Roseleaf, dataran di sebelah tenggara Firmest yang terkenal dengan lembah warna-warni. Daerah sejuk, tapi hangat. Tempat di mana Valea lahir dan tumbuh sebagai seorang putri dari penempa besi. Menjadi satu-satunya anak di keluarga membuatnya menjadi pribadi yang bisa dikatakan pekerja keras. Istilahnya, apapun pekerjaannya, asalkan ia bisa, Valea akan lakukan.Keluarga besarnya tidak bisa dibilang kaya, tapi ia juga tidak melakukan semua pekerjaannya karena terdesak keuangan. Katakan saja mereka berkecukupan. Ayahnya seorang manusia biasa, bisa dibilang ia seorang kakek-kakek sekarang. Dua dekade lagi umurnya akan menjadi satu abad. Meskipun begitu, dengan fisik yang ditempa sejak kecil, ayahnya masih terlihat gagah.Lalu ibunya, adalah Shawarya. Elf berambut merah yang memutuskan keluar dari klan penyihir Dulcis dan memilih menikahi ayahnya. Kehidupan mereka sangatlah harmonis. Ibunya yang kelewat penyayang itu bahkan tidak cukup membesarkan satu orang anak. Dengan keadaan secukupnya
Aliran darah melambat karena oksigen menipis, sementara langit menggelap menandakan malam menetap. Kabut tebal yang sebelumnya hanya di permukaan, sekarang turun memenuhi tempat kami berdiri. Selain mengandalkan kemampuan penglihatan jarak jauh milik elf penglihat seperti Inara, tidak ada lagi yang bisa diusahakan. Jarak pandang hanya tersisa tiga meter, sisanya memudar seperti halnya aura semangat di wajah orang-orang."Banyak cara sudah dicoba. Dibuka paksa atau bahkan mantra pembuka segel terkuat, semua cara tidak bisa menembusnya," ujar Asyaralia menatap lambang di hadapan mereka. Seolah mengiyakan, semua orang terdiam, bergelut dengan satu pikiran yang sama."Mungkin ini hanya tulisan biasa, kita tidak bisa mengusahakan apapun. Para prajurit di atas tidak akan bertahan lebih lama tanpa kita. Jumlah mereka yang gugur mungkin saja sudah berkali-kali lipat, sementara kita duduk di sini. Orang-orang yang terluka juga harus segera merapat ke divisi kesehatan di permukaan. Bagaimana pu
Zhura mundur selangkah. Jadi dia adalah sosok yang menjadi legenda bagi para gadis. Keterkejutan menciptakan satu perasaan gelap di sudut hatinya, ketakutan. Wanita bergaun merah yang baru saja datang itu tak terlihat seperti teman, tapi ada bagian dari Zhura yang merasa sudah lama mengenalnya. Kepalanya terus menerus menyebutkan satu nama yang entah bagaimana bisa terus tengiang.Sacia."Selamat datang aku ucapkan bagi kalian para tamu. Maaf atas ketidaksopananku yang tidak mampu menyambut kalian dengan memuaskan," ujar Sacia membuka suara dengan anggun untuk pertama kalinya. Tubuhnya ramping dengan rambut hitam yang memanjang hingga ke mata kaki. Dibalut gaun yang bisa dibilang indah ia seperti bunga mawar merah yang segar, tak terpengaruh dengan suasana membekukan di sekitarnya."Jadi kau yang ada di balik semua ini?!" Pangeran Asyaralia menggeram marah.Sacia tertawa terlihat geli, "Jadi begitu cara seorang pangeran kerajaan terbesar di Firmest berbicara pada seorang wanita? Tidak
Zhura mengulurkan tangan menggapai ajakan sosok bergaun merah itu. Ia dihela berjalan melewati kegelapan. Mata lembut dan genggaman Sacia yang hangat terasa sangat nyaman. Tidak bisa dipungkiri, Zhura merasa tenang. Diam-diam ia perhatikan punggung wanita itu dari belakang. Sesuatu yang menyakitkan tiba-tiba menyeruak, perasaannya terasa sama seperti ia baru saja menemukan sesuatu yang hilang.Ia menatap langkah kaki Sacia yang ringan tapi cepat seakan-akan mereka sedang dikejar sesuatu. Dia adalah sosok yang teman-temannya sebut sebagai orang jahat, tapi Zhura bahkan tidak melihat sorot tajamnya seolah-olah dia adalah orang lain.Berhenti.Langkah kaki mereka habis di sana. Sacia melepaskan genggaman tangannya, menatap Zhura lurus. "Di sini, semuanya akan di mulai. Kehidupan baru akan datang di tempat di mana kau tidak akan pergi lagi. Sebelum itu, kau harus melihat ini. Yang dipertanyakan akan terkuak, tentang kita begitu pun dunia ini," tukas Sacia menguarkan cahaya merah dari tela
