**Athikah_Bauzier***
Zeeta membeliakkan mata menatap ketiga pria yang menyorot tubuhnya tanpa ampun. Semakin direkatkan rengkuhan pada kedua lututnya.
"Hai, cantik! Siapa namamu? Jangan takut. Kami akan memperlakukanmu dengan lembut." Salah seorang pria mengenakan kaus biru terpana menatap Zeeta yang semakin meringkuk.
"Ma–maafkan saya, Tuan. Sa–saya mau pulang."
"Menyingkir kalian berdua! Wajah mesum kalian membuatnya takut!" Pria bersweater putih mendorong tubuh kedua rekannya seraya menyeringai. Lalu, mengulurkan tangan pada wanita di hadapannya. "Kemarilah, Cantik! Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya terdengar lembut saat menyorot Zeeta.
Zeeta hanya menggeleng.
"Tidak perlu takut. Baiklah! Aku tidak akan menyentuhmu. Kau bisa keluar sendiri," lanjut pria itu lagi.
Zeeta pun mengangguk.
"Ayo, keluarlah," tandas pria itu lagi.
'Ya Allah ... turunkan untukku seorang Malaikat tak bersayap kali ini. Aku sungguh takut,' batin Zeeta berucap. Dengan perasaan enggan, ia pun mencoba turun dari bathub di mana tempatnya bersembunyi.
Saat berada di kamar, ia menatap pria-pria tadi duduk di bibir ranjang seraya menyoroti dirinya tanpa mengedipkan mata.
"Tidak biasanya Rezvan membawa wanita seperti ini," tukas pria yang tadi bersikap lembut pada Zeeta.
"Jangan gegabah, Danny! Kita tidak tahu dia siapa. Siapa tahu dia saudara Rezvan," ujar pria satunya lagi.
"Saudara? Tengah malam begini? Ckckck!" Pria bernama Danny itu bangkit lalu mencoba mendekat pada Zeeta yang terlihat bergetar.
"Tu–tuan, saya permisi pulang dulu!" Zeeta hendak melangkah keluar dari pintu kamar.
Namun, pria bernama Danny menghalangi langkah Zeeta. "Kau mau ke mana, Cantik?"
Kedua bola mata wanita cantik itu pun membelalak sempurna. Denyut nadinya seakan nyaris terhenti saat mendapati pria bertubuh tegap itu berdiri tepat sejengkal di hadapannya.
***Athikah_Bauzier***
Rezvan dan Erga membuka pintu utama. Sesaat terdengar suara teriakan melengking dari kamar di lantai atas. "Sh*ttt!" Dengan tergesa keduanya berlari menyusuri tangga.
"Jangaaannn! Lepaskan saya, Tuan! Tolong!!" Teriakan Zeeta terdengar histeris.
Danny dengan beringas membuka paksa pakaian yang Zeeta kenakan. Sementara kedua pria yang lain berusaha menahan kedua tangan dan kaki wanita itu supaya tidak meronta.
"Bening sekali dia. Rezeki kita malam ini!" seru Danny dengan tatapan penuh nafsu.
"Bro, apa tidak menunggu Rezvan saja?" ucap pria berkaus biru.
"Alaaahhh!" Danny tak mau tahu. "Sudah tengah malam juga. Sikat saja!"
Ketiga pria itu pun tetap berusaha hendak melancarkan aksi bejatnya.
"Kalian!" Sebuah suara menghentikan aktivitas ketiganya seketika.
Rezvan mendekat lalu mencengkram kerah sweater bagian belakang yang Danny kenakan, membanting tubuhnya ke lantai, lalu meninju wajah pria itu sehingga terpental.
Sementara Erga juga menghajar kedua pria yang lainnya.
"Rezvan! Kau!" Danny mengelus rahangnya yang terasa ngilu.
"Keluar kalian bertiga!" perintah Rezvan dengan suara menggelegar.
"Van, apa-apaan ini, hey? Bukankah kita akan bersenang-senang malam ini?" Danny berusaha bangkit seraya mengusap darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Lalu buru-buru menaikkan resliting celananya ke atas.
"Sudah kutekankan! Jangan pernah sekalipun menyentuh milikku kalau tidak aku izinkan!" Rezvan mendorong keras tubuh Danny berulang kali sehingga pria di hadapannya terhuyung.
