Share

5. Sosok Misterius Dibalik Pintu.

Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.

Bruukk!

Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.

Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya.

"Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar menghampiri Connor yang sepertinya sedang berkonsultasi dengan dokter soal keadaan Adonis.

Dengan tergesa-gesa, Connor berlari ke ruangan tempat Adonis berbaring.

"Aku di mana, Ben?" ucap Adonis lirih sambil berusaha bangkit dari tempat tidurnya. 

"Hey, jangan bangun dulu, kau masih harus beristirahat. Tenang saja, kau sedang di rumah sakit sekarang."

"Bro, syukurlah kau sudah sadar." Connor menimpali dengan leganya.

"Kenapa aku bisa ada di sini? Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Adonis merasa heran.

"Kemarin aku menemukanmu sudah pingsan di belakang rumah. Untung saja jendela di depan sudah kau buka, jadi aku panjat saja! Jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu," ungkap Ben.

Connor meraih tangan Adonis dan berkata, "dokter sudah memeriksa semuanya, syukurlah tidak ada penyakit yang serius, kau hanya terkena anemia karena kurang beristirahat."

"Syukurlah kalau begitu." kata Adonis sambil menutup mata.

Kedua sahabatnya itu menemani Adonis hingga sore di rumah sakit. Adonis terlihat sedikit ceria karena ditemani oleh Ben dan Connor yang sangat menyayanginya. Mereka berdua sengaja menghindari percakapan yang berbau masalah kemarin, karena takut akan mempengaruhi kondisi kejiwaan Adonis.

Tok tok tok!

"Selamat sore, maaf mengganggu. Saya dokter Azriel. Saya hanya ingin mengecek keadaan bapak Adonis."

"Iya, silahkan, Dok," jawab Connor.

"Halo, Pak Adonis. Bagaimana keadaan anda, sudah merasa baikan?" kata dokter Azriel sambil memegang pergelangan tangan Adonis untuk mengecek denyut nadinya.

Dokter Azriel adalah dokter yang cukup terkenal karena sifat murah hatinya. Ia pindah dari New Elysian ke Northstone Ville untuk melayani para pasien yang kurang mampu tanpa dipungut biaya sepeserpun. Dengan pribadi yang penuh kharisma dan tampang yang di atas rata-rata, banyak sekali wanita yang tergila-gila dengan sosok dokter muda itu.

"Iya, sejauh ini saya sudah merasa lebih baik," jawab Adonis kepada Azriel.

"Bapak sudah terlihat sehat. Kalau begitu besok bapak sudah bisa pulang ke rumah, ya? Bapak hanya harus banyak beristirahat saja agar tidak pingsan lagi, oke?"

"Terimakasih, Dok," ujar Adonis dengan tersenyum.

Dokter Azriel pun kemudian pergi sambil melemparkan senyuman manis kepada Adonis dan kedua sahabatnya.

"Kalau begitu biar aku saja yang menjaga Adonis. Kau pulanglah, lihatlah wajahmu sudah sangat seperti gembel," canda Connor kepada Benjamin.

"Hey, dari sudut mana aku terlihat seperti gembel? Enak saja kau!" ujar Ben. "Dengan ketampananku ini, aku bisa menggaet lima wanita sekaligus!"

Connor dan Adonis terkekeh melihat tingkah teman mereka yang kocak itu. Sejak dulu, Ben memang selalu menjadi sosok yang lucu dan bisa selalu mencairkan suasana.

"Tidak apa-apa jika kau menjaga Adonis sendirian?" tanya Ben kepada Connor.

"Ya, tentu saja. Lagipula pekerjaanku sudah selesai. Tidak ada yang bisa aku kerjakan lagi di rumah. Mungkin jika aku memiliki istri aku lebih memilih untuk pulang daripada menemani Si bodoh ini."

"Sialan kau!" balas Adonis.

Ben menjitak kepala Connor sambil menyeletuk, "makanya bergaul! Kapan kau akan memiliki pasangan jika hanya sibuk dengan toko dan game-mu itu!"

"Hahaha, benar sekali! Dia memang perlu bergaul. Sudah hampir setengah umurnya dia tidak pernah pacaran," kata Adonis menimpali sambil tertawa.

Mereka tertawa lepas menikmati kebersamaan mereka saat itu. Di benak Adonis dia sangat mengucap syukur karena memiliki sahabat seperti mereka. Sahabat masa kecil yang masih setia menemaninya hingga sekarang. Mereka pun menghabiskan waktu bersama tertawa dan berbincang sampai jam delapan malam. Ketika jam besuk untuk pasien sudah habis, Benjamin pun pamit untuk pulang.

