Menyadari bahaya yang akan dihadapi, sontak, Zeeta pun memekik, "Aahhh ...."
Namun dengan cepat pria itu menutup mulut Zeeta. "Jangan berteriak! Atau mereka semua akan mendengar!" tekannya.
"Akan kubuka, tapi jangan berteriak! Aku tidak akan menyakitimu. Mengerti?!" tukas pria itu lagi.
Zeeta pun hanya mengangguk seraya terisak pelan.
"Siapa kau?" tanya pria itu.
"Tu–an! Se–selamatkan saya, Tuan! Sa–saya tidak mau berada di sini. Sa–saya takut!" Buliran bening kian menderas dari kedua benik mata Zeeta.
"Sssttt!" suruh pria itu lagi seraya menoleh ke arah pintu. Ia pun bangkit, lalu mengunci pintu kamar mandi dari dalam.
Melihat pria itu mengunci pintu kamar mandi, Zeeta membelalakkan mata. Semakin dirapatkan rengkuhan pada kedua lututnya.
"Ja–jangan, Tuan! Sa–saya wanita baik-baik," Wanita itu semakin terisak.
"Sedang apa kau di sini?"
"Sa–saya hendak melamar pekerjaan, ta–tapi sa–saya tidak paham kenapa bisa seperti ini. Sa–saya takut, Tuan!" Mulut Zeeta bergetar.
Pria tersebut menyorot wanita yang terlihat gugup itu. Menyadari akan sebuah kesalahan yang tidak seperti biasanya. "Bagaimana bisa kau berada di kamar ini?" tanyanya kemudian.
"Pria itu ... me–nyekap sa–ya di kamar ini, Tuan. Di–dia mengatakan, sa–ya harus me–muaskan ka–kawan-kawannya ma–malam ini. Sa–ya bu–kan pe–lacur, Tuan. To–long! Ja–ngan apa-apakan saya!"
"Rezvan maksudmu?"
"Sa–saya tidak tahu, Tuan."
"Kau tunggu di sini! Berbaringlah di bathtub. Berusahalah! Jangan sampai kawan-kawanku melihatmu," suruh pria yang mengenakan kaus santai hitam berpadu dengan blue jeans itu.
"Erga! Cepatlah, Bro! Kau tidur atau apa di dalam?" panggil salah seorang pria dari luar.
"Mules, Bro!" sahut pria yang dipanggil Erga itu dengan tatapan masih melekat pada wanita cantik di hadapannya.
"Siapa namamu?" tanya pria itu lagi pelan.
"Zeeta, Tu–tuan," sahut Zeeta masih dengan air mata yang berderai.
"Aku Erga."
Zeeta hanya mengangguk cepat. Rasa takut masih menyelimuti perasaannya.
"Baiklah, aku keluar dulu. Ingat kata-kataku! Jangan melakukan pergerakan mencurigakan," tekannya lagi.
"I–iya, Tuan."
Pria bernama Erga itu pun melangkah keluar. Zeeta bernapas lega saat pria yang baru saja menemukannya tak mencoba melakukan hal buruk padanya.
***Athikah_Bauzier***
"Arrggghhh! Aku kehabisan rokok!" keluh salah seorang pria bersweater putih. "Masam sekali mulutku! Ke mana pula si Rezvan? Ponselnya mati juga!"
"Kita terlalu awal datang, Bro," timpal seorang yang lain.
"Ga, kau bawa motor, kan? Bukankah kau tadi bilang akan membeli sesuatu? Titip rokok!"
"Nanti saja!" Erga tampak keberatan. Sedang tangannya sibuk memainkan ponsel. Diliriknya pintu kamar mandi.
"Ayolah, Bro! Hanya kau yang membawa motor!" Pria bersweater putih itu melempar bantal ke arah Erga.
***Athikah_Bauzier**
Rezvan mengarahkan mobil ke pom bensin sebelum memutuskan kembali ke rumah. Situasi jalan tampak lengang. Hanya orang-orang penikmat dunia malam yang tampak berseliweran di beberapa lokasi hiburan.
Tepat di ujung jalan, lokasi karaoke ternama penuh dengan kendaraan. "Sial! Tahu begitu kuajak saja kawan-kawan ke sana. Arrrggghhh!" gumamnya lagi.
Usai mengisi solar, dan membayar total tagihan, Rezvan mendapati Erga hendak keluar dari parkiran sebuah pertokoan di dalam pom bensin. Bergegas ia memutar kendaraan dan mendekat pada Erga. "Ga!" panggilnya.
Erga pun mendekat. Lalu, membuka kaca pada helm teropong yang dikenakannya. "Van, kau ke mana saja?"
"Ada urusan."
Erga sedikit menengok ke dalam mobil, dan melihat dua kotak makan di kursi jok sebelah Rezvan. "Apa wanita itu?" tanyanya kemudian.
