"Apa yang sedang kau pikirkan, Dim? Kenapa dari tadi kau tampak termenung dari tadi?"
Pertanyaan itu membuat Dimas tersentak dari lamunannya. "Eh Paman? Maafkan aku! Apa yang tadi paman tanyakan?"
Danu menggeleng pelan. "Kau ini!" dengkusnya lalu kembali mengulang pertanyaannya tadi. Netra tuanya menatap teduh Dimas yang tampak berpikir. Sepertinya pemuda di hadapannya ini ragu untuk menjawab pertanyaannya.
"Tidak apa-apa jika kau tidak mau menjawab pertanyaan paman, tapi kau harus ingat satu hal. Kau bisa menceritakan apa pun pada paman. Kau pun bisa menceritakan apa yang mengganggu pikiranmu. Atau jangan-jangan hal yang membuatmu melamun itu karena kau mengingat sesuatu?"
Dimas tersenyum mendengar perkataan Danu. Ia merasa mendapat perhatian dari orang tua yang selama ini ia rindukan. Namun seketika wajahnya menampilkan raut kecemasan saat Danu melontarkan pertanyaan terakhir. Takut jika pria paruh baya ini mulai menaruh curiga padanya. "Bukan itu yang
"Apa maksudmu, Dimas?""Itulah yang kurasakan, Paman!"Danu menatap Dimas dengan lekat. Mencari keyakinan dalam tatapan pria yang lebih muda. Ia memang tidak menemukan kebohongan di mata Dimas. "Kau tidak mengatakan hal ini karena cemburu bukan, Dim?" tanya Danu tidak bisa menahan rasa penasarannya."Aku mungkin cemburu, Paman, tapi aku tidak akan menjelekkan seseorang hanya karena hal itu.""Jika memang begitu, kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?""Aku tidak tahu pasti! Hanya saja melihat bagaimana Erlan memandang Andrea membuatku resah. Aku bisa melihat obsesi pemuda itu saat dia menatap Andrea. Bukan hanya itu, dia juga berusaha untuk menjauhkanku dari Andrea. Ah! Bukan hanya aku tapi dari orang-orang di sekitarnya. Erlan berusaha menjauhkan kita dari Andrea. Belum lagi, Erlan juga menatapku dengan penuh kebencian. Dia berambisi untuk menjadikan Andrea menjadi miliknya sendiri, Paman. Apa paman tidak merasakan hal itu?"Penutura
"Kau tampak ceria sekali, hm? Ada sesuatu yang baik terjadi?"Dimas terus memerhatikan Andrea yang tidak berhenti mengumbar senyum sejak beberapa hari ini. Sungguh ia penasaran dengan hal ini. Tidak biasanya Andrea seceria ini sebelumnya. Jujur saja ia takut, takut jika yang membuat Andrea seceria ini adalah kedekatannya dengan Erlan. Ia takut tidak memiliki kesempatan lagi untuk mendekati Andrea, cinta pertamanya.Sudah tiga minggu ini ia melihat Erlan terus mendekati Andrea dan Andrea menerimanya dengan terbuka. Saat ia masih mengikuti Andrea dulu, ia tahu Andrea memang ramah dan berteman dengan siapa saja. Namun, untuk kali ini, perasaannya mengatakan Erlan bukanlah pria yang baik untuk dijadikan seorang teman. Ia mengatakan ini bukan karena ia cemburu pada kedekatan Andrea dengan Erlan, tapi ia memang ia menangkap gelagat buruk dari pemuda itu.Ia harap semua firasatnya ini tidak menjadi kenyataan. Namun seperti yang d
"Kau Dimas bukan?""Iya?" Dimas berbalik, melihat siapa yang menepuk bahunya. "Maaf Anda Mas Arkan bukan? Putra Paman Wirawan, kepala desa ini? Ada yang aku bisa bantu, Mas Arkan?" tanya Dimas dengan sopan pada pria yang menyapanya di halaman rumah Andrea. Tidak biasanya Arkan datang berkunjung. Pria ini baru tiga kali ditemuinya, itu pun hanya saling bertegur sapa. Mengingat pria ini bekerja di kota.Dahinya mengernyit saat melihat raut keraguan di wajah pria ini. Apa sebenarnya yang ingin pria ini katakan? "Mas Arkan baik-baik saja?" tanyanya lagi saat pria yang beberapa tahun lebih tua daripada dirinya ini masih belum bicara. "Mas Arkan jangan-jangan ke sini karena dimintai tolong oleh Paman Wirawan? Soalnya beberapa hari yang lalu Paman Wirawan mengatakan akan ada pendataan untuk keamanan dan kebersihan desa. Kalau memang benar demikian, aku akan memanggil Andrea. Dia yang paling tahu mengenai hal itu."Dimas meletakkan sapu lidi yang sedari tadi masih
"Maaf, aku terlambat Mas," ujar Dimas meminta maaf. Napasnya pun masih memburu karena buru-buru ke ladang. Tadinya ia hendak langsung ke sini setelah selesai menyapu halaman. Sayangnya, Andrea memintanya memindahkan beberapa barang untuk dibersihkan. Ia tidak kuasa menolak, lebih lagi barang itu cukup berat untuk diangkat oleh Andrea seorang diri."Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai," balas Arkan.Dimas mengulas senyum. Ia tahu Arkan hanya merendah. Benar-benar pria yang baik. "Jadi apa yang Mas Arkan bicarakan denganku?" tanyanya.Hah! Desah napas Arkan mengalun berat. "Jujur! Aku tidak tahu harus mulai dari mana," ujar Arkan memulai pembicaraan. "Namun aku harus bicara. Jika sampai terjadi hal yang buruk, maka aku yang akan menyesal."Belum apa-apa, Dimas sudah dibuat bingung lagi oleh Arkan. Sebenarnya apa yang ingin pria ini bicarakan, sampai-sampai harus mengajaknya bicara di ladang, di mana sudah tidak ada petani yang masih bekerja, mengingat hari
