“Oh, siapa ini?”
Aku menoleh untuk melihat suara yang berasal tepat dari sisi kananku. Seketika keningku mengerut karena melihatnya tersenyum persis sama seperti saat pertama kali kami bertemu.
Dia Adik dari mendiang kekasih Rhys. Siapa namanya? Mika? Audrey?
Aku mendesah malas. Dia selalu berusaha terlihat ramah padaku. Sebelumnya juga, di rumah keluarga Oxley saat dia menyapaku dan Rhys. Jelas itu dipaksakan meski dilihat dari segi manapun.
“Kau mengikutiku?” Tanpa melihat ke arahnya, aku langsung menyerang tanpa basa-basi.
“Untuk seseorang yang tidak tahu apa-apa sepertimu, kau cukup peka dan pintar, ZeeZee.” Dia sudah duduk di sampingku. Aroma perpaduan vanilla dan bunga yang manis, begitu kuat menguar dari tubuhnya.
“Ya. Kau jelas lebih tahu banyak tentang diriku karena kau menjadi penguntitku selama ini.”
Dia tertawa pelan, terasa mendekat karena bahu kamu bersentuhan. Terlepas dari apa tujuan dan sikapnya yang terkesan palsu, sos
Mengerjap dua kali, akhirnya aku menyusul Luigi yang berbalik untuk menunggu.“Pernah naik kereta api malam hari?” Luigi bertanya seolah sebelumnya kami terlibat obrolan akrab.Aku menggeleng. “Terakhir kali saat usiaku, dua atau tiga belas tahun, mungkin.”“Begitukah? Bukannya delapan belas tahun?” Luigi tampak bercanda, dia tersenyum sekilas.“Entahlah, aku tidak ingat ...” Kuperhatikan dia yang tiba-tiba berjalan ke arah sebuah stasiun, “hei, kau serius soal kereta apinya?” Aku segera menyusul karena sempat berhenti sesaat akibat terkejut.Luigi mengangguk, dia membiarkanku kebingungan dan tidak lama setelahnya, aku dan Luigi benar-benar mengantri dengan calon penumpang lain untuk masuk dengan tertib ke dalam kereta, saat penumpang yang akan turun lebih diutamakan sebelum kami benar-benar masuk.Sedikit berdebar, ini pengalaman baruku lagi setelah belasan tahun. Aku tidak menyangka sama sekali bahwa Luigi tampak terbiasa dengan keadaan seperti
Luigi tersenyum. Membawaku duduk dan melepas trench coat-nya, hingga aku juga Luigi bisa merasakan rinai tipis menyerang kepala serta wajah kami lebih dulu daripada membasahi tubuh.“Nikmati ini denganku,” katanya lagi, menatap lurus ke depan, ke tempat kosong terbentang, tanpa ada pencahayaan.Terdiam, aku berusaha mendengar suara hujan dan membiarkan sunyi ini membungkus hatiku. Sekarang aku ingat, masa-masa pemberontakan kecil yang kulakukan, di usia tujuh belas hingga delapan belas tahun, aku memang banyak menghabiskan waktu di sini untuk mengobati hatiku.Ketika aku bersin setelah sepuluh menit berlalu, Luigi tertawa, memberikan saputangannya yang lembab dan memintaku beranjak dari kursi taman.“Aku rasa sudah cukup, sebaiknya kita pulang.” Dia memegangi lenganku karena aku yang tidak kunjung bangkit dari kursi. “Perlu kugendong sampai rumah?”Aku tertawa. Aku tahu dia bercanda. Luigi termasuk pria baik bersama Leon dan Adorjan yang jarang terlihat
“Kau tidak ada di rumah, dan tidak mungkin sedang bermalam di rumahku, bukan?” Suara Rhys, halus, tapi mengintimidasi. Menyerang langsung bahkan sebelum aku menyapa. Di sini, aku menggigit bibir. Melupakan kepekaan Rhys sesaat adalah kecerobohan besar. Aku keliru sejak awal. Ketika dengan mudah mengikuti kemanapun Luigi membawaku pergi. “Ingin aku yang menyeretmu dari sana?” Aku tersentak. “Ti-tidak, Rhys. Bukan begitu—” “Lalu apa?” selanya. Terdengar sangat tidak sabaran. Seperti dulu, seperti biasanya. “Aku bisa jelaskan saat kita bertemu. Kau tidak bisa berpikir seperti apa yang ada dipikiranmu saat ini,” jelasku. Terdengar helaan napas dari seberang, membuatku sekarang berpikir, sepertinya Rhys sedang memiliki beban pikiran sendiri di luar dari mencurigaiku. “Baiklah. Kutunggu kau pagi ini di kamarmu, di rumahku. Ingat pintu kamar dengan warna berbeda itu kan?” “Ya, baiklah. Aku selalu ingat warna merah tua di pintu