"Damn! Kalian sudah sampai? Sudah melihatnya?" Rezvan meraup wajah dengan gusar.
"Hanya aku, belum lainnya. Ia bersembunyi dan menangis di kamar mandi. Aku memintanya untuk tetap diam di sana. Hsshhh! Kenapa justru aku meninggalkannya?!"
Awalnya Erga memang sempat keberatan untuk keluar. Namun, desakan dari yang lain membuatnya harus mengalah. Alasan kuat bagi yang lain, hanya dirinyalah yang membawa motor malam ini.
"Damn! Danny! Jangan biarkan dia tahu!" pungkas Rezvan.
Tak lama, ponsel Rezvan berdering.
"Ya?"
"Kau ke mana saja, Bro?"
"Otw," sahut Rezvan.
"Cantik juga! Dari mana kau mendapatkan wanita ini? Tak sabar lagi! Cepatlah pulang!"
"Damn! Dan! Jangan kau sentuh dia!"
"Hey, what's up, Bro? Kau sudah berjanji malam ini!"
"Sedikit kau sentuh dia, aku hajar kau!" Rezvan mengeraskan rahang.
"Ayolah, Bro! Jangan main-main!"
"Jangan sentuh dia! Bangsaattt!" Rezvan membanting sekali lagi ponsel yang di genggamnya hingga mengenai dashboard. "Arrggghhh! Ponselku! Sial!"
"Van!?" Erga mengernyit.
"Gas, Bro! Danny berulah."
"Oke!" Erga menutup helm topong AGV Ducati Panigale V4 R dibalut cat airbrush dengan kolaborasi warna hitam, merah, putih abu-abu dan juga carbon, lalu menstarter motor Ducati merah miliknya.
Bersambung ....
____
Zeeta dalam bahaya. Bisakah Rezvan dan Erga datang tepat waktu?
Telat ajalah, ya. Hahahaha
**Athikah_Bauzier***Zeeta membeliakkan mata menatap ketiga pria yang menyorot tubuhnya tanpa ampun. Semakin direkatkan rengkuhan pada kedua lututnya."Hai, cantik! Siapa namamu? Jangan takut. Kami akan memperlakukanmu dengan lembut." Salah seorang pria mengenakan kaus biru terpana menatap Zeeta yang semakin meringkuk."Ma–maafkan saya, Tuan. Sa–saya mau pulang.""Menyingkir kalian berdua! Wajah mesum kalian membuatnya takut!" Pria bersweater putih mendorong tubuh kedua rekannya seraya menyeringai. Lalu, mengulurkan tangan pada wanita di hadapannya. "Kemarilah, Cantik! Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya terdengar lembut saat menyorot Zeeta.Zeeta hanya menggeleng."Tidak perlu takut. Baiklah! Aku tidak akan menyentuhmu. Kau bisa keluar sendiri," lanjut pria itu lagi.Zeeta pun mengangguk."Ayo, keluarlah," tandas pria
Seketika, tangan Zeeta menarik diri dari lengan Erga. Kembali ia semakin merekatkan selimut yang membalut tubuhnya."Sekarang kau mulai percaya dengan ucapanku juga, heh? Hah! Dasar polos sekali wanita ini! Rasanya ingin aku ... arrghhh!" cecar Rezvan."Sudahlah, jangan dengarkan dia!" ujar Erga menatap Zeeta yang masih meringkuk di balik selimut.Erga Alterio Savian. Pria tampan bermata sendu ini adalah sepupu dari Rezvan Malven Oxley. Ia juga merupakan CEO dari perusahaan ternama SAVIAN yang juga sama bergerak dalam bidang property. Sikap lembut dan bijak dalam menghadapi sesuatu membuatnya banyak disukai bawahan maupun relasi bisnis. Namun, tak jauh beda dari kehidupan Rezvan—demi menghilangkan penat usai beraktivitas—kehidupan dunia malam juga menjadi candu baginya.Kepolosan Zeeta tak mampu membedakan mana pria yang benar-benar tulus dan mana yang hanya modus. Ia hanya mampu menilai dari a
"Amhh ... itu .... " Erga menghentikan ucapan lalu menatap Rezvan. "Kalau begitu saya siap-siap dulu, Tuan." Zeeta pun membawa tas di tangan lalu bangkit hendak mengganti pakaian. "Iya, benar begitu! Tidak usahlah berterimakasih. Aku sudah biasa." Rezvan menyulut rokok di tangan. "Te–terima kasih, Tuan, atas pakaiannya," ucap Zeeta pada Rezvan, lalu kembali menundukkan pandangan. "Telat!" sahut Rezvan. "Ini ganti di mana, Tuan?" tanya Zeeta. "Ganti di depan kami berdua saja!" seloroh Rezvan. "Kau ini!" Ia pun menggeleng. "Ti–tidak bisa begitu, Tuan." Kedua bola mata Zeeta membulat sempurna. "Argghhh! Kamar ataslah!" Rezvan tampak meradang. "Apa aku saja ya
"Kau." "Iya, Tuan?" Zeeta menundukkan pandangan. "Untuk mengganti semua uangku yang hilang, kau harus melayaniku sampai batas waktu yang kutentukan," ucap Rezvan. "Me–melayani?" Wajah Zeeta tampak memucat. "Me–melayani bagaimana, Tuan? Sa–saya tidak mau melayani Tuan di tempat tidur. Kita bukan mahram, Tuan. Itu dosa." "Aarrgghhh! Ceramah lagi! Simpan saja ceramahmu!" Rezvan menggeleng seraya berkacak pinggang. "Ma–maaf!" "Kau punya keahlian apa?" "Saya bisa masak, mencuci, menyapu, dan melakukan apa pun di rumah ini untuk Tuan. Ta–tapi ... jangan suruh saya melayani Tuan di tempat tidur. Saya tidak mau, Tuan," tutur Zeeta tanpa basa-basi. "Melayani di tempat tidur saja tidak bisa.
