Share

Hutan Berkabut Perak

"Mungkin dia pergi lewat pintu belakang?" Wanita tua itu bisa saja keluar lewat pintu belakang rumahnya. Lalu mengenai suara benda roboh tadi, Zhura pasti salah dengar, buktinya saat berkeliling tidak ada benda yang jatuh di lantai.

"Sial, lebih baik aku pulang saja." Ia masukan kalung belati biru itu dalam saku celana seraya berjanji akan mengembalikannya pada lain kali.

Niat untuk pulang menyeruak, dia pun berjalan keluar. Semuanya berjalan lancar dalam beberapa saat bahkan saat Zhura skeptis bisa tidur nyenyak nanti. Rumah di ujung hutan, nenek dengan penampilan aneh, dan semua kejadian ini sungguh tidak biasa. Baru saja dibahas, hal gila pun terjadi. Lantai ruangan berderit. Pijakannya bergetar, Zhura seperti berdiri di antara gempa bumi. Seolah-olah menjawabnya, goncangan kuat datang. Belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, tempatnya berdiri sudah merekah bersamaan dengan kayu-kayunya yang jatuh ke bawah.

"Akh!" Zhura mengangkat sebelah kaki untuk menyelamatkan diri, tapi terlambat. Lantai tempatnya berpijak terlalu cepat luruh. Gravitasi menariknya ke lubang yang gelap dengan kecepatan luar biasa. Zhura pening merasakan terjun dari permukaan tanah. Pikirnya ia akan mati. Namun jatuh yang ia rasakan, membuatnya berpikir dia tengah melesat hingga ke pusat bumi. Ketika tubuhnya menuju ke kegelapan, ia berpasrah menanti kapan dirinya akan sampai di dasar lubang. Jika memang seperti ini ketentuan Tuhan, maka apa lagi yang bisa dilakukan.

"Selamat tinggal, Ibu." Ketakutan menyertai dirinya yang bersiap datang ke alam penantian. Meskipun demikian, ia bersyukur bisa dilahirkan ke dunia meskipun hanya sesaat. Sekarang saatnya kembali ke Sang Pencipta. Namun, ekspektasi itu tidak terjadi. Ia merasakan sulur-sulur lembut menghantam ringan sisi tubuhnya. Mereka terasa dingin seakan-akan ia terjatuh di kutub utara. Yah, setidaknya itu yang dipikirkannya sebelum benda keras membentur tulang punggungnya.

"Akh!" Zhura membuka mata lebar-lebar. Cahaya menyilaukan menyusup ke dalam iris hijaunya yang masih menerka pemandangan. Satu atau dua menit terlewat, setelah memastikan penglihatannya bekerja dengan baik, ia bangkit dari pembaringan.

"Tunggu, apa?" Diperhatikan pemandangan di sekitar dengan linglung. Ada dua hal yang terlintas di kepalanya yang berdenyut, apakah waktu sangat cepat berjalan atau ia terlalu lama jatuh ke dalam lubang Jam di toko roti menunjukkan pukul sembilan malam saat ia pergi mengantar roti. Itu hanya berjarak dua puluh menit dari waktu ia terjatuh di rumah kayu. Harusnya sekarang masih jam sembilan lebih dua puluh menit alias malam hari. Tapi tempatnya terduduk sekarang, tidak bisa lagi disebut sebagai malam, ini bahkan juga bukan pagi buta.

Zhura dongakkan kepala dengan heran. Ada matahari yang bersinar di atas sana, menggambarkan sekarang adalah waktu siang. Sementara di desa, sekarang seharusnya masih malam. Lagipula ini November, di desa sedang musim dingin. Ia ingat bahkan ada badai salju semalam yang membuat jalanan terkubur benda dingin itu. Tapi anehnya, Zhura tidak melihat adanya sisa-sisa keberadaan es putih itu di sini.

"Apakah aku bermimpi? Apakah aku sudah mati?" Jika memang benar, maka seharusnya ia tidak merasakan rasa sakit yang menjadi bukti bahwa dirinya benar-benar jatuh tadi. Rasa gelisah menyeruak ketika Zhura menyadari kejanggalan. Beranjak berdiri, diangkat pandangannya ke puncak pohon. Entah seberapa tingginya pohon-pohon itu, tapi ia melihat puncaknya menghilang tertutupi kabut-kabut perak di atas sana.

"Kabut perak?!" Zhura sadar iris hijaunya terbelalak hampir lepas.