"Hanya karena wanita?! Hanya karena seorang wanita kita seperti ini?" Danny mendengkus kesal seraya menyeringai.
"Keluar!" tekan Rezvan lagi.
"Argghhh! Tidak asyik! Ayo, kawan kita cabut!" Danny dan kedua rekan lainnya bergegas meninggalkan kamar.
Erga mendekat pada Zeeta—di tengah tengah ranjang—yang terlihat shock dan kacau. Wanita itu hanya duduk bergeming, menatap kosong ke depan dengan kedua tangan yang diremas di depan dada. Sementara tubuhnya bergetar hebat. Patahan kata tak mampu ia ucapkan, bahkan isakan pun tak terdengar. Hanya derai air mata mengalir tak terhenti dari kedua benik matanya yang membuka lebar.
Erga menarik selimut dari lemari lalu menyelimuti tubuh wanita dengan pakaian yang nyaris saja terlepas dari tubuhnya itu. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya kemudian.
Zeeta hanya bergeming. Tampak kaku.
"Van! Dia shock!" celetuk Erga.
"Ya jelaslah! Damn! Danny!" Rezvan meremas rambut kacau. "Dia tidak terluka, kan, Bro?"
"Aman!" sahut Erga.
"Syukurlah!" timpal Rezvan.
"Hanya sedikit lagi! Andai kita ... " Erga menatap lekat pada wanita di hadapannya. "Terlambat," imbuhnya kemudian.
"Arrghhh! Si*l!" umpat Rezvan. Lalu, menunduk meraih minuman hangat yang tadi ia beli dari luar sepaket dengan makanan yang tak sengaja dijatuhkannya di lantai.
"Minumlah dulu!" Rezvan menaiki ranjang, lalu menyodorkan sedotan pada bibir Zeeta. Namun, wanita itu menolak dengan menghempas tangan pria itu dengan keras.
"Hey, kau!" Rezvan menyorot tajam ke arah Zeeta.
"Tu–tuan! Ba–bawa saya ... be–bersama A–anda saja, Tuan! Sa–saya ta–kut!" Zeeta menatap Erga, lalu buliran bening pun kembali luruh menderas dari kedua benik matanya.
Erga pun menoleh pada Rezvan yang tampak terperangah. Mereka berdua pun saling memandang.
"Hey, kau! Aku yang menyelamatkanmu dari Danny tadi." Rezvan tampak terlihat kesal.
Namun, Zeeta sedikit pun tak menoleh pada Rezvan. Ia merasa sangat sakit hati. Wanita itu hanya berpikir, andai tadi pria itu membiarkan dirinya pulang, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
"Kau tidak apa-apa, bukan?" tanya Rezvan lagi.
"Ba–bagaimana bisa Anda bertanya saya tidak apa-apa, Tuan? A–apa saya terlihat baik-baik saja?" lirih Zeeta kemudian.
"Arrghhh! Wanita ini! Maksudku, Danny tidak sampai mem*rkosamu, bukan? Lalu masalahnya di mana?" timpal Rezvan.
"Van, sudahlah!" perintah Erga.
"Sialll! Tidak jadi kita bersenang-senang malam ini!" gerutu Rezvan lagi.
"Van!" Erga memberi isyarat mata agar Rezvan segera menghentikan ocehannya.
"Argghhh! Sudah aku bayar mahal juga!"
"Sa–saya tidak mengerti apa maksud Anda sudah membayar mahal, Tuan?" pekik Zeeta.
"Jangan sok polos!" putus Rezvan.
"Su–sungguh, Tuan!"
"Argghhh! Erga, kau diamkan saja wanita ini. Setelah dia tenang, biarkan dia memuaskan kita berdua saja malam ini!" perintah Rezvan.
"Sa–saya tidak mengerti apa maksud Anda sudah membayar mahal, Tuan?" pekik Zeeta.
"Jangan sok polos!" putus Rezvan.
"Su–sungguh, Tuan!"
"Argghhh! Erga, kau diamkan saja wanita ini. Setelah dia tenang, biarkan dia memuaskan kita berdua saja malam ini!" perintah Rezvan.
"Rezvan!" Suara Erga sedikit terdengar lantang.
