperti kerbau dicucuk hidung oleh Kania. Semua laki-laki tampak seperti orang tolol jika berhubungan dengan Kania, kecuali dirinya.

Tak dapat dipungkiri, Kania wanita yang cantik. Ia pandai merayu lelaki, buktinya Prasetya, Barry, Damar, entah siapa lagi lelaki di luar sana yang dibuat bertekuk lutut pada wanita itu.

Marlo pertama kali bertemu wanita itu lima tahun yang lalu, dalam suatu pesta kantor. Prasetya yang membawanya kepada Marlo, merekomendasikan wanita itu kepadanya dengan kata-kata yang berlebihan. Awalnya ia memang sedikit tertarik. Namun, rasa itu langsung hilang saat malam hari ia bertemu dengan dirinya di salah satu klub malam ternama. Saat itu Marlo pergi bersama Misty, sekretaris sekaligus kekasihnya. Dari Misty ia tahu mengenai Kania. Wanita liar yang suka berpesta, bahkan Kania sempat mempunyai anak di luar nikah dari hubungan liarnya dengan para pria. Marlo sudah bisa membayangkan seperti apa Kania. Ia tidak mau Damar terlalu dekat dengannya.     

“Jangan lengah! Kamu ingat tujuan utama kita, kan? Saya enggak mau kamu dipermalukan di depan mereka,” ujar Marlo ketus.

Damar mengangguk dalam. Ia berjanji tidak akan mengecewakan Marlo. Ia juga teringat akan sang Ibu, yang ia tinggalkan di kampung. Wanita itu sudah melarangnya untuk mengikuti ajakan Marlo, tetapi kala itu tekadnya sudah bulat. Kesedihan dan kekecewaan yang dipendam oleh sang Ibu selama dua puluh tahun lebih akan segera dibayar lunas.

 Marlo memperhatikan dengan seksama lelaki muda berambut cepak itu. Menurutnya, bocah itu punya potensi yang besar. Ia cepat sekali menyerap ilmu, intuisi bisnisnya juga cukup bagus. Sosoknya yang jangkung, senyumnya yang tulus mengingatkan akan seseorang di masa lalu Marlo. Seseorang yang begitu dirindukannya.  

Baru beberapa tahun menemukan bocah itu, memolesnya pelan-pelan, memberikan bekal yang terbaik baginya untuk menghadapi musuh dalam selimut. Marlo menyayangi bocah itu. Ia sudah menganggap Damar sebagai anaknya sendiri. Apa pun akan ia lakukan demi Damar.

Ponsel pintar milik Marlo berteriak nyaring. Seseorang menghubunginya melalui aplikasi hijau. Nama Prasetya muncul di layar itu.

“Ada apa?” Marlo menjawab suara di ujung telepon. Meskipun Prasetya jauh lebih tua dari dirinya, tetapi ia tak sungkan untuk berbicara kepada pria tua itu, layaknya bersikap seperti teman sebaya.  

“Kenapa harus dengannya?” tanyanya lagi, nada suaranya sudah naik.

“Kapan berangkat?”

“Nanti saya hubungi lagi, mungkin saya dan Damar juga akan ikut.”

Telepon dimatikan. Marlo meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

Damar menatap Marlo dari seberang tempat duduknya. Pemuda itu menaikkan alis, sedikit penasaran dengan pembicaraan di telepon karena mencatut namanya. Namun, ia tidak berani bertanya.

Akhirnya Marlo membuka suara. “Kata Prasetya, Barry berencana melakukan kunjungan lapangan lusa bersama Kania.”

“Kamu ikut sama saya!” ujar Marlo.

“Persiapkan dirimu dengan baik. Saya nggak mau keponakan tololku itu mendapat kesempatan yang lebih baik daripada kamu.”

Damar mengangguk.  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Lumpuh

    Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Setia

    Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Memory

    Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Restu

    Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Tentang Clarissa

    Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Anjani

    "Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status