"Bagaimana?"Erni tersenyum dengan lebarnya. "Kau tenang saja, kakakmu ini sudah mempersiapkan semuanya. Tinggal eksekusi," ujarnya.Erlan tersenyum senang mendengarnya. Setelah sekian lama, akhirnya ia akan bisa memiliki Andrea. "Baiklah! Nanti akan aku lanjutkan setelah kakak memberiku kode.""Tapi kau ingat yang harus kau lakukan bukan? Dan ingat hal ini Erlan, kau harus tetap berhati-hati. Tetaplah bersikap biasa saja, jangan sampai orang-orang curiga.""Kau tenang saja, Kak. Semia warga akan sibuk dengan acaranya dan kita dengan leluasa menjalankan rencana yang telah kita susun."Mendengar Erlan bicara meremehkan keadaan membuat decakan mengalun dari bibir Erni. "Kau ini! Bisa tidak jangan menyepelekan sesuatu? Itu bisa jadi bumerang untukmu sendiri.""Sudah kakak jangan khawatir. Aku akan berhati-hati," balasnya. "Ayo! Kita ke sana sekarang! Jangan sampai mereka mencurigai kita karena terlalu lama di sini, terutama suamimu itu. S
Erni tersenyum lebar melihat Vandy melakukan tugasnya dengan baik. Bibirnya pun menyunggingkan seringai saat Andrea sudah meminum jus yang sudah dicampurnya dengan obat itu. Tugasnya sudah selesai sekarang. Hanya perlu menunggu waktu sampai obat itu bekerja dan Erlan melakukan apa yang harus ia lakukan.Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan sang adik. Ah itu Erlan! Berkumpul bersama pemuda desa lainnya. Saat matanya bersitatap dengan Erlan. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat pada adiknya jika ia sudah melakukan tugasnya dan giliran untuk Erlan yang melakukan tugasnya.Erlan yang melihat isyarat dari kakaknya tersenyum. Inilah yang ia tunggu. "Sudah! Kalian teruskan mengobrolnya. Aku ingin mengambil minum dulu," ujar Erlan pada teman-temannya. Ia menyisihkan diri dari mereka lalu bergegas pergi. Ia harus menunggu hingga waktunya obat itu bekerja dan ia bisa melancarkan rencananya untuk bisa memiliki Andrea.Sementara Dimas yang sedari tadi mengawasi Er
"Ck kenapa pria itu ada di sana? Aku tidak bisa mendekati Andrea kalau begini. Bisa-bisa rencanaku akan gagal karena dia. Mengganggu saja, obat itu akan bereaksi dalam dua jam. Selama itu aku harus mencari cara agar pria asing itu menjauh dari Andrea," ujar Erlan pada dirinya sendiri.Dengan cepat ia pergi dari tempatnya berdiri untuk mengawasi Andrea. Ia harus memberi tahu kakaknya tentang ini. Tidak sulit menemukan kakaknya itu karena Erni terlihat paling mencolok di antara ibu-ibu yang sedang bercengkerama di salah satu sudut halaman rumah milik Andrea ini. "Maaf ya ibu ibu semua, aku pinjam Kak Erninya sebentar."Tanpa basa basi lagi Erlan menarik Erni menjauh. "Ada apa lagi sih, Lan. Kau terus mengganggu kesenangan kakak. Kakak sudah melakukan bagian kakak. Sekarang giliranmu.""Itu aku mengerti, Kak. Tapi lihat itu!" ujar Erlan sambil menunjuk ke arah Dimas dan Reta yang asyik bermain dengan anak-anak. "Pria asing itu terus berada di dekat Andrea, bagaiman
"Kau tampak pucat Andrea." "Memang aku merasa sedikit pening, Bi, tapi aku baik-baik saja." "Eh? Kalau begitu kau istirahat saja. Ini pasti karena kau kelelahan," seru wanita paruh baya yang merupakan istri dari Galang itu. "Tidak apa-apa, Bi Ratih. Aku baik-baik saja. Akan aku lanjutkan, tinggal sedikit lagi." Ratih menggeleng. "Tidak-tidak! Bibi tidak ingin kau semakin sakit lagi, nanti. Jadi sekarang tinggalkan itu. Biarkan bibi dan yang lainnya, yanh melanjutkannya. Seperti katamu, ini tinggal sedikit lagi." "Tapi ..." "Yang dikatakan Ratih benar. Kami di sini tidak ingin kau sakit. Jadi beristirahatlah!" imbuh Aruni. Wanita paruh baya yang merupakan istri dari Danu itu mendekat ke arah Andrea lalu menjauhkan tubuh gadis itu dari piring-piring yang harus mereka cuci. Aruni menuntun pelan tubuh Andrea ke arah kamar gadis itu. "Ayo! Bibi antar ke kamarmu." "Tidak perlu, Bi. Aku bisa sendiri ke kamar," tolak Andrea. Me