Arloji di pergelangan tangan kanan Kania menunjuk pukul 19.00. Wanita muda itu menghembuskan napas lega. Ia menepati janjinya untuk pulang lebih awal hari ini. Sopir kantor telah mengantar dirinya sampai di depan rumah. Beberapa detik setelah menutup pintu pagar yang terbuat dari besi bercat perunggu, suara tinggi melengking menyambutnya, disusul tubrukan ke arah lutut yang seketika hampir oleng.
“Mamaaa!”
Kania berjongkok, kini ia sejajar dengan gadis kecil berambut ikal yang tadi menubruknya.
“Hai, sayangkuu!” Kania memeluk erat gadis berponi itu.
“Mama temani Nadin belajar, ya?” pintanya sambil bergelayut manja di lengan Kania.
“Siap, Bos! Mama ganti baju dulu, ya!”
Gadis kecil itu meloncat-loncat kegirangan di samping Kania. Mereka berdua berjalan bergandengan masuk ke rumah.
“Mama, tadi Nadin pintar di sekolah. Miss Patricia kasih Nadin pin juara!” serunya sambil berjalan menandak-nandak.
“Oh ya? Wah, hebat sekali anak Mama. Juara apa itu, Nak?” Kania membopong si gadis yang berceloteh riang.
“Juara melipat taplak meja!” jeritnya bangga.
Kania memperlihatkan ekspresi kagum, membuat bocah lima tahun itu semakin bangga. “Waw, keren! Anak Mama juara!”
Kania menciumi gadis kecilnya dengan gemas. Seharian tidak bertemu dan menghirup aroma manis bocah itu membuatnya merasa rindu.
***
Kania menguap kesekian kalinya. Ia masih bertahan di depan layar laptop saat jam dinding menunjuk pukul 23.30. Setelah menemani Nadin--putrinya--belajar, ia harus kembali ke dunianya, berjibaku dengan data dan laporan.
Kini ia duduk tegak di ruang kerja mungil miliknya. Piyama kedodoran yang ia pakai sungguh nyaman. Sebenarnya akan terasa lebih nyaman apabila bisa bergelung di kasur empuk bersama Nadin. Namun, untuk sekarang, ia harus menahan hasrat tersebut.
“Ini kopinya, Non.” Bi Darni meletakkan secangkir kopi panas di meja. Uapnya mengepul di udara mengirim aroma wangi ke penciuman Kania.
“Besok pagi jangan lupa diminum vitaminnya, kayaknya tadi pagi lupa diminum. Non kan harus jaga kesehatan! Kasihan Nadin kalau mamanya sakit, lho!” Bi Darni mulai memberikan ceramah.
“Iyaaa, makasih Bibi sayang, besok pagi janji enggak lupa lagi.” Kania mengangkat dua jarinya.
Wanita paruh baya itu tersenyum, ia selalu khawatir dengan bocah momongannya yang sekarang sudah tumbuh dewasa. Kini gadis yang diasuhnya sejak puluhan tahun lalu bahkan sudah melahirkan bocah lucu juga sama seperti Kania waktu kecil. Bi Darni sangat menyayangi Kania dan Nadin. Mereka sudah seperti anak dan cucunya sendiri.
“Ya sudah, Bibi beres-beres dulu, ya. Non jangan terlalu malam kerjanya!”
Kania menjawab Bibi Darni dengan cengiran di mulutnya. Wanita paruh baya itu segera keluar dari ruangan kerja, ditutupnya pintu dengan pelan-pelan, takut membangunkan si kecil Nadin yang sudah pulas di kamar sebelah.
Kania kembali fokus ke layar sebelas inci yang menyala di hadapannya. Deretan angka, grafik, dan gambar bermunculan saling sambung.
Mengingat data yang diminta oleh sang CEO harus segera dilaporkan besok pagi, ia pun rela menyita waktu tidurnya.
Sekilas Kania mengingat percakapan dengan sang CEO, sesaat setelah lelaki tampan itu mendatangi dirinya di ruang rapat. Kania curiga lelaki itu memang sengaja kembali ke ruang rapat untuk menemuinya.
“Saya berencana untuk melakukan kunjungan dinas ke lokasi perkebunan kita.” Lelaki itu menatap lurus kepada Kania.