Mendengarnya, kembali tangisan Zeeta berderai. "Tu–tuannn! Ma–maafkan saya. To–tolong jangan seperti ini. Sa–saya bukan wanita seperti itu! Sa–saya wanita baik-baik, Tuan," ibanya.
"Iya, aku tahu! Aku hanya bercanda!" timpal Rezvan.
"Erga, sebaiknya kau pulang saja. Biarkan aku saja yang mengatasi wanita ini," suruh Rezvan menatap Erga yang masih duduk di bibir ranjang.
"Ja–jangan, Tuan. Sa–saya mohon jangan tinggalkan saya di sini!" Dengan cepat, tangan dingin Zeeta menahan lengan Erga.
"Argghhh! Drama macam apa ini?! Kau sekarang terperangkap dengan sikap lembut Erga, heh? Kau belum tahu siapa dia! Buaya ini bahkan bisa lebih kejam melahapmu di ranjang tanpa ampun!" pungkas Rezvan.
Seketika, tangan Zeeta menarik diri dari lengan Erga. Kembali ia semakin merekatkan selimut yang membalut tubuhnya."Sekarang kau mulai percaya dengan ucapanku juga, heh? Hah! Dasar polos sekali wanita ini! Rasanya ingin aku ... arrghhh!" cecar Rezvan."Sudahlah, jangan dengarkan dia!" ujar Erga menatap Zeeta yang masih meringkuk di balik selimut.Erga Alterio Savian. Pria tampan bermata sendu ini adalah sepupu dari Rezvan Malven Oxley. Ia juga merupakan CEO dari perusahaan ternama SAVIAN yang juga sama bergerak dalam bidang property. Sikap lembut dan bijak dalam menghadapi sesuatu membuatnya banyak disukai bawahan maupun relasi bisnis. Namun, tak jauh beda dari kehidupan Rezvan—demi menghilangkan penat usai beraktivitas—kehidupan dunia malam juga menjadi candu baginya.Kepolosan Zeeta tak mampu membedakan mana pria yang benar-benar tulus dan mana yang hanya modus. Ia hanya mampu menilai dari a
"Amhh ... itu .... " Erga menghentikan ucapan lalu menatap Rezvan. "Kalau begitu saya siap-siap dulu, Tuan." Zeeta pun membawa tas di tangan lalu bangkit hendak mengganti pakaian. "Iya, benar begitu! Tidak usahlah berterimakasih. Aku sudah biasa." Rezvan menyulut rokok di tangan. "Te–terima kasih, Tuan, atas pakaiannya," ucap Zeeta pada Rezvan, lalu kembali menundukkan pandangan. "Telat!" sahut Rezvan. "Ini ganti di mana, Tuan?" tanya Zeeta. "Ganti di depan kami berdua saja!" seloroh Rezvan. "Kau ini!" Ia pun menggeleng. "Ti–tidak bisa begitu, Tuan." Kedua bola mata Zeeta membulat sempurna. "Argghhh! Kamar ataslah!" Rezvan tampak meradang. "Apa aku saja ya
"Kau." "Iya, Tuan?" Zeeta menundukkan pandangan. "Untuk mengganti semua uangku yang hilang, kau harus melayaniku sampai batas waktu yang kutentukan," ucap Rezvan. "Me–melayani?" Wajah Zeeta tampak memucat. "Me–melayani bagaimana, Tuan? Sa–saya tidak mau melayani Tuan di tempat tidur. Kita bukan mahram, Tuan. Itu dosa." "Aarrgghhh! Ceramah lagi! Simpan saja ceramahmu!" Rezvan menggeleng seraya berkacak pinggang. "Ma–maaf!" "Kau punya keahlian apa?" "Saya bisa masak, mencuci, menyapu, dan melakukan apa pun di rumah ini untuk Tuan. Ta–tapi ... jangan suruh saya melayani Tuan di tempat tidur. Saya tidak mau, Tuan," tutur Zeeta tanpa basa-basi. "Melayani di tempat tidur saja tidak bisa.
