"Valea, ada apa dengan wajahmu?""Bukan urusanmu!" teriak gadis merah itu seraya memalingkan wajahnya. Meskipun dia menyembunyikannya, beberapa luka goresan di pipi bulatnya masih terpampang jelas di mata Zhura. Suara tawa renyah terdengar mendekat. Inara keluar dari balik rak dengan berbagai buku-buku besar di tangannya. Gadis elf lalu meletakkan buku-bukunya di meja, sebelum kemudian mengambil duduk di samping Zhura. Saat ini mereka sedang berada di dalam perpustakaan istana karena para jenderal sedang mengikuti pertemuan bersama raja untuk membahas evaluasi bulanan."Jangan ganggu dia, Zhura. Valea sedang marah besar," ujar Inara seraya membuka buku pertamanya. Zhura lantas mengintip pada halaman yang Inara buka. Melihat barisan tulisan itu, alisnya sontak menekuk. Semenjak datang ke dunia ini, ia jadi mengerti bagaimana perasaan orang-orang yang buta huruf."Kenapa dia marah besar?" tanyanya kembali menatap pada Valea."Tadi pagi ada kejadian unik. Ada seekor marmoset kabur dari t
"Saat mengarahkannya ke musuh, buatlah kuda-kuda yang kuat lalu pusatkan kekuatan tangan pada pegangan pedangnya. Ketika sudah menemukan titik yang tepat-"Azhara menghentikan penjelasannya tentang bagaimana seseorang menggunakan senjata karena ia menyadari sorot aneh dari orang di hadapannya. Pemuda perak itu tak bisa berkata-kata dan hanya menatap lawan bicaranya yang sejak tadi mematung. Di tempatnya, iris Zhura tak berpindah dan lekat mendalami jernihnya mata biru itu. Alih-alih mendengarkan penjelasan dari Azhara, gadis itu justru fokus dan mendalami perannya sebagai perusak konsentrasi mengajar pemuda di depannya.'Pertama, pastikan diri Anda terlihat dengan jelas oleh mereka. Tatap lekat wajah orang yang ingin Anda tarik perhatiannya. Berikan tanda dengan menggunakan pandangan konstan. Jika mereka menyadarinya dan tersipu, itu berarti mereka memperhatikan Anda. Jika mereka menyadarinya, tapi tetap diam, berikanlah kalimat pujian agar mereka merespon. Respon yang berupa senyuman
"Benci orang yang bernapas terlalu keras."Seolah-olah kain hitam dibentangkan sejauh mata memandang, langit begitu gelap gulita karena mangkirnya bulan dan antek-anteknya. Akibatnya malam terlihat muram. Di tengah jalan sepi, Zhura menatap catatan yang Ramia tuliskan pada kertas untuknya. Di kertas tertulis bahwa Azhara tidak suka pada orang yang menghela napas terlalu kuat.Entah benar atau salah, itu yang Zhura tangkap dari pemahamannya karena pengabjadan yang terbatas. Selain poin itu, ada hal-hal lain yang disukai dan dibenci oleh Azhara. Jika dipikirkan lagi, sebenarnya ini sangat menggelikan. Semua poin yang tercatat di sini adalah bukti bahwa Zhura sama sekali tidak mengenal gurunya sendiri.Bagi gadis itu, pikiran Azhara adalah sesuatu yang pantang untuk tersentuh. Saking tersembunyi tempat itu, palung terdalam di dunia saja kalah. Palung itu sudah pernah terjamah oleh manusia, tapi tidak dengan Azhara. Zhura mengira tidak ada satu orang pun di dunia, yang benar-benar mengert
Sekujur tubuh Zhura gemetar karena sosok-sosok itu begitu serius ingin membunuhnya. Lebam sudah memenuhi pergelangan tangan tapi ia tidak bisa diam dalam kegelapan. Pada saat itu, Zhura putuskan untuk bersembunyi di balik semak-semak rimbun. Sembari mengontrol laju jantungnya yang ingin meledak, ia mengamati benda yang ia sita dari sosok bertudung itu.Pedang panjang dengan bilah perak, terlihat motif berbentuk bunga terukir di gagang putihnya. Lebih cermat lagi diteliti, Zhura menyadari bentuk bunganya mirip seperti mawar. Meskipun begitu, ia ragu karena tidak ada duri di tangkainya."Darah?" Zhura tersentak saat menyadari ada darah di telapak tangannya yang juga mengotori gagang pedang itu. Panas dan nyeri. Pantas saja ia merasakan sakit sejak tadi, tidak ia sangka kuku jari manisnya patah.Ctak!Tubuh Zhura bangkit ketika sebuah kunai melesat dan menghantam pedang di genggamannya hingga terlempar. Di arah jam sembilan, sosok bertudung kini berdiri memegang pedangnya. Dari keempat t
