Kania masuk ke dalam mobil van tua, dua orang pria muda mengawalnya duduk di sisi kiri dan kanan. Di bangku depan ada seorang sopir dan pria paruh baya yang tadi berbicara dengan rombongan Kania.
Tak dipungkiri ada sedikit rasa takut di hati Kania. Namun, ia memberanikan diri. Alwi yang ia kenal tidak akan membahayakan nyawanya. Ia sangat percaya akan hal itu.
Mobil van tua itu berjalan menerobos lebatnya tanaman sawit. Melewati turunan dan kelokan jalan tak beraturan. Tubuh Kania terlonjak lonjak karena jalan yang tidak rata.
Dua puluh menit berlalu. Mereka tiba di sebuah pondok, tersembunyi di belakang bukit. Seandainya tidak sedang menghadapi konflik, pemandangan yang disuguhkan dari pondok tersebut sangat lah indah.
"Sudah sampai, ayo ikut kami Nona, silakan turun, " ucap seorang pria yang duduk di sebelah kiri Kania. Lelaki itu membuka pintu, memberi jalan kepada Kania untuk turun.
Kania berjalan pelan mendek
“Sebaiknya kita menuju ke penginapan dulu, Pak. Biarkan Kania beristirahat. Nanti malam kita diskusi.” Prasetya menengahi di antara Kania dan Marlo. Marlo masih menatap Kania setajam sebelumnya. Kania pun masih menatap balik ke manik mata elang itu. “Baiklah, kita pergi ke penginapan.” Akhirnya Marlo bersuara. Rombongan yang terdiri dari empat mobil segera bergerak ke arah kota Kabupaten yang berjarak satu jam perjalanan. Tak banyak penginapan yang bisa dijumpai di kota kecil tersebut. Akhirnya rombongan berhenti di sebuah penginapan kecil. Semua personil diminta untuk beristirahat dan berkump
Kania dan rombongan selesai sarapan tepat pukul 07.30. Ia diam-diam mencari keberadaan Marlo. Namun, lelaki itu tidak juga muncul untuk sarapan. “Ayo, Bu, kita berangkat!” seru Ismail yang sudah siap naik ke dalam mobil. “Iya, Pak. Saya segera ke sana.” Kania merapikan bajunya. Hari ini ia memilih kemeja longgar warna putih yang ia padukan dengan celana bahan warna abu-abu. Setelah mengambil tas selempangnya ia segera menyusul Pak Ismail. Rombongan Kania yang akan menuju markas Sidik terdiri dari Kania, Pak Ismail, Bambang Satria dan seorang sopir. Mereka berpisah dengan rombongan Prasetya yang akan kembali menuju gerbang kubu Alwi.&nb
“Apa, sih, Ma?” Barry merasa sangat suntuk, ia barusan menelepon Kania, begitu mendengar semua cerita dari Prasetya. Rasa kesal karena tidak bisa melindungi Kania bertambah dengan adanya laporan bahwa sang paman turut andil dalam menyelamatkan nyawa Kania. Semua berita itu membuat moodnya di hari itu menjadi buruk. Mendengar suara Kania secara langsung pun masih belum bisa mengurangi rasa kesalnya. Kini, ibunya datang tiba-tiba ke kamar. Melemparkan amplop besar berwarna cokelat tepat ke arah pangkuannya. “Apa ini?” Ia melirik tajam ke arah wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan gaun satin warna peach itu.