"Baik, Tuan. Anda ke mari untuk mencari Tuan Rezvan, kah? Sayangnya Tuan Rezvan belum pulang ini." "Aku datang untuk menemuimu." "Sa–saya ...?" Zeeta menyentuh tepat pada bagian dada. "Yup! Boleh aku masuk?" "Ta–tapi ... sebelum saya mendapat izin dari Tuan Rezvan, saya tidak bisa membiarkan tamu pria masuk, Tuan." "Kau jangan lupa, kami sudah terbiasa menghabiskan waktu di sini bersama," tukas Erga. "Oh, iya ... tapi .... " "Kau ini berbicara seakan nyonya dari pemilik rumah," canda Erga kemudian. "Bukan begitu ...." Erga pun melangkah masuk. "Hemh ... aku mencium aroma masakan. Apa kau sedang memasak?"
***Athikah_Bauzier*** Semenjak kehadiran Zeeta di rumah Rezvan, tak seperti biasanya Erga menjadi lebih sering mengunjungi rumah Rezvan. Tak ayal, kedatangan Erga membuat Zeeta merasa aman. Terlebih lagi kedatangan pria itu dapat mengontrol sikap Rezvan yang seringkalinya membuat Zeeta kehabisan kata-kata dan mengurut dada. "Malam ini kau di kamar saja," perintah Rezvan. "Kawan-kawanku akan datang." "Tuan Erga juga datangkah, Tuan?" "Hei ... ada apa kau ini? Berlebihan sekali!" "Ti–tidak apa-apa, Tuan." "Jangan bermain hati, kalau tak mau terluka. Aku tidak mau tanggung jawab kalau kau bunuh diri karena patah hati," ucap Rezvan lagi. "Maksud Tuan apa?" "Ar
"Van .... " Erga berjalan cepat, mendekat pada Rezvan, mengangkat tangan lalu hendak melayangkan kepalan tangan tepat pada wajah Rezvan."Jangan, Tuan! Saya mohon jangan berkelahi! Jangan, Tuan Erga!" Zeeta berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan Rezvan, lalu mendorong tubuh Erga tepat pada bagian dada. "Jangan, Tuan!" isaknya kemudian."Zeeta! Masuk ke kamarmu!" sentak Rezvan lagi."Tu–Tuan ... saya mohon Anda berdua jangan berkelahi!" Tangisan Zeeta semakin berderai. Ia menatap Rezvan seraya meremas kedua tangan tepat di depan dada."Masuk ke kamarmu!" Rezvan semakin geram.Tanpa dapat mengucapkan patahan kata, dengan tubuh bergetar, Zeeta pun berlari ke dalam."Ga, kali ini kau berurusan denganku! Jadi ... jaga sikapmu!" Rezvan menunjuk Erga, lalu berlalu mengikuti langkah Zeeta.***Athikah_Bauzier***Sesaat setelah Zeeta memasuki kamar dan hendak menutup p
Saat hendak menutup pintu kembali, Erga dikejutkan oleh Rezvan yang tengah berdiri dan bersandar pada dinding di dekat pintu kamar seraya melipat tangan di dada. "Sedang apa kau di sini? Bukankah malam ini kau serahkan dia ke dalam pelukanku?" Erga menautkan alis. Rezvan hanya bergeming dan berbalik menyorot tajam. "Apa kau mulai mengkhawatirkannya? Khawatir jika aku mengeluarkan taringku seperti biasanya?" lanjut Erga seraya menaikkan bibir sebelah. "Hati-hati, jangan bermain hati! Nanti kau akan terluka," sindirnya lagi kemudian. Lalu, berlalu dari hadapan Rezvan dan menyusuri tangga. "Aku ingin berbicara denganmu," ucap Rezvan. "Hemh!" "Apa yang kau inginkan, Ga?" "Apa yang aku inginkan?
Rezvan menatap punggung Zeeta yang berlalu hendak meninggalkannya. "Hei, kau, Zeeta?!" "Iya, Tuan?" Zeeta berbalik arah. "Kenapa bersikap tidak sopan?" "Ma–maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kalau pertanyaan saya itu tidak butuh jawaban? Itu cuma ... cuma ... cuma apa, ya, tepatnya?" Zeeta memutar bola mata ke atas seakan tengah berpikir. "Aku tidak membahas itu. Kau tidak sopan masuk kamar dulu sementara aku belum berangkat kerja." Rezvan melirik Zeeta dari atas ke bawah sehingga membuat Zeeta merasa risih. "Lha, memang saya siapanya Tuan? Itu bukan urusan saya mengantar Tuan ke depan. Tugas saya, kan, hanya memasak, mencuci, membereskan kamar Tuan. Tidak pernah Tuan membaha