Meskipun Zhura adalah orang yang jarang berpergian, tapi gadis itu yakin tidak ada kabut berwarna perak di dunia. Dan lagi, pepohonan entah bagaimana tumbuh besar hingga terlihat menembus langit. Jika diestimasikan, tinggi pohon-pohon itu mungkin sekitar lima puluh meter. Satu lagi, waktu dan musim di sini berbanding terbalik dengan musim di desa. Dari berbagai hal tadi, poin pertanyaan utamanya adalah, "Di mana aku sekarang?!"

Tawa pecah dari bibirnya saat sisi kekonyolan Zhura berpesta dalam pengandai-andaian. Ia terbiasa mendengar kisah semacam ini dari dongeng tempat tidur yang diceritakan ibunya, tapi mengambil kesimpulan rasional dari hal fiksi hanya dilakukan orang profesional. Lalu seperti inilah dia, sisi otaknya tidak cukup pandai hingga ia terjebak kebingungan. Alih-alih dasar gelap yang meremukkan tubuh, lubang di lantai rumah kayu justru menariknya masuk ke dunia lain dengan kabut berwarna perak.

"Gila!"

Cahaya matahari berkilauan menyelinap dari balik kabut perak. Sinarnya yang terang menimpa zamrudnya yang sebenarnya sengaja ia buka lebar. Satu hal yang ia tangkap adalah jelas-jelas tidak ada rumah kayu di atas pepohonan. Rasanya tidak masuk akal jika ia sekonyong-konyong meluncur dari langit. Memikirkannya membuat isi kepala Zhura seakan direbus.

Aroma kayu khas hutan belantara masuk ke hidungnya yang tak seberapa. Ia coba menenangkan diri dengan bernapas lebih dalam, setidaknya ada banyak oksigen di tempat ini. Mungkin itulah penyebab ukuran pohon-pohon itu sangat luar biasa besar. Syukurlah tidak ada risiko ia akan mati sesak napas karena keracunan karbondioksida, tapi beda lagi soal hewan buas. Berdiam tak akan menghasilkan apapun, lekas ia menerawang ke mana arah ia bisa melangkah.

"Aku harus temukan jalan pulang!" Batinnya melakukan pertahanan diri dengan tetap percaya bahwa ia masih ada di dunianya. Meskipun demikian, ada perasaan ragu. Namun, ia segera gelengkan kepala seraya menguatkan tekad. "Ayo, Zhura!" soraknya semangat melangkahkan kaki di jalan setapak yang tampak samar-samar. Tidak apa, jalan yang samar sudah lebih dari cukup meyakinkannya bahwa ada orang lain juga yang melintasinya.

Kabut-kabut itu terlihat turun, mereka membuat suhu udara menjadi dingin bahkan di siang hari. Tempat Zhura berada adalah dataran tinggi karena ada uap juga keluar dari bibirnya saat ia bernapas. Mantel cokelat yang ia pinjam dari ibunya tidak banyak membantu mengusir hawa dingin, tapi cukup mengurangi kegelisahan. Waktu berlalu, tiga atau empat kilometer sudah dilalui bersama dirinya sendiri. Semuanya pun masih berjalan normal hingga dua jam ia berjalan.

"Dingin sekali," ujar Zhura mengusap pipinya yang membeku.

Ia pikir sesuatu yang terlalu mulus justru terlihat palsu. Pandangan Zhura semakin terbatas karena jarak kabut dan tanah tak lagi berbatas. Kabut-kabut menyebar ke permukaan tanah, saling berdekatan bak sepasang kekasih yang merindukan pertemuan. Fakta bahwa Zhura memilih itu sebagai perumpamaan adalah tanda bahwa otaknya mulai kehilangan akal. Kakinya menginjak ranting kering yang teronggok di tengah jalan. Sedikit berdecak, ia menyingkirkan ranting itu ke tepian lalu kembali melanjutkan langkah.

"Hei, Budak! Kau ingin lari kemana?!" Sebuah teriakan terdengar mendekatinya.

Zhura terlalu tidak peka terhadap dosa-dosanya di masa lalu atau memang nasib sial sedang merasuki takdirnya. Seseorang datang mencekal lengannya, gadis itu pun membalikkan tubuh hendak melihat siapa yang beraninya menghinanya. Namun, sosok itu lebih dulu menyeruak dari balik kabut. Siapa sangka seekor manusia setengah hewan kini menyeringai tepat ke arahnya.

Zhura mematung, bertanya-tanya dalam hati tentang kemungkinan ia memang sedang bermimpi. Ya, ini harusnya mimpi. Kalau bukan, berarti dia sudah tidak waras. Dipejamkan mata lalu menampar wajah kuat-kuat. Ketika Zhura membuka kembali pandangan, dinding logika dan realitas di kepalanya runtuh. Demi bedak yang menempel dua sentimeter di wajah Nyonya Mary, makhluk setengah hewan itu masih ada di depannya.

"Aaakh!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status