Olivia Finley“Kau tidak akan melakukan itu.” Tersenyum, kuusap pipi kanannya tanpa melepas tatapanku darinya.Rhys balas menatapku. Bagaimana jika dia mulai mencurigaiku dan benar-benar bersikeras melarangku kembali ke Halbur?Menghela napas, dia menyingkirkan gelas dari genggamanku. Caranya sedikit kasar. Mungkin dia marah. Aku membiarkannya. Tidak mengatakan apa pun ketika gelas itu terjatuh ke atas ranjang dan membasahi seprei serta kasurnya dengan air yang tadi masih penuh di dalam gelas. Menyerap cepat, tapi masih basah.Rhys mencumbuku. Meski marah sekali pun, dia tidak pernah benar-benar kasar padaku, terutama ketika dia menginginkanku.Kulingkarkan kedua lenganku ke lehernya. Menikmati segalanya yang terjadi, sebagai hal yang kurasa jadi paling baik dan menenangkan hatiku saat ini.Terlepas dari sesaknya rasa bersalah yang menghimpitku. Membuatku kacau dan terluka sendiri. Bahkan jika dia mengetahuinya, mungkin perasaan terlukaku bukan lah apa-apa.Di kepalaku hanya tertanam
Olivia FinleyTersentak, aku baru sadar ketika nyaris kupikir Brady White ada didekatku. Mengatakan sesuatu, lalu sedikit memberi sentuhan disepanjang kulit wajahku.Nyatanya tidak ada!Mungkin hanya firasat.Meski yakin, aku tidak menangkap basah dia sedang melakukan itu padaku. Lebih baik diam jika tidak punya bukti.Berapa lama aku tidur? Sepertinya tidak lebih dari tiga puluh menit, saat jarum jam terpantau tidak bergerak terlalu jauh.Ketika keluar kamar, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku kembali ke Halbur karena Brady bisa bertindak di luar kendali, begitu pun dengan Rhys jika sampai pria itu mengetahui segalanya.Kecemasanku berkali lipat naik melalui asam lambung, hingga rasanya membuatku ingin mual.Ah, aku bosan. Muak. Kapan ini berakhir?“Bagaimana jalan-jalan ke Yellowrin? Kau sudah puas?”Kutemukan keterkejutanku di sudut lain ruangan. Mataku menangkap Brady ada di batas antara ruang tengah dan tamu. Dia berdiri di sana dalam balutan setelan santai. Kemeja puti
Olivia FinleyBerapa lama aku merasa sekarat dengan isi perut yang nyaris terkuras habis dan tenggorokan yang terasa seperti terbakar?Entah!Aku tidak ingat itu. Aku hanya marah ketika terbangun dalam posisi meringkuk di balik selimut milik Brady.Ini bukan kamar yang biasa kutempati.“Hei, kau baik-baik saja?” Brady muncul entah dari mana dengan gerak tergesa-gesa. Dia nyaris melompat ke atas ranjang dan memegangi wajahku menggunakan kedua tangannya yang terasa dingin.“Singkirkan—aww!” Nyeri di ulu hati dan perut, membuatku kembali meringkuk.“Olive, katakan padaku—”“Berhenti berpura-pura, Berengsek!” Aku terengah. Menahan amarah dan rasa geram yang tidak mampu mencapai tahap maksimal. “Kau sengaja meracuniku.”Brady menatapku. Dalam dan terkesan bingung. Dia seperti kehilangan sesuatu untuk dikatakan padaku. Hinaan dan ancamannya bagai lenyap ditelan bumi.Sandiwaranya bagus. Bernilai sembilan puluh sembilan dari seratus.“Ada yang berniat meracunimu, bukan aku.”Kutekan sedikit
Rhys Dimitri Oxley William muncul setelah dua minggu tidak terlihat di depan mataku. Kali ini dia datang sendirian. “Kau melarikan diri dari rumah?” Biasanya, aku tidak pernah mau tahu, apalagi bertanya. “Aku bolos les matematika.” Dia tertawa. Mirip anak kuda. “Sepertinya, mama masih di kebun.” “Kebun?” Hei, sejak kapan aku jadi ingin tahu? “Yap. Mama terkadang bekerja di kebun mawar milik keluarga Paden.” Ah, James Paden. Pemilik kebun mawar terbesar di Yellowrin. Mawar dengan beragam warna. Mereka punya sebanyak itu. Sebenarnya, dia tidak harus repot-repot untuk mengembalikan biaya pengobatan rumah sakit William beberapa waktu lalu. Tapi, ya ... wanita selalu punya seribu satu macam alasan untuk mempertahankan harga dirinya. Oke. Kubiarkan dia melunasinya, jika memang maunya begitu. Kata Lucas, pekerjaan tetap Diana Heller itu adalah sebagai pembuat roti di Vernos Bakery milik keluarga Vernos. Ada di sudut kota, dekat gedung bioskop yang tidak kalah tuanya dengan toko roti
