Share

Lima

Druf terbangun agak siang. Dilihatnya kain yang membungkus bekas luka di jari jempolnya.

‘Dasar gadis ceroboh, ‘batinnya.

Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Diambilnya handphone di meja samping tempat tidurnya yang mewah. Tak butuh waktu lama suara yang sangat dikenalnya menyapa di sebrang.

‘iya Tuanku. Ada yang bisa saya lakukan untukmu? ‘

“Apakah lehermu ingin kupatahkan sepagi ini? Setidaknya saat kita hanya bicara berdua. Berhentilah memanggilku dengan kata ‘tuanku’ .” Ucap Druf.

Suara disebrang terkekeh.

‘Mau bagaimana lagi Druf. Kau sekarang sudah menjadi junjunganku.’

Druf mendengus kesal.

“Ayo dengarkan titahku, jika terjadi kesalahan kupastikan kau tak jantan lagi. “ Ancam Druf.

‘Ampuuuunnntuannn... Aku percaya kau bisa lakukan itu. Hambamu yang setia ini siap laksanakan apapun titahmu. ‘

Kini giliran Druf yang tertawa. Ia memang selalu ingin tersenyum jika mendengar kelakar Brian.

***

Risma terpekik kecil melihat Elena dikamarnya. Ia merasa sangat bersalah karena meninggalkan sahabatnya itu tadi malam.

“Apa kau baik2 saja?” Tanyanya ragu.

Elena hanya mengangguk. Risma memeluk sahabatnya itu.

“Maafin aku Ris. Aku terlalu pengecut sebagai sahabat.” Ucapnya.

“Sudahlah, yang penting aku masih di sini sekarang.”

Risma melepas pelukannya. Saat itulah ia melihat switer cowok yang tergeletak di atas pembaringan.

“Milik siapa ini?”

“Jangan sentuh itu.” Ucap Elena. Ia merebut sweeter dari tangan Risma.”Ini milik malaikat penolongku tadi malam.”

Risma tak mengerti, kemudian Elena menceritakan kisah yang dialaminya secara rinci.

“Lalu bagaiman dengan gaunmu nanti malam El ? Aku jadi merasa bersalah. Andaikan aku tak meninggalkanmu mungkin kita sudah bisa membeli gaunmu.”

“Tidak apa-apa Ris, aku diasrama saja.”

Risma pura-pura sedih. Sebenarnya ia bersyukur jika Elena tidak datang ke pesta. Jadi dia bisa leluasa mendekati Druf yang tampan itu. Ia sudah kehilangan akal. Apapun caranya ia akan berusaha mendapatkannya.

Tok. Tok. Tok.

Risma dan Elena bertatapan. Siapa yang mengetuk pintunya.

Setelah pintu terbuka. Nampak Kristy berdiri dengan cuek.

“Eh, ada apa ya?” Elena gugup menghadapi gadis itu. Ia tahu Kristy adalah salah satu siswi yang cukup tenar di sekolahnya. Konon ia adik desainer ternama. Dia teman sekelas Elena. Tapi selama ini mereka berdua tak pernah bertegur sapa. Jadi, angin apakah yang membawa gadis itu berdiri di depan kamarnya sepagi ini.

“Heh, aku kesini karna terpaksa. Jadi jangan ke-GR-angue mau temenanmalo. Nih terima paket dari kakak gue. Katanya ini pesanan sahabat baiknya.”

Elena menerima paket berukuran besar dari tangannya.

“Tapi ini dari siapa Kris?” Tanya Elena bingung.

“Mana gue tahu. Gara-gara tuh paket gue malah jadi kurir hari ini. Dasar perempuan miskin tak tahu diri. Bisanya cuma ngerepotin saja.” Ucapnya menyakiti perasaan Elena.

“Heh, jangan sembarangan lu ya. Jaga mulut elu itu. Atau gue...” Balas Risma tak terima perlakuan Kristy yang merendahkan Elena.

“Gue apa? Jangan ikut campur urusan gue. Meski elu anak orang kaya, masih lum sederajat mague. Cuih.” Bentak Kristy. Kemudian berlalu dari kamar Elena. “Huh, malesngeladenin manusia-manusia rendahan seperti kalian.” Sungutnya.

