Share

4. Leave Me Alone!

Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.

Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir di kedua pipinya. Dia menangis terisak sambil memukul-mukul dadanya seakan merasa ada sesuatu yang sangat disesalkan. Dia mengerang sekuat tenaga melepaskan seluruh emosinya sampai dia merasa lelah. Tak lama kemudian dia tertidur.

Keesokan harinya.

Tok tok tok!

Terdengar bunyi ketukan dari depan pintu rumah Adonis.

"Adonis! Hey, apa kau ada di dalam? Selamat pagi!" ujar Connor, sahabat Adonis.

Beberapa kali dia menggedor pintu tapi tidak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba mengintip dari balik jendela tapi tak jua menemukan sosok yang dicarinya. Dari dalam rumah hanya terdengar alunan musik klasik yang diulang beberapa kali oleh Adonis sejak tadi subuh. Dia terbangun sejak subuh hanya dan hanya duduk termenung di sofa meratapi nasib malangnya. Seperti sudah kehilangan semangat hidup, ia bahkan tidak ada niat untuk membukakan pintu untuk Connor.

Connor kemudian meraih ponsel dari dalam kantong celananya dan mencoba menghubungi Benjamin.

"Halo, Ben! Aku sudah mencoba mengetuk pintunya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban sama sekali."

"Kau tunggulah di situ, aku kesana sekarang," jawab Benjamin dari balik telepon.

Connor yang merasa cemas dengan keadaan sahabatnya itu hanya duduk di depan tangga depan rumah Adonis. Selang beberapa menit kemudian, Ben pun tiba.

"Bagaimana? Apa masih tidak ada jawaban juga?" tanya Ben cemas.

"Nihil! Sudah sedari tadi aku mencoba mengetuk pintu, tapi tetap tak ada jawaban. Aku juga sudah mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. Mungkin dia sengaja, kau tahu sendiri Adonis seperti apa."

"Tapi, bagaimana jika terjadi apa-apa di dalam sana dan kita tidak mengetahuinya?" kata Ben dengan raut wajah khawatir.

"Aku tau persis Adonis. Dia tidak akan berbuat aneh-aneh," kata Benjamin. "Mungkin dia memang sedang butuh waktu sendiri."

"Adonis, kami tahu kau di dalam. Jika kau sudah merasa tenang, izinkan kami bertemu denganmu. Hubungi kami jika kau butuh sesuatu, ya?" ujar Ben dengan lantang sembari menggedor-gedor pintu.

Setelah hampir sepuluh menit menunggu Adonis yang tak kunjung membukakan pintu, dengan berat hati mereka pun memutuskan untuk pulang, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Adonis. Karena bagaimanapun juga, hanya tinggal mereka berdua saja yang dimiliki Adonis sekarang.

Beberapa saat kemudian, Adonis bangkit dari duduknya mencoba mengumpulkan sedikit demi sedikit semangat yang tersisa dalam dirinya. Ia meraih ketel air berwarna perak dari lantai yang semalam diobrak-abriknya. Ia kemudian mengisinya hingga penuh dan ditaruhnya di atas tungku kompor untuk dipanaskan.

Adonis berjalan pelan menyeret kedua kakinya yang kotor ke arah kamar mandi. Ia menyalakan air agar memenuhi bathtub. Mata birunya menatap jauh ke dalam gambaran dirinya di depan cermin kotor yang digantung di atas wastafel kamar mandi. Pandangan matanya tiba-tiba terhenti saat memandang sisir cantik berwarna biru muda milik Kaira yang tergeletak di samping botol sampo yang ada di dalam keranjang peralatan mandi.

Raut wajah Adonis yang sebelumnya tenang, tiba-tiba berubah memerah dipenuhi amarah. Seketika diraihnya keranjang peralatan mandi itu dan melemparnya ke lantai. Kebencian terlukis jelas pada paras rupawan Adonis. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, perasaan Adonis seperti mati ditelan kebencian yang seakan tengah menggerogoti dirinya saat ini.

Ia lalu kembali ke dapur untuk mengambil ketel air panas yang sudah mengepul mengeluarkan uap. Dituangnya air mendidih itu ke dalam bathtub yang sudah diisinya tadi dengan air dingin. Dilepaskannya pakaian satu persatu dan diletakan begitu saja di lantai. Kulitnya yang dulunya putih bersih kini terlihat sedikit gelap karena harus bekerja di siang hari yang terik. Badannya kekar karena dia terbiasa mengangkat barang-barang berat. Dadanya yang bidang terbentuk indah menyesuaikan otot perut sixpack-nya yang nampak sangat keras jika disentuh.

Dengan bertelanjang, Adonis kembali berjalan ke arah lemari besar yang ada di ruang tamu. Diraihnya sebotol wiski dari dalam lemari itu kemudian kembali ke dalam kamar mandi. Perlahan dia masuk ke dalam bathtub yang sudah dipenuhi dengan air hangat itu. Dibasahinya setiap sudut tubuh hingga ke wajah dan rambut kusamnya yang berwarna cokelat tua.

Ia kemudian meraih botol whiskey yang dibawanya tadi dan meneguknya secara perlahan. Wajah Adonis berubah karena rasa dari wiski yang terasa sedikit pahit. Untuk menghilangkan rasa getir di lidahnya, Adonis mengambil sebatang rokok untuk dinyalakan. Tak ada yang spesial hari ini. Hanya seorang Adonis Draven yang tidur seharian di dalam bathtub ditemani sebotol minuman keras dan rokok di jarinya.

*****

Seminggu setelah kejadian tragis itu, Adonis masih mengurung diri di kediamannya. Dia hanya keluar sesekali jika ingin membeli rokok atau makanan. Hari ini ia terlihat sedikit bersemangat walaupun masih menutup diri dari kehidupan luar. Dia akhirnya memutuskan untuk membersihkan rumah yang sudah terlihat sangat kotor sejak kepergian istrinya. Ia berusaha keras berpikir dari bagian mana harus memulai.

Setelah selesai menata beberapa sudut di rumahnya, ia mengambil kantong plastik besar lalu menuju ke lantai atas. Dia berhenti di lorong depan kamar tidurnya yang dipenuhi dengan foto-foto kenangannya dengan Kaira. Satu-persatu dicopotnya bingkai-bingkai foto itu dari dinding dan melemparnya ke dalam kantong plastik yang dibawanya tadi.

Tak lagi ada lagi rasa sedih yang terpancar dari wajah Adonis. Hanya tatapan dingin dan datar yang terpampang jelas dari roman mukanya. Setelah menyingkirkan semua barang-barang kenangan tentang dia dan Kaira, ia kemudian berjalan ke halaman belakang rumah dan menempatkan kantong plastik besar yang sudah hampir penuh itu ke dalam tong besi. Diraihnya botol plastik berisi bensin kemudian diguyurkan ke dalam tong besi tadi.

Tak ada rasa menyesal dalam benak Adonis saat kobaran api melahap semua barang kenangan tentang dia dan Kaira. Tatapan wajah yang tajam dan penuh dendam seakan memberi semangat pada kobaran api tersebut agar lebih membesar. Adonis termenung sambil menatap kobaran api yang sedang melahap barang-barang kenangan miliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status