Share

3. LITTLE BRAT!!

-Jakarta, 13.00 WIB-

Sean melangkahkan kaki di bandara internasional di Jakarta, sudah bertahun-tahun ia tidak melihat pemandangan seramai ini. Ia berjalan cepat, karena merindukan Bian, teman masa kecilnya yang berjanji akan menjemputnya di bandara hari ini. Kalau bukan karena Bian, mungkin sekarang Sean masih berada di apartemennya, bangun disebelah wanita yang berbeda dari hari sebelumnya.

Sean memutar pandangannya, mencari sosok yang sangat ia rindukan. Masih belum terlihat sosok wanita yang sangat ingin ditemuinya.

“Sean!!” seseorang berlari kearahnya dan tanpa basa-basi langsung memeluknya. Sean dengan sigap membalas pelukannya. “I miss you, I miss you so much!” Ujar sosok yang sangat Sean rindukan. Sean memeluk orang itu lebih erat, mencium bau parfum yang selama ini ia rindukan.

“Finally.. You are so skinny, Bian” Sean masih memeluk Bian, tak ada sedikit pun niat untuk melepaskan Bian dari pelukannya saat ini.

“Okay, It’s embarrassing now, let me go” Bian berusaha lepas dari pelukan Sean. “Seaaaaan! Lepasin nggak!” Ujar Bian lagi setelah Sean menghalangi usahanya untuk lepas dari pelukan Sean.

“Oke, oke” Sean akhirnya melepaskan pelukannya dan menatap Bian lembut. Bian tersenyum menatapnya. Sean baru menyadari bahwa Bian begitu cantik, rambut hitamnya yang bergelombang, mata bulat yang berwarna cokelat tua, hidungnya yang pesek, bibir mungil yang dilapisi lipstick berwarna pink.

“Kamu makin cakep deh, Sean. Aku jadi pangling” Ucap Bian. Suara Bian begitu imut, belum lagi lesung pipinya yang terlihat ketika ia tersenyum. Bagaimana Sean bisa menahan pesona mematikan dari Bian ini?

“Kamu juga, kamu makin cantik” Jawab Sean sambil membenarkan poni Bian yang sedikit menutupi mata indah Bian.

“Ayo pulang” Bian menggandeng tangan Sean. “Aku udah jago nyetir!” pamernya. Sean tertawa kecil.

“No, little lady, kali ini aku yang nyetir, ok?” Ucap Sean sambil mengacak-acak rambut Bian. Bian sontak mendongak menatap Sean yang jauh lebih tinggi darinya. Pipinya menggembung dan alisnya tertekuk.

“I’ll drive, Sean!” Bian melipat kedua tangannya didepan dada. Sean masih hapal betul itu yang akan dilakukan Bian kalau dia sedang kesal ataupun ngambek.

“Cewek itu nggak boleh nyetir, nyetir itu tugas cowok” Ujar Sean lagi. Bian masih menatap Sean dengan pandangan tidak terima.

“You don’t believe me, don’t you?” Bian tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Sean Hartono. Sean sangat keras kepala dan seorang wanita mungil seperti Bian tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk melawannya.

“I believe in you, dear. But a lady shouldn’t drive. Itu tugas cowok, buat ngejagain kamu, buat bikin kamu ngerasa nyaman. Kamu tugasnya cuma duduk manis, ngeliatin aku nyetir, ok?” jawab Sean.

“Tapi kamu tuh baru sampai, kamu pasti capek, udah aku aja yang nyetir” Bian masih berusaha mempertahankan keinginannya. Sean menggeleng.

“Kalau kamu nggak nurut aku pesan taksi aja, atau aku suruh supir jemput aku” Ujar Sean yang membuat Bian diam.

“Ok, you win. You always win” Bian berjalan mendahului Sean. Ia merasa kesal karena selalu kalah ketika berdebat dengan teman masa kecilnya ini. Sean selalu punya beribu alasan untuk melawan argumen-argumen Bian. Bahkan ketika masalahnya sepele.

“Come on, next time you drive, okay princess?” Ujar Sean sambil sedikit menunduk, menyamakan tinggi mereka yang berbeda 20cm. Bian mengangguk lemah. Setelah Sean memasukkan barang-barangnya, Sean membukakan pintu untuk Bian kemudian duduk di kursi kemudi.

“Jadi apa rencana kamu setelah ini?” tanya Bian. Sean menggeleng.

“Nggak tahu, mungkin antar jemput kamu? Atau jalan-jalan sama kamu?” jawab Sean sambil terkekeh. Bian menjitak pelan kepala Sean.

“Serius ih, kamu langsung pulang?”

“Enggak ah, jalan-jalan dulu yuk” ajak Sean.

“Emang papi nggak nyariin kamu?”