"Kalau begitu aku pamit dulu, ya. Tolong kau jaga Adonis dengan baik. Aku tahu tanganmu pasti sudah gatal untuk bermain game."

"Tenang saja, Ben. Kau bisa mengandalkanku. Aku akan menyimpan ponselku rapat-rapat," ujar Connor.

"Baiklah. Adonis, kau jangan tidur terlalu larut. Besok pagi-pagi aku akan langsung menjemputmu."

"Apa kau perlu tumpangan?" tanya Connor.

"Tidak usah, kau di sini saja dengan Adonis. Biar aku pulang dengan taksi,"

"Terimakasih. Aku senang kalian ada bersamaku hari ini." Adonis tersenyum sambil meraih tangan Ben dan menatap dua orang sahabatnya itu dengan penuh rasa syukur.

"Itu sudah menjadi tanggung jawab kami sebagai sahabatmu," sambut Ben sembari meletakkan tangannya yang satu lagi di atas tangan Adonis. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya! Sampai bertemu besok," seru Ben sambil berjalan ke arah pintu.

Dari depan meja resepsionis terlihat dokter Azriel sedang berbincang dengan seorang wanita. Ketika Ben melewati tempat tersebut, sang dokter menyapa dengan sangat ramah. Katanya, "Pak Ben, mau ke mana malam-malam begini?"

"Oh, itu …, saya ingin pulang."

"Lalu siapa yang menjaga pak Adonis?"

"Ada teman saya, Connor yang menjaganya," jawab Ben sambil menggaruk-garuk kepala.

Dengan senyuman, dokter Azriel menjawab, "baiklah kalau begitu. Selamat malam, Pak Ben."

Ben pun berlalu sambil melemparkan senyuman sopan kepada sang dokter dan wanita yang sedang bercakap bersamanya itu. 

Sementara itu di dalam kamar nomor sebelas, terlihat Adonis dan Connor yang sedang seru membicarakan sesuatu hal.

"Eh, kau tahu …, aku sedang dekat dengan seseorang …." celetuk Connor dengan sangat antusias.

 "Benarkah? Lalu siapa gadis yang beruntung itu? Apakah aku mengenalnya?"

"Tidak, kawan …, kau tidak mengenalnya. Namanya Avery. Aku mengenalnya dari sosial media. Kami sudah dekat sejak dua bulan yang lalu, doakan saja semoga dalam waktu dekat keberanianku sudah terkumpul untuk menyatakan perasaanku padanya."

"Benarkah? Wah, bagus kalau begitu. Aku berdoa semoga pendekatanmu lancar." jawab Adonis.

"Amin. Aku juga berharap seperti itu."

Malam itu Connor dan Adonis mengobrol sampai jam sebelas malam sambil menonton tv sebelum akhirnya Connor tertidur. Connor tidur di sofa berwarna coklat muda dengan pulasnya. Adonis hanya menatap temannya itu dengan senyuman kecil yang tersirat di wajahnya. Kembali ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan datar.

Sesekali dia teringat pada Kaira, tapi dengan sekuat hati juga ia mencoba menepis semua ingatan-ingatan yang muncul di kepalanya. Tidak ada yang lagi yang tahu kabar Kaira. Hanya ingatan pahit saja yang masih membekas di benak Adonis tentang wanita berambut pirang dengan senyuman manis yang pernah dicintainya sejak dulu itu.

Ketika sedang melamun, tiba-tiba perhatian Adonis teralihkan ke arah kaca pintu kamar. Sepertinya tadi ia sempat melihat sosok seseorang yang sedang memandangnya beberapa saat setelah Adonis memalingkan pandangannya. Dengan rasa curiga yang sangat besar, Adonis segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ke pintu untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi.

Ketika membuka pintu, terlihat koridor rumah sakit yang sudah terlihat sepi. Hanya ada dua orang perawat yang sedang bertugas di meja resepsionis di ujung koridor kanan yang sedang sibuk mengobrol. Adonis memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan, memastikan bahwa memang tidak ada siapapun di situ.

Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Adonis pun masuk kembali ke dalam kamar, mencoba menampik perasaan curiga yang begitu besar.

"Mungkin aku salah lihat," gumamnya dalam hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status