Aku diam. Hanya memberi tatapan tajam sebagai bukti, aku tidak akan pernah membenarkan perbuatannya meski tidak ada apapun yang terjadi di antara kami. “Kau benar-benar berniat memperkosaku, Lui.” “Sudah kujelaskan tadi, apa itu masih membuatku terlihat bersalah?” “Jangan menyangkal. Kau memang bersalah.” “Baiklah, baiklah. Tapi itu tubuhmu, kau jelas tahu bahwa aku tidak menjamahmu,” kata Luigi lagi, dia berbeda. Kurasa si pria bungsu ini mendadak dirasuki setan mesum atau sejenisnya. Dia kembali menilai tubuhku sesuka hatinya. “Singkirkan kedua matamu dari tubuhku, Lui!” Kupukul pundaknya, beranjak bangun dengan pemikiran bahwa kini ada dua pria di keluarga Oxley yang sudah melihat isi dibalik pakaianku. Sulit kuterima bahwa Luigi yang pendiam dan terkesan dingin pada wanita ini, lebih mengerikan daripada apa yang tercetak di dalam benakku. Sekarang dia tertawa, dan semakin kurang ajar karena berani menarik pinggangku, lalu m
“Apa kau juga tahu bahwa bahwa Rhys sudah menyukaiku sejak dulu?”Luigi berguling dari sisiku menuju tepi ranjang dan duduk di sana. “Jika kukatakan, apa kau akan percaya padaku?” Dia malah balik bertanya, membuatku bingung.Dengan susah payah, aku mencoba mengangkat tubuh dan membenahi pakaianku yang acak-acakkan, lalu duduk di tempat aku berbaring. “Sudahlah. Lupakan. Ayo, kita pulang, Lui.”Saatnya merapikan diri. Rambut dan pakaian tidak boleh berantakan. Aku tidak ingin terlihat berbuat tak senonoh dengan Luigi. Tidak akan kubiarkan orang-orang memandangku aneh dengan tatapan menghina.Saat terhuyung ketika berdiri, aku tahu Luigi menangkap tubuhku. Kepalaku masih saja pusing seakan ada banyak benda di sekitarku bergerak, dan aku berputar hampir melayang.“Tidurlah lagi. Kau tidak mungkin kembali dalam kondisi seperti ini.”“Tolong ponselku, Lui.” Tidak peduli pada apa perkataa
Aku merasa tidak perlu ambil pusing untuk semua curahan hati Audrey Mika pada Eri. Jadi setelah kami benar-benar batal menyantap sesuatu yang dingin di cuaca panas, aku hanya mengantarkan Eri pulang dan berjanji akan lebih sering mengabarinya setelah pertemuan ini berakhir.Sekarang masih jam empat sore, dan aku sudah melihat hasil tes DNA yang memang menyatakan kebenaran bahwa sama sekali tidak masalah ketika aku ingin menjalin hubungan dengan salah satu Putra kebanggaan David Oxley.Aku bukan Anak mereka. Antara sedih dan senang begitu tipis kurasa di dalam hati dan jiwaku yang mengering.Saat ini aku enggan pulang ke rumah manapun, baik rumah Ayah Ibu yang bukan Ayah Ibuku, atau rumah Rhys.Menginap di rumah Eri mungkin tidak akan jadi masalah baginya, tapi bagiku, akan ada banyak kekacauan yang datang padanya nanti karena masih ada Dimitri Oxley dibelakang namaku.Mendadak aku mengingat bagaimana Luigi mengetahui sejarah masa sekolahku, aku lan
Nyonya besar keluarga Oxley, Tessa, kini merubah posisi menjadi bergelayut manja pada yang kuduga pasti tidak lain adalah kekasihnya.Hanya nada terkejut darinya yang terdengar saat memanggil namaku, tapi tidak dengan sikap yang tampak oleh kedua mataku. Apa harus kuadukan semua ini pada Ayah yang bukan Ayah kandungku?“ZeeZee, duduklah, Nak.” Ibu mempersilahkanku dengan telapak tangannya mengacu ke arah kanan, di mana ada sofa terpisah dari tempat Ibu dan teman kencannya duduk.“Aku di sini saja.”“Kau tampak terkejut, sayang.” Ibu beranjak, memberi isyarat pada pria itu dan mereka berpisah. Si pria pergi melewatiku menuju pintu.“Ya benar. Aku terkejut, Ibu.” Memberi penekanan pada penyebutan dirinya, membuat diriku sendiri terkejut. Apa aku masih ingin memanggilnya Ibu? Padahal aku tidak merasa sakit hati apalagi terluka terlalu dalam mengetahui kenyataan.Itu bukti bahwa hubungan Ibu dan An
Dangelo memelukku, sesaat setelah aku mengangguk memberikannya izin.“Kau masih sama, tetap hangat saat dipeluk.” Kutepuk-tepuk punggung Dangelo, bersembunyi di balik bahunya bersama air mataku yang masih bisa kutahan.“Hei, kenapa kau tidak berubah juga?” Dangelo menghela napas. “Jangan menahannya terus. Itu tidak baik untukmu, ZeeZee. Menangislah.”“Aku tidak ingin membasahi pundakmu dengan air mataku,” keluhku muram. Masih bersikeras menyimpan genangan air mata dari Dangelo yang paham watak keras kepalaku.“Ah, omong kosong. Apa perlu aku menciummu agar air matamu itu mengalir?” Dia melepas pelukan, menatapku yang berantakan dengan air mata menggenang.Aku mengunci tatapan pada pundaknya, lalu menunduk untuk mengelabui mata Dangelo, dan aku berhasil meninju salah satu pundaknya.“Aduh!” Dangelo terdengar meringis.Aku langsung mengangkat kepalaku untuk menertaw