Share

Rumah Kayu

Kepingan salju menempel di jendela yang memburam akibat udara dingin. Entah itu bermain atau hanya duduk-duduk santai, angka tujuh derajat celsius tampak tidak mengurangi kebahagiaan anak-anak kecil untuk berada di luar rumah. Gejolak tak tertahan meronta ingin keluar, segera ia tutup hidung dengan tisu saat bersin itu datang. Benar-benar memalukan. Setengah musim baru terlewat, tapi sudah yang kelima kalinya gadis itu demam. Dirinya memang terlahir dengan kondisi yang rentan. Melihat keasyikan anak-anak kecil periang itu, dia merasa jadi butiran nasi kering di pinggiran piring.

"Kapan kau akan antarkan pesanannya? Hujan salju akan turun, bisa repot kalau terjebak." Seseorang membuka suaranya, memecah lamunan Zhura.

"Baiklah, aku akan pergi sekarang," ujar gadis itu kemudian memakai mantel, sejujurnya mantel cokelat itu adalah milik ibunya. Selanjutnya ia mengambil kertas dan juga bungkusan roti di atas meja. Kandelir besar yang tergantung di atas bergoyang saat pintu ruangan dibuka. "Sampai jumpa!" Zhura melambai pada gadis berponi yang kini sibuk membereskan toko tempat mereka bekerja.

"Berhati-hatilah, Zhura! Jangan sampai tersesat dan bawa pesanannya dengan benar. Langsung kembali ke rumah setelah mengantar rotinya! Awas saja kalau aku melihatmu duduk dengan paman-paman genit di pinggir jalan," seloroh Mia lalu tertawa hingga lubang hidungnya kembang kempis.

"Kau pikir aku gadis seperti apa?"

Zhura memberi delikan maut pada gadis berponi itu sebelum melangkah keluar dari toko roti. Seperti yang ujan salju turun menggerayangi tubuh yang mulai kedinginan saat atensinya terarah pada alamat di kertas. Ini adalah alamat yang ditinggalkan oleh pemesan, lalu ditulis ulang oleh Nyonya Mary. Ia tidak yakin, tapi sebelum Nyonya Mary memiliki toko roti seperti ini, wanita berbadan subur itu mungkin pernah bercita-cita menjadi seorang dokter.

"Cekeran ayam saja lebih rapi," kelakarnya sembari berusaha tidak terjerembab ke dalam salju yang menggenangi jalanan desa. Akan jadi bencana jika roti milik pemesan yang ia pegang terjatuh. Biasanya ada kurir yang akan mengantar pesanan roti, tapi dia sedang sakit. Zhura memeriksa sekali lagi tulisan di kertas, harusnya ini tidak akan memakan waktu lama.

Ia berjalan melewati jalan setapak. Ketika melewatinya, kaki yang terbalut sepatu putih itu menimbulkan suara berisik karena menginjak bebatuan kecil. Minimnya pencahayaan membuat gadis itu harus menyalakan penerangan dari korek yang sebenarnya tidak membantu banyak. Ayolah, ia bukan lagi anak kecil. Meskipun begitu, delapan belas tahun bukan usia di mana kau harus tenang saat berjalan sendiri di hutan pada malam hari.

Korek ini ia pinjam dari Nyonya Mary. Bosnya itu seorang perokok. Wanita paruh baya itu merokok tiga atau empat kali dalam seminggu. Yah, siapa sangka benda kecil yang selalu Mia coba sembunyikan akhirnya akan bermanfaat. Maklum, hal luar biasa yang disebut teknologi baru menyebar di beberapa bagian desa dekat kota. Sementara di pedalaman seperti desanya, tidak ada penerangan layak selain kandelir kuno di rumah-rumah warga.

"Permisi, apakah ada orang?" tanya Zhura sampai di tempat tujuan. Alamat yang dituliskan Nyonya Mary membawanya pada rumah di ujung hutan. Sisi kekanak-kanakan Zhura datang, ia memperhatikan setiap sudut teras rumah pemesan roti dengan penasaran. Hampir semua bagian rumah itu terbuat dari kayu. Bahkan jendela rumah juga dibuat dari lempengan kayu yang terlihat sudah lapuk.

"Permisi?! Apakah ada orang?!"

Pintu cokelat selebar satu meter di depannya terbuka, sesosok makhluk yang disebut wanita tua keluar. Mata wanita tua itu melebar, kemungkinan dia terlalu senang karena rotinya datang. Saat Zhura mengumbar senyum, sosok itu justru berubah menatapnya datar seolah melihat sayuran layu di pasar. Zhura membatin, pakaian yang nenek itu kenakan mengingatkannya pada karakter nenek di dongeng tentang masak-memasak.

"Halo, ini pesanan Anda," ujar Zhura mengulurkan bungkusan roti berukuran besar padanya. Wanita tua itu menerimanya dengan sorot intimidasi, lalu menyodorkan amplop bewarna cokelat. Bahannya tebal dan punya aroma alam yang khas, sepertinya itu kerajinan tangan.