“Sok gaya banget sih gadis itu. Jika kita manusia emang elu apa.” Ucap Risma kasar.

“Sudah, gadis itu sudah pergi.” Elena hanya tersenyum melihat ekspresi dan nada bicara Risma yang tiba-tiba berubah.

Dibukanya penutup kotak itu perlahan. Sebuah gaun mewah berwarna hitam terlipat manis disana. Risma tertegun. Sementara Elena mengambil kertas kecil yang berada diatasnya.

Semoga Kau suka.

Pakailah ini nanti malam.

Dari malaikat penyelamatmu.

‘Wow, ini gaun termewah dan termahal rancangan Brian d’ Jandru yang dijahit manual oleh tangannya sendiri, limitededition, satu-satunya di dunia.’Batin Risma terkagum-kagum. “Berarti cowok yang menolongmu itu tajir sekali El.” Elena mengedikkan bahu.

“Entahlah, aku bahkan tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.”Tutur Elena polos.

Gaun itu begitu elegan dan berkelas. Apalagi ketika dipakai Elena. Mendadak gadis itu terlihat sexy dan mewah dimata Risma. Diam-diam ia menginginkan gaun itu untuk dirinya. Otaknya yang culas telah merencanakan sesuatu untuk meloloskan hasratnya itu.

***

Brakkkk.

Pintu dibuka kasar. Druf hanya mengernyit melihat perilaku pamannya itu.

“Ada apa?” Tanyanya datar.

“Kenapa kau belum bersiap? Para tamu sudah datang. Bahkan para petinggi kita sudah di aula.” Samuel melihatnya dengan kesal.

“Aku akan turun jika Paman sendiri yang menyiapkanku.” Ucap Druf licik. Sebenarnya ia malas menghadiri acara itu.

“Dasar anak manja.”RutukSamuel sambil mengambil tuxedo dan kemeja dari lemari pakaian Druf.

Malam itu, suasana pesta begitu meriah. Tentu saja. Pesta pemilik Blue Sky tentu berbeda. Semua terlihat elegant dan mewah. Mulai dari dekorasi aula sampai ke sajian makanan mewah yang tersedia. Penyanyi yang di undang pun bukan penyanyi sembarangan. Semua terkonsep dengan rapi. Namun para wanita sedang tidak menikmati semua kemewahan itu seperti biasanya. Mereka tengah tak sabar menantikan kedatangan Druf. Tak henti-hentinya mereka menengok ke arah pintu dimana seharusnya Druf muncul.

Penantian mereka akhirnya terobati ketika semua lampu dipadamkan. Lampu sorot yang sengaja dibiarkan menyala, menyinari seorang pemuda yang baru keluar menuruni tangga. Ketampanan dan kharismanya yang luar biasa begitu menawan, membuat para wanita terpekik histeris. Banyak yang mengatakan Druf adalah jelmaan para dewa. Ia terlalu amat sempurna. Matanya yang berwarna biru mampu meluluhkan hati para gadis yang ditatapnya.

Ia datang ke atas podium diiringi Samuel. Ayahnya sang pengusaha sekaligus pemilik kampus. Banyak yang tidak tahu bahwa Samuel hanyalah paman angkatnya. Dan harta yang dikelolanya adalah milik Druf. Semua itu ditutupi untuk menyembunyikan identitas aslinya.

“Hem.” Druf berdehem di depan mikrofon yang sudah disiapkan. Semua mata tertuju padanya.”Terima kasih kalian sudah datang dan nikmati saja pestanya.” Ucapnya dengan datar dan wajah tanpa ekspresi. Dingin sedingin es kutub utara.

Para penjaga bertubuh kekar masuk menyibak kerumunan dan menyediakan jalan. Muncul beberapa orang berjas rapi dan tampan. Tampang mereka begitu mempesona dan berwibawa. Beberapa gadis cantik bergaun hitam seksi beserta mereka. Dilihat dari usianya sepertinya mereka pasangan ayah dan anak.

Mereka bersalaman dengan Druf. Dan para wanita menjulurkan tangannya yang kemudian dicium oleh Druf dengan sopan. Para wanita lain yang tidak di perlakukan sama merasa iri.