"Aargh!Suara teriakan Sacia mengaung, bersatu bersama panggilan Inara dan Valea dari belakang. Zhura terkesiap menarik sesuatu yang melekat di tengkuknya. Sebuah besi kecil seperti milik gadis suci terdahulu ternyata juga ditancapkan di sana oleh Sacia. Sebuah kenyataan menohoknya telak, ternyata ia hampir saja terjebak."Kau tidak pernah memberiku kesempatan! Lagi dan lagi, kau mengkhianatiku!" Sacia melontarkan amarah membuat pusaran salju menyeruak di antara mereka.Zhura menatap gelang perak di tangannya yang masih utuh tanpa sedikit pun goresan. Meski lukanya sudah tertutup, tapi rasa sakit di pergelangan tangannya masih terasa. Darah yang mengering tanda bahwa tadi ia benar-benar akan dibunuh oleh Sacia."Bisakah kita berdua bicara? Semua ini bisa diselesaikan dengan baik-baik!" Dingin teramat nyata, ia tidak bisa membiarkan pertarungan ini berlanjut atau darahnya akan ikut membeku."Kau pikir apa yang aku lakukan tadi?! Di antara kita, kau yang selalu memutuskan pergi!" Sacia
Guncangan datang merebakkan seluruh pasukan yang tersisa. Monster malam yang luar biasa besar mulai menunjukkan taringnya. Debu putih berjatuhan sementara suara lengkingan foniks perak Azhara pun ikut bergema. Tampak api biru menyeruak dari paruh mengkilatnya. Tidak gentar, burung raksasa yang hanya berukuran satu per lima dari naga itu terus bergerak memperkukuh persiteruan.Inara menunjuk ke atas. Seluruh gadis suci berkumpul menjadi satu, mengikuti arah tunjukannya. "Seperti yang kalian lihat, Putera Mahkota terus menyerang bagian atas naga itu. Dia juga merasakannya. Melalui penglihatan termal elf penerawang, bagian itu menyimpan aura yang memancarkan suhu panas."Seorang gadis suci terdahulu bernama Fama maju, menggambarkan anatomi tubuh naga secara sederhana di salju. "Benar yang dikatakan Inara. Di punggungnya, ada beberapa titik di mana pelepasan energi besar terdeteksi keluar. Aku tidak yakin, tapi kemungkinan tiga sisik itu sumbernya. Kita semua tahu, kekuatan spiritual yang
Zhura berhasil kabur dari Ranzak. Kini bulan telah memerah, sedikit demi sedikit menjadi purnama yang melegenda. Suasana menjadi semakin tak terkendali. Suara lengkingan menyeruak dari paruh foniks perak di atas. Azhara sudah berhasil mencungkil satu sisik hitam dari tubuh Sacia. Kini ia terbang di atas ketinggian, urung untuk hinggap. Para gadis suci pun mulai menampilkan raut cerah saat satu sisik di bagian belakang berhasil mereka hancurkan.Angin berderu lincah, malam kini disebut larut. Cahaya api dari obor meredup. Aroma kering dan panas tiba-tiba datang di antara kepingan salju. Hidung Zhura merasa sakit menciumnya. Ada sekelebat bayangan buruk terlintas, instingnya berkata bahwa yang terburuk akan datang. Dengan cepat ia berusaha mengambil langkah saat kakinya tidak lagi bersedia bekerja sama.Di tempatnya Valea dan gadis-gadis lain sedang menuju ke sisik terakhir. Tinggal satu sisik yang harus disingkirkan. Seharusnya semuanya akan segera berakhir, tapi sesuatu terjadi. Naga
Tarikan gravitasi membuat salju jatuh menggenangi dataran mati. Mereka tidak lagi dingin. Sekujur tubuh seakan puas akan sakit dan melahirkan mati rasa. Hanya paru-paru dan jantung yang masih bersedia menemani kedipan mata. Bahkan arah menjadi hal yang samar. Keramaian lenyap, banyak hal menjadi tidak jelas. Inara, Valea, Arlia, dan banyak orang seperti terlalu letih hingga terbaring begitu lelap.Zhura menggenggam erat serabut lembut di telapak tangannya. Udara menjadi batu saat mereka terbang melewatinya, berat. Suara lengkingan foniks mengalihkannya dari suasana di bawah. Gerakan Azhara entah bagaimana menegang, Zhura merasakan kepakan sayapnya tidak tenang. Gerakan lain menyusul, meliuk ke kanan lalu turun tajam, sebelum naik lagi dan meliuk ke kiri."Hei, ada apa?!"Tidak ada balasan atau respon. Dari tempatnya, tampak mata foniks itu mengerucut tajam. Tersadar akan sesuatu, Zhura menatap ke atas. Dua pertiga bagian bulan memerah. Sedikit waktu lagi sampai itu menjadi bulan purna