"Saya akan periksa dulu uangnya." Diterimanya amplop itu dengan ragu-ragu. Saat yakin uangnya sudah pas, Zhura memasukkan uang itu kembali ke dalam amplop. "Aduh!" Sesuatu yang tajam menusuk jari telunjuknya di dalam amplop. Ia segera memeriksanya dengan cergas lalu menemukan benda yang menusuk jarinya. Zhura mengeluarkan benda itu, sebuah kalung dengan tali tipis hitam dan bandul tajam bewarna biru menyala.

"Apakah ini milik Anda?" tanyanya pada sosok wanita tua itu yang ternyata sudah pergi. Gadis muda itu pun mengedarkan mata ke sekeliling hanya untuk menemukan ketidakadaan di antara lebatnya pepohonan. Batinnya yang masih realistis tidak ingin berspekulasi apapun, kemungkinan yang paling masuk akal adalah wanita tua itu sudah masuk kembali ke rumahnya.

"Permisi, Nyonya!" Zhura tanpa ragu mengetuk pintu kayu itu. Saat mengintip ke dalam rumah, ia begitu terkejut melihat ruangan di dalamnya yang sangat gelap. Pening sontak menyerang kepalanya. "Apa ia tidak punya uang untuk membeli minyak? Atau lilinnya mungkin sudah habis? Rasanya tidak mungkin, dia tadi membeli banyak roti," gumamnya masih tak habis pikir.

"Maaf, ada barangmu yang tertinggal di amplop, Nyonya! Kenapa dia tidak menyahutiku? Apa wanita itu tidak mendengarku?" Itu tidak mungkin, jelas-jelas pintunya terbuka. Kegilaan gadis itu datang bersama temannya, risau. Hutan akan semakin gelap jika malam semakin larut. Beruang atau singa, dia tidak bisa memastikan makhluk apa yang akan berpapasan dengannya nanti.

"Barangmu aku letakkan saja di depan pintu, Nyonya!" Tidak ada balasan yang terdengar dari dalam. Zhura lantas menunduk hendak meletakkan kalung itu. Ini di hutan. Semuanya akan aman-aman saja jika ia meninggalkan benda ini karena tidak ada orang yang mungkin berpotensi akan mencurinya.

'Krak!' Suara benda roboh terdengar begitu keras dari dalam rumah kayu itu.

Sontak saja niat meletakkan kalungnya musnah, Zhura genggam itu dengan gemetar yang merambat di tangan. "Nyonya, apa kau baik-baik saja?!" serunya memastikannya. Jika diperhatikan, peristiwa ini terasa seperti di dongeng-dongeng horor. "Bagaimana ini?" Ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Hutan terlihat semakin gelap dan ia harus segera pulang. Namun sekali lagi, bagaimana keadaan wanita tua itu di dalam terus mengganggu pikiran. Hati Zhura resah. Ia tidak mau esok hari desa heboh dengan penemuan mayat di pelosok hutan, lalu dia yang menjadi tersangkanya.

"Ya Tuhan!" Daripada semua itu, lebih parah lagi jika wanita tua tadi benar-benar meninggal lalu menjadi arwah penasaran dan menghantuinya. Setelah ia pikir-pikir lagi, sepertinya lebih baik dijadikan tersangka daripada harus dihantui arwah. Dibukanya pintu itu, dengan polosnya berharap sinar bulan akan meneranginya dari balik rimbunnya pepohonan. Sembari berpegangan pada dinding, ia menggenggam erat-erat korek yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.

"Aku pengantar roti, kalungmu terbawa di amplop. Aku kemari mengembalikannya padamu!" teriaknya yang ke seratus empat puluh kali. Melihat rumahnya yang gelap dan kotor lekas membuat pikiran seronok berterbangan. Sepertinya serangga pun tidak dapat bertahan hidup saking banyaknya debu yang menumpuk. Bagaimana cara wanita tua itu memakan rotinya di dalam ruangan seperti ini menciptakan keheranan. Zhura pikir sebelum suapan pertamanya, dia pasti lebih dulu tersedak debu-debu rumah ini.

Ketika Zhura sibuk mengusir rasa takut, langkahnya justru tertahan karena sesuatu yang keras mengenai siku kanannya. Ada sebuah pintu yang terbuka, ia langsung saja masuk ke sana. Ruangannya tidak jauh dari pintu masuk, tapi di dalam kegelapan semuanya terasa tak terbatas. Ia sapukan pandangan ke seisi, masih gelap dan pengap. Zhura sudah mengelilingi rumah ini dalam sekejap karena ruangannya memang tidak banyak. Namun, anehnya gadis itu masih tidak bisa menemukan keberadaan wanita tua itu di mana pun.

Sekarang ia harus bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status