Majulah seorang wanita membawa nampan segelas minuman berwarna merah kehadapanDruf. Dan para undangan dipersilahkan mengambil minumannya di atas nampan para pelayan yang berada di dekat mereka.

“Itu darah murni Druf, persiapkan dirimu.” Pesan Samuel.

Druf hanya menghela nafas. Kemudian ia mengambil gelas dihadapannya yang berisi cairan darah. Dan mengangkatnya tinggi.

“Bersulang.” Ucapnya untuk para tamu yang telah memegang gelas di tangannya.

Ia segera meneguk isi gelas itu diikuti oleh seluruh yang hadir. Setelah mengembalikan gelas kosong ketempatnya. Ia mempersilahkan tamu hususnya untuk memasuki ruangan yang tersedia. Sementara dirinya tetap tinggal bersama undangan lain yang terdiri dari manusia biasa.

Brian mendampingi Druf yang tengah menyisir pandangannya ke seluruh ruangan. Ia mencari sosok perempuan yang ingin ia ajak dansa. Namun, kemanapun matanya tertuju. Gadis yang dicarinya tidak ada. Justru matanya silau oleh cahaya biltscamera ponsel yang terus terarah ke arahnya.

“Gimana tuan? Ketemu?” Bisik Brian.

Adam menggeleng.

“Mau di lanjut?” Brian berbisik kembali.

“Batal.” Sahut Druf. Mendadak keinginannya untuk berdansa sirna. Padahal ia sudah melakukan banyak rencana dengan Brian. Ia berniat mengajak Elena berdansa dan melamarnya di hadapan banyak orang dengan dibantu Brian. Namun tampaknya rencana itu justru meninggalkan kekecewaan di hatinya. Di helanya nafas. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, yakinnya.

“Frans, kemana?” Tanya Druf. Brian menggeleng tidak tahu.

Druf berharap Frans berhasil memenuhi permintaannya. Setelah yakin tak ada lagi yang bisa di lakukannya. Druf mengangkat tangannya dan melambai ke arah semua undangan. Ia berjalan mendekat ke arah kue ulang tahun yang sudah siap di tengah ruangan. Bersamaan dengan lagu ulang tahun yang dinyanyikan segenap undangan dengan gegap gempita. Ia meniup lilin dan memotong kue. Cahaya blitz terus menerpanya. Meski kesal. Ia harus bertahan.

“Yang bisa menjawab pertanyaan saya. Bisa mendapat kue pertama dari tuan Druf.” Ucap Brian.

Mendadak aula menjadi riuh. Semua berharap mereka bisa menjawab dan mendapat kue tersebut.

“Tenang. Saya akan membaca pertanyaannya.” Lanjut Brian.

Suasana hening sejenak. Druf berdiri dengan gelisah.

“Berapakah tinggi tuan Druf?”

Banyak tangan diacungkan. Secara acak Brian menunjuk seseorang. Gadis terpilih yang ia tunjuk langsung memekik kegirangan. Ia maju dan berdiri di dekat Druf dengan gugup. Makeup ala penyihir yang digunakannya tak mampu menyembunyikan sorot kebahagiaan di wajahnya. Brian mendekatkan mikrofonnya ke mulut gadis yang entah siapa namanya itu.

“Tingginya. 180 cm.” Ucapnya.

“Sayang sekali jawabannya benar.” Teriak Brian. Gadis itu melompat kegirangan bahkan ia berteriak-teriak memamerkan keberhasilannya dengan mengelilingi undangan layaknya pemain bola yang berhasil mencetak gol.

“Kuenya langsung dari tuan Druf. Boleh foto bareng tapi jangan disentuh apalagi berpelukan ya.”

Gadis itu mengangguk. Ia menarik temannya meminta tolong untuk difoto. Dengan gembira ia menerima kue dari Druf dan berfoto berdua.

Semua orang terlihat iri pada gadis beruntung itu.

“Lagi. Lagi. Lagi.” Teriak seluruh undangan berbarengan.

“Maaf, momen ini hanya satu kali. Karena tuan Druf harus ke ruangan sebelah. Sekali lagi maaf ya. Kalian akan mendapat semua kuenya tanpa terkecuali.” Ucap Brian melambaikan tangan. Tanda acara itu sudah berakhir. Terdengar desahan kekecewaan dari segala penjuru.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status