"Gimana kondisi Nadin, Vi?" Suara Kania terdengar gugup. Ia baru saja bisa mengakses gawainya setelah perjalanan masuk dan keluar kebun."Tenang, Kan. Udah gue atasin. Tadi gue bawa ke dokter. Kata dokter, si cantik kena radang tenggorokan. Udah dikasih obat.""Parah, nggak?""Si Bocah udah bobok sekarang di kamar Kan, gue rasa udah gak terlalu panas, sih. Tapi gue minta surat ijin tadi, biar anak lu libur dulu sekolahnya.”"Iya, Vi. Thanks banget ya, Vi .... Gue berutang banyak banget ke elu.""Astaga, biasa aja Kan ... udah, yang penting elu nggak usah khawatir kita semua disini pasti jagain Nadin.""Gue panik banget waktu baca chat elu kalau si Nadin panas." Kania menelan ludah. "Jadi lu bawa ke dokter siapa? Sama Bi Darni?" tana Kania penasaraan."Gue bawa ke RS Internasional, yang deket kompleks elu. Gue cari taksi susah banget kagak nemu. Akhirnya gue telepon Damar, gue minta
Marlo melihat-lihat ke sekeliling ruangan kantor bibitan. Kantor ini merupakan sebuah ruangan berukuran lima kali lima meter. Bangunannya merupakan bangunan lama, mungkin hanya dilakukan pemeliharaan tiap tahun. Dindingnya berwarna kuning pucat, sedangkan kusen-kusen kayunya dicat warna hijau. Ruangan ini berisi beberapa perabot khas kantor di perkebunan, dengan dua buah meja besar. Satu meja tampak kosong sedangkan meja lain berisi sebuah PC. Masing-masing meja dilengkapi dengan kursi berlengan. Dua buah lemari arsip berjajar di belakang meja tersebut. Ada sebuah wastafel tanpa kaca dan sebuah dispenser berisi air mineral. Perabotan lain ada satu set kursi tamu dengan lengan kayu dan alas busa. Terdiri dari sebuah kursi panjang, mungkin bisa muat untuk tiga orang dan dua buah kursi ukuran satu orang. Meja kopi rendah berada tepat di tengah set kursi tamu tersebut.Kania sedang duduk di salah satu kursi tamu tersebut. Tangannya sibuk
Tubuh jangkung itu menghimpitnya ke dinding. Punggung Kania kini sudah menyentuh dinding yang dingin."Bapak mau ngapain? Jangan macam-macam, ya!" serunya panik.Marlo tak mempedulikan protes dari Kania. Tangannya menapak di dinding belakang tubuh Kania. Kepala Marlo menyuruk di cekungan leher wanita itu."Pak, saya ingatkan lagi, Bapak jangan macem-macem, ya!"Kini kepala Marlo bersandar miring di pundak Kania. Rambut lelaki itu menyapu telinga Kania.Wanita itu sudah siap mendorongnya, tetapi tangannya seperti tersengat kompor. Badan Marlo terasa begitu panas di telapak Kania."Pak?"Posisi Marlo kini memeluk tubuh Kania, merapat ke dinding, matanya terpejam. Rasanya nyaman sekali berdiri memeluk Kania seperti itu.Wanita itu kian merasakan sengatan panas tubuh Marlo hampir di sekujur tubuhnya. "Pak! Astaga! Bapak demam ini!" seru Kania semakin panik"Sst ...! Udah diem aja, saya pinjam tubu
“Divia, gimana Nadin? Masih demam, enggak?” Suara itu kian akrab di telinga Divia. “Damar? Udah, udah kok, udah enggak panas. Kita lagi main ini,” jawab Divia, ia melirik ke arah Nadin yang sedang memainkan boneka Barbie. “Udah makan?” “Udah, Nadin kan harus minum obat. Jadi tadi udah makan sebelum minum obat.” “Mmm. Kalau Piza, Nadin suka nggak?” “Nggak tahu, coba bentar gue tanyain, ya.” Divia berpaling pada Nadin, tangan kanannya yang memegang ha
Lelaki jangkung itu menarik tangan Kania dengan kasar. Langkah-langkahnya yang panjang membuat Kania seperti terseret harus mengikuti supaya tidak tertinggal."Kita ke mana, sih, Pak?"Kania melirik wajah atasannya yang kaku, tanpa ekspresi.Jangan-jangan gue mau dibantai ini, pikiran jelek Kania tiba-tiba muncul."Pak, ngapain kita ke sini? Enggak mau, saya mau kembali ke kamar aja." Protes wanita dengan kaus longgar dan celana yoga itu.Marlo membawa Kania naik ke sebuah bangunan tinggi dengan cor beton. Bagian atas bangunan itu terbuka tanpa ada peneduh. Dari tempat mereka berdiri saat ini mereka bisa melihat hamparan pohon sawit membentang sampai batas cakrawala."Saya, saya belum pernah ke tempat ini. Menakjubkan! " Mata Kania terbuai oleh hamparan gelap di bawahnya.Mendung yang sedari siang menggantung di langit sudah sirna, kini cahaya rembulan muncul menyinari hamparan sawit yang berjajar