“Nggak tahu, aku sebenernya lagi ribut sama papi” Sean memutuskan untuk bercerita kepada Bian tentang hal sepele yang membuat papinya marah.

“Yah lagian kamu, kalau nggak tahu bisa telepon kapan jangan janjiin ke papi dong, kan papi kamu nungguin. Kamu juga bisa-bisanya nggak bilang orangtua kalau mau wisuda. Nggak bilang ke aku juga lagi. Huft” Bian melipat tangannya didepan dadanya lagi.

“Yaudah jangan ngambek dong, kan aku udah minta maaf” Sean mengacak rambut Bian. Cewek satu ini emang menggemaskan. Apapun yang Bian lakukan terlihat lucu, imut dan menyenangkan dimata Sean.

“Kamu emang udah minta maaf sama orangtua kamu?” tanya Bian. Sean terdiam. “Ih belom kan!” Bian seolah tahu jawabannya tanpa perlu menunggu Sean menjawabnya.

“Kamu ya Sean. Nggak boleh kayak gitu. Kita ini kan masih bergantung sama orangtua. Kita harusnya menghormati orangtua, bahkan kadang walaupun kita nggak salah kita tetep harus minta maaf ke orangtua, karena mereka udah berjasa banyak buat kita” ceramah Bian. Sean hanya bisa tertawa mendengar celotehan cewek mungil disebelahnya itu.

“Iya iya, aku emang salah” ujar Sean akhirnya.

“Yaudah, langsung kerumah aja, aku juga mau jalan sama temen aja abis ini” ujar Bian. Sean baru ingin protes tapi melihat mata melotot Bian akhirnya Sean mengurungkan niatnya.

Setelah satu jam setengah berbincang-bincang dengan Bian di mobil, tanpa sadar mereka sudah berada di daerah Menteng, daerah tempat keluarga Sean tinggal. “Aku muter lagi ah, kayaknya cepet banget tiba-tiba udah sampai aja” Bian langsung memelototi Sean lagi.

“No, Sean! Kita bisa ketemu besok, pokoknya kamu harus minta maaf dulu sama orangtua kamu. Selama kamu belom minta maaf aku nggak mau ketemu kamu, bhay” Bian langsung membuang muka, seolah melihat wajah Sean adalah hal memuakkan saat ini.

“Okay, okay. You win. Aku minta maaf sama papi, besok kita jalan ya berarti?” ujar Sean. Bian mengangguk. Sean langsung keluar dari mobil, mengeluarkan barang-barangnya dan menunggu sampai mobil Bian tidak bisa ia lihat lagi, barulah setelah itu Sean masuk kedalam rumah yang sudah lama ia tinggalkan.

Tanpa perlu membunyikan bel, satpam sudah membukakan pintu gerbang dan pembantu berhamburan keluar membantu Sean membawa barang-barangnya. Sudah lama rasanya Sean tidak dilayani oleh orang-orang seperti ini, di Australia apa-apa harus dilakukannya sendiri, karena memang ia tidak ingin menyewa pembantu, itu hanya merepotkannya.

“Pak Anto, Papi ada di rumah?” tanya Sean begitu melihat kepala pembantu di rumahnya membuka pintu rumah untuknya.

“Bapak ada di rumah, Ko, di ruang kerja bapak. Kata bapak kalau Ko Sean cari bapak, langsung ke ruangan bapak aja” jawab Pak Anto yang dijawab dengan anggukan Sean.

Tanpa ragu-ragu Sean berjalan ke lantai 3, lantai yang hanya berisi ruang kerja ayahnya itu. Sudah lama rasanya Sean tidak melihat rumah yang biasanya ditempatinya itu. Suasananya jauh berbeda dari sebelum Sean pergi ke Australia. Biasanya Shawn akan melarang Sean pergi ke lantai 3 karena ayahnya tidak suka diganggu apalagi kalau sedang ada client.

“Pap. It’s me, Sean” Sean mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. Sean baru sadar kalau jantungnya berdebar kencang. Ayahnya bukan seseorang yang menyenangkan kalau sedang marah dan Sean sudah membuatnya marah.

“Masuk” mendengar suara tegas ayahnya membuat Sean makin ingin kabur. Ia tidak siap dimarahi, harusnya ia tidak buru-buru minta maaf hanya karena ingin jalan dengan Bian besok.

“Pap” ucap Sean sambil sedikit-sedikit berjalan mendekati ayahnya. Sean melihat ayahnya sedang duduk di kursi besar di depan meja sambil memegang dokumen dan pulpen. “Lagi sibuk pap?” lanjut Sean.

“Enggak. Duduk” Ujar ayahnya Sean tanpa menatap anaknya. Sean langsung duduk di kursi yang terletak persis didepan ayahnya. Setelah menunggu selama 5 menit, akhirnya ayahnya meletakkan dokumen yang sedari tadi dibacanya. “Papi mau besok kamu langsung masuk kerja di kantor”

“Hah?”