Olivia FinleyMemberikannya sesuatu. Antara ingin kuberikan atau tidak. Gawatnya, aku sedikit terprovokasi. Apa boleh?“Kemari lah. Aku cuma mau dipeluk dengan nyaman olehmu.”Itu maunya?Sulit dipercaya. Padahal, tadi dia juga sudah memelukku. Kenapa hal itu lagi yang dia minta? Aneh mendengarnya.“Olive, ayo lah. Cuma itu saja yang kuminta darimu.” Brady merengek. Mirip bocah.Aku bergerak. Sedikit. Berbeda dengan Brady yang langsung menangkapku seolah aku akan lari darinya.Dia memelukku. Erat. Memang yang kali ini sedikit berbeda dari yang tadi.Bagaimana ya, menjelaskannya? Pokoknya begitu. Berbeda dari yang sebelumnya.Oke. Kubiarkan kau kali ini, Brady White.Aroma tubuhnya menenangkan. Akui saja soal itu. Benar-benar membuatku ingin memejamkan mata dalam dekapannya ini.“Aku sungguh ingin melakukan ini sesering mungkin.” Dia bergumam. Mengusap punggungku dengan lembut, tanpa unsur apa pun yang bisa kucurigai.Diam saja, bisa kurasakan bahwa benar adanya belaiannya membuatku te
Olivia FinleyApa?Sudah gila, ya?Jika sedang tidak meringkuk dalam rasa sakit seperti sekarang ini, sudah kupastikan dia akan terkena tendangan kaki atau tamparan tanganku.“Tidur saja, Brady. Jangan minta yang aneh-aneh.” Kuusap rambutnya, alih-alih menuruti kemauannya.Dia meracau. Entah apa yang dikatakannya. Tidak jelas.“Apa, Brady?”“Dekatkan,” lirihnya.Aku tahu maksudnya. Mengerti sebenarnya. Dia ingin aku mendekatkan telingaku ke bibirnya. Apa harus?“Hmm?” Akhirnya, aku menundukkan kepalaku ke dekat bibirnya. Tepatnya, telinga. Mengalah saja lah.Suara panasnya karena demam serasa menyusup ke telingaku.“Tidur lah denganku. Kali ini saja.”Sakit atau tidak, dia memang semenyebalkan ini. Kapan isi kepalanya bersih dari hal-hal kotor?Kujambak pelan rambut belakang kepalanya sebagai peringatan. Hei, tenang. Kulakukan tidak dengan cara kasar.“Berhenti lah mengacau, Brady. Kau sedang sakit. Aku di sini juga karena paksaanmu. Jangan buat aku meninggalkanmu sekarang sendirian.”
Rhys Dimitri OxleyYa. Perasaan aneh ini sudah lama tidak kurasakan. Entah karena ZeeZee yang sejak dulu telah menghuni hatiku atau memang aku lah yang menutup perasaanku pada wanita lain.Baik lah. Anggap perasaan tidak enak ini, karena rasa bersalahku pada Diana Heller.Dia dirawat di rumah sakit terbaik yang ada di Yellowrin. Infeksi virus dan anemia, bahkan dehidrasi. Itu semua karena Diana Heller terlalu lelah. Menghabiskan banyak waktu di kebun mawar keluarga Paden di musim panas seperti ini. Belum lagi pekerjaan tetapnya sebagai pembuat roti.“Mama sudah bangun, Ay—Paman!” seru William penuh sukacita.Bocah ini tahu bahwa aku tidak suka salah dipanggil, hingga dia selalu berusaha memanggilku dengan sebutan yang sudah seharusnya.“Okay. Saatnya aku kembali.” Berdiri, aku memang sudah menjalankan tugasku. Bertanggungjawab pada wanita pingsan dengan membawanya ke rumah sakit terbaik, membiayai pengobatannya, lalu—“Mama mau bertemu denganmu, Paman.”Ya, tentu saja. Ucapan terima k
Rhys Dimitri Oxley“Tidak.” Secepat itu lah jawabanku. Aku tidak membiarkan seorang wanita asing berada di lingkunganku, bahkan tempat kerjaku.Sekedar catatan, para wanita yang menjadi pelayan keluarga Oxley ketika ibu dan ayah masih hidup, tidak lagi selengkap dulu dan aku tidak berniat mencari gantinya.Lagipula, seorang diktator sudah tidak lagi ada di kediaman Oxley setelah sekian lama.“Boleh aku tahu kenapa Anda tidak mengizinkanku bekerja padamu, Tuan?”Aku enggan memberitahunya, tapi baiknya memang jujur saja. “Aku tidak suka orang asing bekerja padaku.”Aku tahu itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku punya perusahaan dan segala jenis bisnis lainnya, jika tanpa bertemu atau bekerjasama dengan pihak dan orang asing?“Aku tidak suka bekerja dengan seorang wanita.” Yap. Itu lah yang paling tepatnya.Diana mengangguk. Bagus, jika dia mudah mengerti.“Berikan aku pekerjaan yang tidak mengharuskan kita bertemu, Tuan. Entah itu mengumpulkan kayu di dalam hutan atau membe