"Baik, Tuan. Anda ke mari untuk mencari Tuan Rezvan, kah? Sayangnya Tuan Rezvan belum pulang ini." "Aku datang untuk menemuimu." "Sa–saya ...?" Zeeta menyentuh tepat pada bagian dada. "Yup! Boleh aku masuk?" "Ta–tapi ... sebelum saya mendapat izin dari Tuan Rezvan, saya tidak bisa membiarkan tamu pria masuk, Tuan." "Kau jangan lupa, kami sudah terbiasa menghabiskan waktu di sini bersama," tukas Erga. "Oh, iya ... tapi .... " "Kau ini berbicara seakan nyonya dari pemilik rumah," canda Erga kemudian. "Bukan begitu ...." Erga pun melangkah masuk. "Hemh ... aku mencium aroma masakan. Apa kau sedang memasak?"
***Athikah_Bauzier*** Semenjak kehadiran Zeeta di rumah Rezvan, tak seperti biasanya Erga menjadi lebih sering mengunjungi rumah Rezvan. Tak ayal, kedatangan Erga membuat Zeeta merasa aman. Terlebih lagi kedatangan pria itu dapat mengontrol sikap Rezvan yang seringkalinya membuat Zeeta kehabisan kata-kata dan mengurut dada. "Malam ini kau di kamar saja," perintah Rezvan. "Kawan-kawanku akan datang." "Tuan Erga juga datangkah, Tuan?" "Hei ... ada apa kau ini? Berlebihan sekali!" "Ti–tidak apa-apa, Tuan." "Jangan bermain hati, kalau tak mau terluka. Aku tidak mau tanggung jawab kalau kau bunuh diri karena patah hati," ucap Rezvan lagi. "Maksud Tuan apa?" "Ar
"Van .... " Erga berjalan cepat, mendekat pada Rezvan, mengangkat tangan lalu hendak melayangkan kepalan tangan tepat pada wajah Rezvan."Jangan, Tuan! Saya mohon jangan berkelahi! Jangan, Tuan Erga!" Zeeta berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan Rezvan, lalu mendorong tubuh Erga tepat pada bagian dada. "Jangan, Tuan!" isaknya kemudian."Zeeta! Masuk ke kamarmu!" sentak Rezvan lagi."Tu–Tuan ... saya mohon Anda berdua jangan berkelahi!" Tangisan Zeeta semakin berderai. Ia menatap Rezvan seraya meremas kedua tangan tepat di depan dada."Masuk ke kamarmu!" Rezvan semakin geram.Tanpa dapat mengucapkan patahan kata, dengan tubuh bergetar, Zeeta pun berlari ke dalam."Ga, kali ini kau berurusan denganku! Jadi ... jaga sikapmu!" Rezvan menunjuk Erga, lalu berlalu mengikuti langkah Zeeta.***Athikah_Bauzier***Sesaat setelah Zeeta memasuki kamar dan hendak menutup p
Saat hendak menutup pintu kembali, Erga dikejutkan oleh Rezvan yang tengah berdiri dan bersandar pada dinding di dekat pintu kamar seraya melipat tangan di dada. "Sedang apa kau di sini? Bukankah malam ini kau serahkan dia ke dalam pelukanku?" Erga menautkan alis. Rezvan hanya bergeming dan berbalik menyorot tajam. "Apa kau mulai mengkhawatirkannya? Khawatir jika aku mengeluarkan taringku seperti biasanya?" lanjut Erga seraya menaikkan bibir sebelah. "Hati-hati, jangan bermain hati! Nanti kau akan terluka," sindirnya lagi kemudian. Lalu, berlalu dari hadapan Rezvan dan menyusuri tangga. "Aku ingin berbicara denganmu," ucap Rezvan. "Hemh!" "Apa yang kau inginkan, Ga?" "Apa yang aku inginkan?