“Saya mau kamu temani saya, Ya! Saya perlu ringkasan mengenai seluruh seluk beluk bisnis perkebunan kita.”
Kania memandang bibir lelaki itu yang terus bergerak dengan kagum. Belum pernah selama ini ia menatap bibir seseorang kala bercakap-cakap. Namun, bibir lelaki ini sungguh ranum dan sangat provokatif.
“Bagaimana? Kamu bisa?”
“Kania,” tegur Barry, melihat lawan bicaranya lebih seperti melamun.
Kania nyaris terlonjak karena kaget.
“Biasanya pimpinan akan ditemani oleh manajer operasional di wilayah kerja masing-masing, Pak. Jangan khawatir, mereka pasti akan menjawab setiap pertanyaan teknis yang Bapak ajukan,” jawab Kania, ia risih dan malu begitu menyadari dirinya sempat terbengong melihat wajah tampan sang atasan.
Jari-jemari yang liat itu kini memegang ujung dagu Kania, mengangkatnya pelan, hingga kepala wanita itu mendongak. Kania kini tak lagi bisa menghindari tatapan sang lelaki mata elang.
“Saya tidak mau! Saya mau kamu yang dampingin saya!” Nada suara Barry seperti mengancam walaupun dilontarkan dengan suara pelan.
Bersirobok langsung dengan wajah tampan yang mulus tak bercacat itu membuat jantungnya berdebar-debar.
Kania menangkap sifat arogan sang atasan, lalu tiba-tiba teringat pesan Pak Prasetya sebelum rapat. “Ba-baik, Pak,” ujarnya gugup.
Sebelumnya, tidak pernah wanita muda yang meraih posisi manager di usia dua puluh empat tahun itu merasa gugup dihadapan atasan, bahkan di hadapan sang Komisari Marlo sekalipun ia tak segugup ini.
Kania menyambar kopi yang disiapkan Bi Darni di sebelah kanan laptopnya. Memasukkan beberapa teguk cairan hitam ke dalam mulutnya, berharap bisa membantu mengusir kantuk.
Ia harus menyusun ulang semua SOP dan standar operasional yang akan dilaporkan kepada Barry besok pagi. Lusa kemungkinan ia akan berangkat bersama atasannya itu ke ujung barat Pulau Sumatera, lokasi perkebunan berada. Perjalanan dinas ke lokasi kebun akan memakan waktu lama. Selain itu, lokasi kebun yang terpencil mungkin tidak bisa diakses oleh gawai.
Kania membayangkan harus meninggalkan Nadin selama beberapa hari. Rasa sesak memenuhi dada. Naluri keibuan yang selalu muncul di benak wanita dua puluh delapan tahun itu kembali bergelora. Namun, ia menguatkan diri. Kania sudah sering mengalami hal ini. Kali ini ia pasti bisa.
Kania meraih gelar sarjana di bidang perkebunan pada usia dua puluh satu tahun. Dua tahun kemudian ia meraih gelar master, dari kuliah sampingan yang diikuti selama bekerja di perusahaan yang membesarkan namanya. Prestasinya di bidang pekerjaan sudah tidak diragukan lagi, terobosan-terobosan baru yang ia terapkan membawa keuntungan yang berlipat bagi perusahaan. Tak heran Pak Prasetya menjulukinya si Anak Emas.
Sebagai seorang Ibu, sesungguhnya dirinya ingin selalu mendampingi putri tercinta yang kini menginjak usia lima tahun. Namun, apa daya konsekuensi sebagai orang tua tunggal mengharuskan ia sering meninggalkan Nadin. Ia beryukur Bi Darni, wanita paruh baya yang dulu merawatnya sejak kecil bersedia selalu menjaga Nadin untuknya. Siapa lagi yang bisa ia andalkan? Dirinya hanya seorang diri di dunia ini.
Membesarkan sendiri seorang anak di usia yang relatif muda tidaklah gampang. Keringat dan air mata telah tumpah. Hari-hari penuh kekhawatiran dan putus asa telah dilalui. Kini, masa-masa gelap itu telah berlalu. Kania yang sekarang, siap terbang tinggi walaupun dengan sayap patah. Ia telah mengubur masa lalunya dalam-dalam dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia dan putrinya siap menyambut masa depan cerah.
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."