"Masuklah."Gadis itu merapikan pakaiannya dengan mengusap-usap pelan sebelum melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Sesaat mata Zhura memandangi arsitektur dalam ruangan seluas lima belas kali sepuluh meter itu. Tiang-tiang besar berdiri di atas lantai berkarpet kemerahan yang menguarkan aroma harum. Zhura melongo ketika mendapati hiasan-hiasan kuno yang antik dan mempunyai nilai estetika tinggi di seluruh penjuru tempatnya berada. Langkah gadis itu berlanut hingga wanita berpakaian tabib yang menuntunnya, mengantarnya ke bagian bangunan yang terbuka.Atap tidak lagi menaungi mereka berdua, kini ia sampai di taman luas yang hijau dan sejuk. Di sisi kiri hamparan subur itu ada kanopi besar yang juga menjadi tempat pertemuan mereka. Tabib Ma berhenti menuntun Zhura ketika mereka sampai di bawah kanopi berbahan terpal kecokelatan itu. "Salam, Yang Mulia. Dia sudah datang." Tabib Ma menunduk hormat pada sosok di hadapannya."Kemarilah, jangan takut." Seorang nenek yang jauh lebih tua da
Kedua tangan mungil itu menarik sisi busur panah berbahan kayu angsana hingga melengkung berbentuk setengah lingkaran. Segera setelahnya, anak panah dengan ujung runcing yang ada di genggamannya terlontar kala tarikannya dilepas. Benda itu melesat di udara dan menimbulkan bunyi melengking. Beruntung, rerumputan hijau berbaik hati meredam suaranya. Dengan cermat, diikutinya lesatan panah itu hingga ia berakhir di sebuah papan bundar di tengah halaman."Lumayan, kau sudah bisa mengunci target." Ramia mengangkat tangannya, menghalau sinar matahari sore yang menyilaukan pandangan. Pemuda itu berbalik dan menatap sosok di dekatnya, "Sekarang sudah sore, latihan hari ini cukup sampai di sini. Jujur saja tidak kusangka kau cukup handal. Jika kau menjaga performa tetap seperti ini, aku yakin kau pasti bisa menjadi yang terbaik di evaluasi bulanan."Zhura mengibaskan rambutnya ke belakang punggung, sebelumnya itu berantakan karena turut terseret lontaran anak panahnya. Ia mulai memikirkan sebu
Zhura merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Helaan napasnya terdengar ketika otot-ototnya yang dipaksa bekerja seharian akhirnya bisa melemas. Bahkan saat suasana malam begitu pas untuk terlelap, nyatanya ia masih belum memejamkan mata. Dipandanginya langit-langit kamar yang mengkilap dengan mata nyalang, jauh lebih lekat, bayangan tentang apa saja yang ia lalui hari ini tergambar di sana. Latihan panah yang melelahkan, cerita masa lalu kelam Ramia, dan sebuah fakta lain tentang Azhara yang tak pernah Zhura kira sebelumnya."Hati yang mati adalah hati yang tidak lagi dimiliki oleh sang pemilik, seseorang yang memilikinya harus hidup tanpa merasakan segala macam perasaan duniawi." Bibir Zhura mengerucut ketika dirinya teringat perkataan Ramia. Sebuah dengkusan lolos tak lama setelahnya, dengan perasaan campur aduk Zhura memukul kasurnya. Ini tentang bagaimana kepalanya yang tidak berhenti memikirkan hal-hal yang tidak ingin ia bayangkan. Bagaimana ia bisa menjadi segila ini hanya k
Brengsek!Bibir Zhura yang tertutup rapat mengirimkan sumpah serapah pada Azhara. Tidak masalah, jika pemuda itu tidak bersedia membantunya, Zhura akan temukan cara lain untuk datang ke perjamuan. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda tapi dia sudah tak tahan berdampingan dengan gurunya. Gadis itu pun mengatur laju jantungnya yang menggebu untuk membuang emosi. Ia melihat kandang Rou-rou yang digantung di sudut ruangan bergoyang saat angin bertiup kencang."Ini sudah sangat larut, kenapa kau belum tidur dan malah berdiri di luar seperti tadi?" tanyanya mencari topik lain untuk mengisi keheningan.Tanpa mengatakan apapun, Azhara mengusap pinggiran cangkir tehnya. Tampaknya ia sedang memperbaiki suasana hati. Zhura pun memperhatikan sosok di depannya. Sepertinya Ramia pernah bilang bahwa Azhara kerap terbangun di malam hari karena dihantui seorang gadis di mimpinya yang terjadi berulang kali."Mimpi buruk itu datang lagi, jadi kau tidak ingin kembali tidur. Aku benar, 'kan?" tan