“Papi bikin proyek besar, papi mau merger usaha kita yang bergerak di real-estate. Kamu jadi penanggung jawabnya. Besok kamu masuk kantor dan pelajari berkas-berkas perusahaan yang mau dimerger sama perusahaan kita” Jelas ayahnya Sean tanpa basa-basi.

“Pap, Sean baru sampai Indonesia. Papi mau langsung memperbudak Sean gitu?” protes Sean. Pupus sudah segala rencananya untuk bisa jalan-jalan setiap hari dengan Bian.

“Ya. Papi kuliahin kamu jauh-jauh bukan untuk jadi pengangguran dan ngabis-ngabisin uang papi, Sean. Papi udah berusaha sabar sama kamu, sekarang kamu harus belajar bertanggung jawab, belajar kerja” ujar ayahnya.

“Nggak pap, Sean belom mau berurusan dengan usaha papi” tolak Sean. Wajah ayahnya sudah memerah.

“Papi nggak memberi kamu pilihan. Kamu harus kerja besok. Nggak ada alasan” ucap ayah Sean dengan nada tinggi. Sean terdiam. Hal seperti ini yang membuatnya tidak ingin kembali ke Indonesia. Ia masih ingin bersenang-senang, tapi selama ada papinya, segala keinginannya itu harus dikesampingkan untuk perusahaan.

“Sorry, pap. Sean nggak mau” ujar Sean. Setelah mengatakan kalimat itu, Sean beranjak dari ruang kerja ayahnya tanpa menunggu jawaban sang ayah. Sean tahu apa yang dilakukannya akan memperkeruh suasana. Tapi ia benar-benar tidak mau bekerja dulu. Dia baru saja lulus, masa ia harus langsung jadi budak perusahaan?

“Pak Anto, tolong siapin mobil, Sean mau pergi” Sean mengambil lagi koper dari kamarnya dan langsung bergegas meninggalkan rumah. Sean memutuskan untuk tinggal di apartement miliknya yang dibelikan ayahnya saat Sean ulang tahun ke 16. “I can meet Bian whenever I want now” batin Sean.

***

“Icha. I’ve got a bad news for us” Mamanya Icha mengetuk pintu kamar anaknya.

“What?” Icha membuka pintu kamarnya sambil menguap. Setelah beberapa hari tidur selama 4 jam saja, Icha akhirnya punya waktu luang dan tentu saja waktunya itu ia gunakan untuk tidur.

“Meeting buat merger diundur dulu. Jadi minggu depan” Mamanya Icha langsung duduk di kasur anaknya itu. Icha menyusul mamanya duduk di kasurnya.

“Kenapa lagi? Anaknya masih nggak mau balik?” Sahut Icha kesal. Ayolah, berlaku profesional. Memang mereka kira perusahaan besar seperti perusahaan Icha mau dipermainkan terus seperti ini?

“No, kali ini lagi ada masalah keluarga. Anaknya nanti yang jadi penanggung jawab untuk proyek merger ini, tapi anaknya masih belum masuk kantor” jelas mamanya Icha.

“Come on, Mom. Kita mau merger sama perusahaan apa sih sampai kita mau digantung kayak gini? Tegasin sama mereka, kalau nggak minggu ini, berarti batal!” Protes Icha.

“Perusahaannya Rudi Hartono, honey” Icha langsung diam, mengurungkan segala kemarahannya. “Oh... Hartono Estate.. yaudah gue tungguin dah, rela gue” batin Icha. “Kok diem? Baru tahu kan kenapa Mom and Dad setuju-setuju aja. Apalagi nanti yang jadi penanggung jawab itu si Sean Hartono, anak bungsu mereka. Dia keren banget, Cha, kuliah di Australia, cumlaude lagi. Dia banyak dapat medali karena menang lomba-lomba olahraga gitu” lanjut mamanya. Icha mengangguk.

“Ini, kartu nama Sean. Kamu nanti langsung kontak-kontakan sama dia aja. Kalian berdua yang ngurus proyek ini soalnya” Mamanya Icha menyodorkan kartu nama dengan design elegan dan tulisan SEAN HARTONO diatasnya. Icha mengangguk. Setelah memberikan kartu nama Sean, mamanya Icha langsung pergi dari kamar Icha, meninggalkan Icha sendiri dengan kartu nama orang asing ditangannya.

Sean Hartono? Icha tanpa sadar sudah membuka laptopnya dan mengetik nama orang itu di browser-nya. Berbagai penghargaan dibidang olahraga muncul, tidak terlewat juga pesta sweet seventeen mewah yang diadakan keluarga Hartono untuk Sean.

“So.. He’s a spoiled little brat. Okay” Gumam Icha sambil menutup laptopnya.

“That’s all I need to know for now.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status